Dari dulu, orang-orang di bidang pemasaran selalu memegang teguh prinsip “differentiate or die” (ciptakan perbedaan atau mati). Memang benar, bisnis yang memiliki pembeda relatif lebih mudah untuk berkembang atau setidaknya lebih mudah untuk dikomunikasikan perbedaannya. Tentu saja, perbedaan yang dimaksud harus relevan dan bukan sekadar perbedaan.
Lihat saja Apple, yang punya pembeda di sistemnya, sementara Samsung yang sama-sama menggunakan sistem Android berfokus pada teknologi dan kualitas hardware yang berbeda. Di dunia otomotif, desain motor dan mobil juga menjadi pembeda yang signifikan. Hasilnya, bisnis-bisnis ini memiliki modal untuk berkomunikasi secara berbeda dibandingkan pesaingnya, dan minimal, mereka mudah diingat.
Sebaliknya, ada brand atau kategori produk yang tidak begitu beruntung. Mereka berada di kategori yang secara natural memang sulit memiliki pembeda yang signifikan. Ini bisa disebabkan oleh sifat dasar bisnisnya atau karena bisnisnya mudah sekali ditiru, sehingga sangat sulit bagi mereka untuk memiliki ciri khas. Padahal, tanpa pembeda yang jelas, sulit untuk dikenal dan memberi alasan kepada konsumen mengapa mereka harus memilih brand kita dibandingkan yang lain.
Menarik Untuk Dibaca : Bangkit Dari Kebangkrutan
Contoh pertama adalah air minum dalam kemasan (AMDK). Air tidak memiliki rasa yang bisa dibedakan, sehingga perbedaan di mata konsumen menjadi tidak signifikan. Berbicara tentang sumber mata air pegunungan atau lainnya pun tidak begitu berarti karena konsumen tidak bisa benar-benar membedakannya. Sehingga, AMDK sering kali hanya bermain di packaging, distribusi, atau brand personality, yang juga susah untuk benar-benar unggul. Pada akhirnya, fungsinya tetap sama, yaitu menghilangkan dahaga, dan merek apapun bisa memenuhi kebutuhan itu.
Contoh kedua adalah bisnis ritel, apapun kategorinya, baik itu grosir, fashion, atau department store. Barang yang dijual kebanyakan bukan barang milik sendiri, sehingga tidak ada bedanya dengan toko sebelah. Karena itulah, banyak bisnis ritel akhirnya memilih bermain di strategi harga. Ketika tidak ada pembeda, harga sering kali menjadi alat utama untuk menarik konsumen.
Contoh ketiga adalah hotel bintang dua dan tiga. Karena harganya yang murah, mereka tidak bisa menawarkan kamar yang luas. Rata-rata kamar di hotel-hotel ini berukuran antara 16 hingga 22 meter persegi, tanpa perbedaan yang signifikan dalam hal kenyamanan kasur atau fasilitas lainnya. Brand-brand seperti Fave, Amaris, Pop! Hotels, dan Ibis, misalnya, berusaha bermain di lokasi sebagai pembeda, seperti menawarkan lokasi yang lebih strategis. Namun, ruang gerak untuk menciptakan perbedaan sangat terbatas, dan ini membuat loyalitas konsumen sulit dibangun.
Konsumen hari ini mungkin menginap di satu hotel, tapi besok bisa pindah ke hotel sebelah, karena bagi mereka tidak ada bedanya. Bahaya lainnya adalah perang harga, di mana brand mencoba bersaing dengan menawarkan harga yang lebih murah. Namun, tanpa keunggulan biaya, margin yang tipis dapat membuat bisnis tidak bisa menutupi biaya operasional.
Namun, ada beberapa brand yang berhasil mengatasi ketidakunikan alami dari karakter bisnis mereka. Mereka bisa keluar dengan pembeda-pembeda yang cukup bagus dan relevan, sehingga mampu bertahan di tengah persaingan yang ketat.
