Tips Bisnis ~ Berkali-kali saya bahas soal brand, dan berkali-kali pula saya bilang bahwa brand adalah salah satu dari sedikit terminologi di marketing yang paling banyak dibicarakan. Nah, menariknya, dengan berbagai perkembangan di dunia marketing, apakah ilmu brand juga berkembang? Dan bagaimana dampaknya terhadap brand-brand kecil yang harus bersaing dengan brand-brand besar?
Salah satu tantangan paling serius untuk orang marketing adalah dinamikanya. Marketing adalah salah satu ilmu yang terus berevolusi, mirip profesi lain seperti dokter. Dokter terus langganan jurnal dan mengikuti perkembangan terbaru — begitu juga marketer.
Contohnya, dari sisi pemilihan channel. Dulu kita tidak bisa membayangkan bahwa TV akan punya saingan, karena TV begitu dominan, begitu juga koran. Kompas, misalnya, pernah jadi satu-satunya media yang bisa menerapkan PBB (Pay Before Broadcast), di mana pengiklan harus bayar dulu sebelum iklannya tayang. Diskon pun sangat kecil, berbeda dengan media lain. Tapi sekarang bagaimana? Saya beli Kompas minggu lalu, harganya tidak semurah dulu — mungkin karena iklannya sudah tidak banyak dan tidak setebal dulu. Tapi luar biasa Kompas masih bisa bertahan, karena banyak media sejenis yang sudah mati.
Channel juga berubah total. Marketing investment pun begitu. Dulu kalau punya budget kecil, butuh mukjizat untuk bisa stand out, karena uang bisa membeli exposure. Mau sekeren apapun produknya, tetap bisa kedodoran kalau amplifikasinya lemah. Tapi sekarang, banyak brand dengan “modal dengkul” bisa punya traction yang bagus — thanks to social media dan kekuatan content marketing. Belum lagi digital marketing yang memberi peluang bahkan untuk brand dengan budget puluhan ribu untuk beriklan, sesuatu yang dulu mustahil.
Dulu juga marketing butuh nyali karena tidak ada atribut jelas. Pasang iklan rasanya seperti pasang lotre. Tapi sekarang, banyak channel yang bisa di-attribute, bahkan dengan budget kecil. Risikonya juga lebih kecil. Marketing mengalami lebih banyak perubahan dalam 10–20 tahun terakhir dibanding bidang lain.
Menarik Untuk Dibaca : Kesalahan Dalam Desain Kemasan
Lalu, bagaimana dengan brand? Apakah ada yang berubah? Ilmu brand secara esensial mungkin masih sama: Brand is all about trust. Ini tentang apa yang orang katakan tentang Anda saat Anda tidak ada. Brand adalah pengungkit, membuat kita bisa menjual lebih mahal dan tetap laku. Tapi ada beberapa hal yang berubah.
Pertama, brand bisa dibangun dalam waktu yang lebih singkat. Dulu sulit banget untuk brand baru punya traction cepat — kecuali punya dana besar. Tapi sekarang, tidak sedikit brand yang bisa mencapainya. Contohnya, di kategori sepatu, ada KANKI. Brand lokal ini punya traction yang cepat, meski belum bisa menyaingi Nike atau Adidas. Tapi dibandingkan pemain lokal zaman dulu, performa mereka oke. KANKI melakukan itu tanpa jor-joran marketing budget.
Di kategori gadget dan aksesoris, ada Bi Brand. Mereka menjual produk smart home seperti CCTV, smart lock, hingga dispenser makanan hewan yang bisa dikendalikan dari HP. Ini bukan kategori yang penuh pemain, tapi entry barrier-nya tinggi. Harga terlalu mahal bikin orang takut, harga terlalu murah bikin orang curiga. Tapi mereka berhasil punya traction.
Skincare dan kosmetik? Ini bukan lagi red ocean, tapi black ocean. Pemainnya banyak, makin ramai dengan maklon (jasa pabrik yang bisa bantu bikin brand sendiri). Brand besar seperti Martha Tilaar dan Body Shop bahkan mengakui beratnya persaingan. Brand baru seperti SomeThing, WhiteLab, COSRX dan lainnya bisa menciptakan traction besar. Beauty expo sekarang lebih ramai daripada pameran mobil. Artinya, brand baru ini memang berhasil.
Kenapa bisa begitu? Ada dua faktor utama: produk dan channel.
Dari sisi produk, brand baru lebih memahami konsumen. Mereka bikin produk yang relevan, desain yang keren, harga masuk kantong. Mereka menyasar Gen Z yang banyak maunya tapi duitnya terbatas. Mereka juga tidak gengsi memakai produk baru asalkan tidak malu-maluin.
Dari sisi channel, brand baru memanfaatkan media yang murah tapi efektif, terutama media sosial. Brand besar masih sibuk dengan strategi komprehensif dan belanja media besar. Sementara brand baru tidak punya pilihan lain selain memaksimalkan sosial media. Dan secara kebetulan, TikTok dan media sosial lainnya lebih suka konten yang authentic, bahkan kalau shaky dan tidak polished. Justru karena itu terlihat lebih jujur dan bukan iklan.
Konten yang terlalu well-polished malah diskip karena instan dikenali sebagai iklan. Social media juga lebih kuat untuk menciptakan social influence karena terlihat organik dan durasinya fleksibel. Konsumen pun bukan hanya konsumen tapi juga produsen konten. Brand baru yang cerdas bisa memancing audiens untuk berbagi pengalaman mereka — testimoni dan review — menciptakan social proof yang lebih kuat daripada iklan mana pun.
Konsumen pun berubah. Mereka muda, belum punya banyak uang, tidak suka konten propaganda satu arah, dan kritis. Mereka riset dulu sebelum membeli, cek Google, TikTok, Instagram, YouTube. Brand baru paham ini dan siap dengan informasi lengkap di mana-mana.
Kesimpulannya: market akan selalu berubah. Teknologi mengubah cara orang menyikapi produk, memilih informasi, dan mengambil keputusan. Maka mindset dan kemampuan yang paling penting adalah memahami market. Menghafal teori marketing saja tidak cukup. Kita harus mengerti manusia, kapan mereka berubah, dan kenapa mereka berubah. Prinsip brand tetap sama: dibentuk di benak konsumen. Tapi kalau behavior konsumen berubah, maka cara membentuk brand juga harus ikut berubah.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Memberi Diskon
Mau Konsultasi?