Kita baca dulu penjelasan pasal 12 B ayat 1 UU Tipikor :
Yang dimaksud “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat ( discount ), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeridan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sara elektronik.
Tulisan ini kita ambil dari pengalaman Kang Jaya Setiabudi, owner dari Yuk Bisnis. Ketika dulu kerja di Astra beliau punya pengalaman banyak mengenai hal ini. Coba kita ulas, mungkin bisa menjadi sebuah insight yang penting untuk kita para pengusaha.
Menarik Untuk Dibaca : Biang Kerokl Skandal Daihatsu
Dulu ketika awal masuk beliau di tanya oleh calon Bos nya. Ketika ada vendor yang menawarkan komisi dan barangnya murah bagaimana ?
Kang Jaya langsung menjawab, komisinya tidak diambil tapi untuk tambahan diskon. Prisnsip dari beliau sendiri adalah harus jujur dan tidak mengambil komisi, meskipun ini tidak akan berpengaruh dengan perusahaan. Tapi pemikiran beliau adalah nanti si vendor akan menjadi kebiasaan memberikan komisi kepada orang lain agar produknya bisa masuk atau dibeli.
Tapi ketika beliau sudah tidak bekerja dan menjadi pengusaha, apa yang terjadi ? karena juga tidak mudah, beliau dipaksa berkompromi untuk memberikan suap tersebut. Hal tersebut, sangat bertolak belakang ketika masih menjadi karyawan. Karena tidak semua karyawan atau pegawai punya prinsip seperti kang Jaya Setiabudi.
Mau tidak mau beliau harus memberikan suap tersebut kepada si pegawai. Karena sudah terjebak dan memang butuh pertumbuhan usaha. Pada waktu itu sangat bertolak belakang dengan hati nurani beliau. Tapi apalah daya, dengan hal tersebut beliau merasa ada yang tidak nyaman dalam keluarga. Pada akhirnya bisnis beliau di Singapura diinggalkan dan pindah ke Indonesia.
Akhirnya beliau kembali memgang prinsipnya, yaitu tidak ada toleransi lagi dengan yang namanya suap menyuap. Karena keberkahan harta itu nyata adanya. Pun juga ketidakberkahan harta itu nyata adanya. Itulah yang menjadi dasar pemikiran beliau. Dampaknya sangat nyata, mungkin tidak langsung dengan kita dampaknya, tapi pasti seperti anak dan istri terkena dampaknya.
Memang sulit, di satu sisi perusahaan harus ada pemasukan, tapi di satu sisi harus memberikan suap. Ini kembali lagi pada prinsi dari masing-masing owner.
Suap menyuap ini posisinya adalah perusahaan yang sudah besar dan perusahan jasa yang clientnya pemerintah maupun non pemerintah, yang mereka ada pengadaan barang.
Yang paling penting itu, ketika kita menawarkan produk atau jasa kepada client jangan memberikan iming-iming komisi. Tapi ini juga berat, karena ada pegawai atau karyawan yang menodong langsung, meminta langsung di awal. Ini juga sangat merepotkan. Mau gak mau, selama permintaannya masih wajar, mungkin masih bisa. Tapi ini juga tidak disarankan. Lebih baik dilaporkan ketika ada pegawai atau karyawan yang mina komisi di awal.
Suap menyuap ini sebuah hal yang merusak mental. Yang menjadi dasar mereka mau disuap atau pemberi suap ini adalah niat mereka bekerja hanya untuk keuntungan materi semata. Itulah yang menjadi dasar terjadinya sebuah grativikasi atau suap menyuap.
Tapi menurut mas Jaya Setiabudi banyak lembaga pemerintah atau BUMN yang bersih. Tidak ada permintaan yang aneh-aneh ketika meminta untuk membuatkan sebuah program pendampingan.
Untuk lebih aman memang bisnis retail bukan B to B. Yang terpenting untuk para pengusaha yang bisnisnya B To B punya prinsip untuk tidak memberikan suap.
Menarik Untuk Ditonton : Tips Cara Menambahkan Kontak WA
Mau Konsultasi?