Bisnis taksi, seperti yang dijalani oleh Blue Bird, memiliki tantangan yang sangat besar untuk membangun keunikan yang relevan. Hal ini karena semua pemain di industri ini memiliki akses ke sumber daya yang sama. Semua perusahaan taksi bisa membeli mobil dari Toyota, Honda, atau Nissan. Mereka tidak mungkin membuat mobil sendiri, dan mobil yang mereka gunakan juga bisa dibeli oleh kompetitor. Mereka semua juga menggunakan jalan yang sama, tanpa akses eksklusif ke jalur khusus.
Bahkan para pengemudi taksi diambil dari sumber yang sama. Lebih sulit lagi, motif pembelian konsumen untuk menggunakan taksi seringkali bersifat fungsional, yaitu sekadar untuk mencapai tujuan dengan nyaman. Standar ekspektasi yang tidak terlalu tinggi ini membuat taksi sulit menawarkan perbedaan yang signifikan, karena hal itu justru akan meningkatkan harga, yang pada akhirnya bisa membuat mereka tidak lagi menjadi pilihan. Taksi-taksi premium pun memiliki pangsa pasar yang kecil, karena orang-orang yang mampu membayar taksi premium biasanya adalah mereka yang juga mampu memiliki mobil mewah dengan sopir pribadi. Sebagian besar orang lebih memilih menggunakan mobil sendiri daripada menggunakan taksi premium, kecuali jika mereka sedang berada di luar kota dan tidak membawa kendaraan pribadi.
Namun, Blue Bird mampu memanfaatkan satu-satunya celah yang ada dengan sangat baik, yaitu dengan menjaga standar layanan. Sebenarnya, semua pemain taksi memiliki kesempatan yang sama untuk meningkatkan layanan di area ini, tetapi hanya sedikit yang cukup disiplin untuk melakukannya. Pertama, Blue Bird menerapkan standar kualitas yang disiplin dan konsisten. Mereka menjaga kebersihan dan kondisi mobil tetap terawat. Integritas juga menjadi prioritas, dengan tidak membiarkan pengemudi melakukan kecurangan seperti berputar-putar untuk menaikkan argo. Pengemudi yang tidak memenuhi standar ini sudah dianulir oleh Blue Bird.
Selain itu, penampilan pengemudi juga dijaga dengan baik. Mereka mengenakan seragam rapi dan berkomunikasi dengan sopan. Semua ini sebenarnya bisa dilakukan oleh semua perusahaan taksi, termasuk layanan ride-hailing seperti ojek online, jika mereka memiliki disiplin yang sama.
Selain itu, Blue Bird juga membangun aplikasi yang membuat mereka unggul dibandingkan taksi lainnya dan mampu bersaing dengan aplikasi ride-hailing. Konsumen dapat dengan mudah memesan taksi melalui aplikasi, melihat posisi terakhir, serta memonitor perjalanan agar tidak ditipu atau diputar-putar oleh pengemudi.
Pembayaran pun bisa dilakukan secara cashless, dan tanda terima disediakan secara digital, sesuatu yang sebelumnya hanya bisa dilakukan oleh aplikasi ride-hailing. Hal ini membuat Blue Bird mampu bersaing dengan baik, dan sebenarnya ini semua bisa dilakukan oleh perusahaan lain, namun entah mengapa tidak banyak yang melakukannya.
Konsistensi layanan Blue Bird menjadi faktor kunci yang membuat mereka berbeda. Konsistensi ini menawarkan “pleasure” kepada konsumen karena merasa aman dan nyaman, serta menawarkan “avoid pain” karena tidak ada kecurangan dan hemat energi. Konsumen tidak perlu membandingkan taksi lain, karena mereka sudah memilih yang pasti baik.
Contoh lainnya adalah maskapai AirAsia. Sama seperti Blue Bird, bisnis transportasi seperti maskapai juga memiliki tantangan yang sama. Mereka semua memiliki akses ke sumber daya yang sama, seperti pesawat Airbus, yang digunakan oleh maskapai lain seperti Super Air Jet, Citilink, dan Scoot. Sumber daya seperti pesawat, rute, terminal, dan gate semuanya terbuka untuk semua maskapai. Bahkan, pilihan waktu penerbangan juga sama-sama tersedia untuk semua maskapai, meskipun beberapa maskapai berstrategi dengan memborong slot waktu penerbangan untuk memberikan lebih banyak pilihan kepada konsumen. Oleh karena itu, sulit bagi maskapai untuk menciptakan perbedaan yang signifikan.
Namun, AirAsia berhasil memanfaatkan celah-celah kecil untuk menciptakan perbedaan yang relevan. Pertama, mereka menawarkan layanan yang dapat dikustomisasi. AirAsia adalah maskapai pertama di Asia yang menawarkan konsep “pay what you need”, di mana penumpang bisa memilih layanan yang mereka butuhkan daripada harus membayar semua layanan dalam satu paket. Penumpang bisa memilih apakah ingin membeli makanan, bagasi, atau bahkan memilih kursi. Dengan demikian, mereka bisa fokus pada harga yang lebih murah jika tidak membutuhkan layanan tambahan.
Selain itu, AirAsia juga menawarkan makanan yang “merakyat” di dalam pesawat, sesuatu yang berbeda dan relevan dengan kebutuhan penumpang. Semua ini menjadikan AirAsia mampu memberikan pembeda yang kuat, meskipun dalam industri yang akses sumber dayanya sama dengan kompetitornya.
AirAsia menawarkan makanan yang berbeda dari kebanyakan maskapai lainnya, yang cenderung menyajikan makanan yang tidak familiar dan lebih mirip makanan hotel yang rasanya hambar. AirAsia memanfaatkan hal ini dengan menyajikan makanan yang lebih dekat dengan makanan sehari-hari, seperti street food. Ini membuat AirAsia memiliki perbedaan yang relevan bagi penumpang, terutama bagi orang Indonesia. Selain itu, AirAsia adalah maskapai pertama di Indonesia yang memberikan “full control” kepada konsumen untuk memesan dan memilih penerbangan.
Pada masa itu, semua maskapai lain masih menggunakan sistem terpusat seperti Abacus, di mana tiket hanya bisa dipesan melalui agen perjalanan atau kantor penjualan resmi. Tiket tersebut juga dicetak pada kertas khusus yang tidak boleh hilang, karena jika hilang, konsumen harus mencetak ulang di tempat yang sama. AirAsia memperkenalkan metode booking mandiri, di mana konsumen bisa memilih, membayar, dan check-in sendiri melalui web check-in.
AirAsia juga dikenal dengan mentalitas “low cost, high impact”. Mereka memperhatikan detail pelayanan dengan tujuan meningkatkan efisiensi sehingga bisa menawarkan harga bersaing dengan kualitas pelayanan yang tetap baik. Misalnya, hampir tidak ada pilot atau awak kabin AirAsia yang menginap di kota tujuan; mereka selalu kembali ke kota asal, sehingga bisa menghemat biaya hotel dan transportasi. Mereka juga sangat disiplin dalam menghitung jeda waktu antara pesawat mendarat dan terbang kembali. Jeda waktu ini biasanya tidak lebih dari 1 jam, yang memungkinkan AirAsia menghemat biaya parkir dan meningkatkan utilitas pesawat.
Konsistensi ini membuat AirAsia lebih tepat waktu dan jarang mengalami delay, sebuah pembeda yang sangat signifikan bagi konsumen. Walaupun bisnis maskapai terkesan sulit memiliki pembeda, AirAsia pintar dalam memanfaatkan celah-celah tersebut.
Contoh lainnya adalah McDonald’s (McD), sebuah restoran fast food. Walaupun McD memiliki resep yang berbeda dari kompetitornya, tetap saja mereka mudah jatuh ke dalam jebakan komoditas. Sebagian besar konsumen tidak setia hanya pada satu merek, dan mereka cenderung berpindah dari satu restoran ke restoran lain, seperti KFC, McD, A&W, dan lain-lain. Ada beberapa merek yang dikenal memiliki rasa yang unggul, seperti KFC yang dikenal sebagai “jagonya ayam”. KFC memiliki keunggulan, terutama dalam hal resep ayam goreng yang sudah teredukasi di pasar sejak awal mereka masuk ke Indonesia.
Namun, McD berhasil memanfaatkan beberapa peluang yang tidak dikapitalisasi oleh KFC. Salah satunya adalah fokus McD pada “buying influence”, yaitu kemudahan dan kenyamanan dalam pembelian. McD secara agresif dan konsisten membangun restoran yang jauh lebih nyaman dibandingkan pesaingnya. Interior restoran McD bersih, terawat, dan nyaman.
Mereka juga menjaga kebersihan dengan baik, sehingga restoran McD tidak terlihat kusam. Jika ada bagian yang mulai kusam, McD segera memperbaikinya. McD juga membangun drive-thru yang proper, yang tidak membuat pengemudi merasa grogi, berbeda dengan beberapa merek lain yang drive-thru-nya terasa tidak nyaman. Selain itu, parkir di McD juga lebih luas dibandingkan pesaingnya.
McD juga konsisten menciptakan program menu baru secara berkala. Mereka sering menawarkan menu-menu baru yang tidak harus dipertahankan selamanya, tetapi cukup untuk membuat konsumen tidak bosan dan penasaran untuk mencoba hal baru. Misalnya, mereka pernah menawarkan menu ayam kuah gulai, nasi uduk sambal lokal, yang meskipun sekarang sudah tidak ada, tetap berhasil membuat orang ingin mencoba dan kembali lagi ke McD. McD juga pintar dalam membaca pasar.
Mereka tahu bahwa orang-orang tidak hanya datang untuk makan berat, tetapi juga untuk ngemil. Oleh karena itu, McD menjual es krim yang menjadi salah satu produk paling laku dibandingkan restoran fast food lainnya, meskipun es krim tersebut rasanya standar dan tidak bisa jauh berbeda dari es krim yang ditawarkan oleh restoran lain.
McD bahkan membuka outlet pop-up khusus untuk menjual es krim di mall-mall atau tempat-tempat tertentu, yang bertujuan untuk menjaga loyalitas pelanggan dan membuat mereka kembali lagi ke McD. Dengan berbagai strategi ini, McD berhasil membangun loyalitas konsumen yang kuat.
Karena saya sudah terbiasa pergi ke sana, walaupun kadang-kadang hanya untuk membeli es krim, loyalitas saya terhadap McDonald’s tetap terbangun. Bahkan, walaupun loyalitas ini lebih banyak disumbangkan oleh produk non-core seperti es krim, secara bawah sadar hal ini membentuk kebiasaan. Selain itu, McDonald’s juga sangat rajin membuat kerja sama promosi dengan berbagai bank dan dompet digital. Hampir semua e-wallet dan bank sudah pernah bekerja sama dengan McDonald’s untuk mengadakan promo.
Tujuannya adalah mendapatkan exposure ke basis pengguna bank-bank atau partner pembayaran tersebut. Yang menarik, biaya promosi ini pun dibagi dua, sehingga menjadi cara yang efisien dan cerdas untuk menarik konsumen agar bisa membeli produk dengan harga lebih murah.
Semua strategi ini menciptakan pembeda yang cukup unik, menjadikan McDonald’s unggul di atas pesaingnya. Kesimpulannya, keunikan dalam bisnis sangat penting. Tanpa itu, sulit untuk memiliki daya saing yang kuat. Sayangnya, terkadang sifat bisnis yang kita jalani memang tidak memberikan ruang besar untuk menjadi kompetitif.
Namun, dengan keuletan dan ketekunan, kita bisa mencari celah-celah yang dapat dimanfaatkan. Jika kita konsisten dan disiplin, pada akhirnya hal tersebut bisa menjadi pembeda yang signifikan, bahkan ketika kita beroperasi di kategori bisnis yang sangat umum atau pasaran.
Menarik Untuk Ditonton : Digital Marketing
Mau Konsultasi?