Ini bisa dimaklumi karena ketika brand makin terkenal, banyak orang yang ingin memilikinya meskipun mereka belum tentu memiliki daya beli yang cukup. Akibatnya, mereka mulai mempertimbangkan produk palsu sebagai alternatif. Sebagai gambaran, nilai transaksi pembelian software bajakan di Indonesia mencapai 14,1 triliun per tahun. Sementara itu, laporan lain menyebutkan bahwa nilai total barang palsu yang beredar di Indonesia pada tahun 2020 mencapai 100,8 triliun rupiah. Di tingkat global, nilai transaksi produk palsu mencapai 461 miliar dolar per tahun.
Sebagai contoh, sebuah brand fashion lokal pernah menghitung bahwa nilai transaksi produk palsu dari brand mereka di marketplace bisa mencapai 3-5% dari total omset tahunan. Bayangkan jika nilai tersebut bisa diakuisisi sebagai pelanggan resmi; ini artinya tambahan pemasukan 3-5% yang sangat berarti. Produk palsu menjadi tantangan ketika brand mencapai brand equity yang kuat. Brand yang terkena serangan produk palsu menunjukkan bahwa brand tersebut punya nilai yang cukup tinggi di mata konsumen, karena jika brand tidak terkenal, tentu tak ada yang membeli versi palsunya.
Menarik Untuk DIbaca : Jebakan Komoditas
Bagi konsumen produk palsu, membeli produk tiruan serasa sama seperti membeli yang asli, tetapi dengan harga diskon. Mereka cenderung tidak menghargai perbedaan kualitas antara produk asli dan palsu. Ini bukan hanya soal produk, tetapi juga soal identitas. Brand mencerminkan identitas seseorang, dan beberapa orang bersedia melakukan apa pun untuk menunjukkan bahwa mereka bagian dari kelompok tertentu, termasuk membeli produk palsu.
Sebagian besar pembeli produk palsu bukan target market utama brand karena perbedaan harga yang cukup besar. Namun, bukan berarti segmen ini tidak bisa diarahkan untuk menjadi konsumen resmi. Pembeli produk palsu adalah orang yang sudah menginginkan brand tersebut; tinggal mendorong sedikit agar mereka bersedia mengeluarkan uang untuk produk asli. Produk palsu muncul ketika tidak ada perbedaan nyata antara produk asli dan palsu, yang mengindikasikan bahwa ini soal brand, bukan produk.
Salah satu brand fashion, Diesel, melakukan strategi melawan produk palsu dengan cara yang sangat kreatif. Diesel, yang sering mengalami serangan produk palsu, membuat langkah balik dengan membuat produk asli yang terlihat seperti produk palsu. Mereka mengganti logo menjadi “DEISEL” dan menjualnya dengan harga yang mendekati produk palsu. Diesel membuka outlet di pusat penjualan barang palsu di New York dan memasarkan seolah-olah produknya adalah barang palsu. Meskipun konsumen menyadari perbedaan logo yang terbalik, banyak yang tetap membeli produk tersebut.
Beberapa waktu kemudian, Diesel mengungkapkan rahasia ini di New York Fashion Week. Setelah itu, toko “palsu” mereka ramai dikunjungi, dan seluruh produk terjual habis. Produk “asli tapi palsu” ini juga dijual di situs resmi mereka dan kembali ludes terjual. Konsumen bahkan mulai menjual produk ini di eBay dengan harga yang lebih tinggi daripada produk asli. Kampanye ini sukses besar, mencatatkan 55 juta social media impressions dan 400 juta media impressions secara global, yang sangat sulit dicapai oleh kampanye normal.
Dalam beberapa waktu, produk “aspal” Diesel yang menggunakan logo DEISEL ini mulai dicopy dan muncul di eBay. Kampanye ini menjadi kontroversi dan talk of the town, sehingga menarik banyak perhatian serta menghasilkan angka capaian impression di media sosial. Faktor utama kesuksesan kampanye ini adalah unsur tak terduga yang memicu rasa penasaran. Otak manusia selalu tertarik dengan hal-hal yang tak terduga karena otak secara alami membuat prediksi terhadap apa yang ditangkap untuk mendeteksi apakah sesuatu tersebut layak diperhatikan atau tidak.
Analogi yang mirip adalah ketika kita turun anak tangga dengan langkah yang konsisten, tiba-tiba ada satu anak tangga yang lebih tinggi atau lebih rendah dari perkiraan, sehingga kita kaget dan otomatis fokus pada anak tangga tersebut. Hal yang sama terjadi pada kampanye Diesel; ketika konsumen melihat produk dengan merek terbalik yang terlihat palsu, perhatian mereka langsung tertuju karena ini berbeda dari yang mereka duga, ternyata produk itu asli.
Keunggulan lain dari kampanye ini adalah strategi harga yang menutup ruang gerak produk palsu. Diesel menawarkan produk “aspal” ini dengan harga yang mendekati harga produk palsu tetapi tetap lebih terjangkau dari produk asli. Dengan demikian, konsumen memiliki pilihan untuk membeli produk dengan kualitas yang sama namun dengan harga lebih rendah dan logo yang berbeda, atau membeli produk asli dengan logo resmi dan harga lebih tinggi. Secara matematis, strategi harga ini menekan ruang gerak produk palsu, karena konsumen akan lebih memilih produk “aspal” dengan harga yang tidak jauh berbeda, tetapi kualitasnya lebih terjamin.
Dari perspektif ilmu perilaku, ini adalah teknik yang efektif untuk mengalihkan fokus konsumen dari perbandingan antara produk asli dan palsu, menjadi perbandingan antara produk asli dan “aspal.” Produk “aspal” berfungsi sebagai umpan untuk melindungi produk asli dan membuat produk palsu jadi tidak relevan. Kejeniusan kampanye ini juga terlihat dari bagaimana kampanye ini mendorong konsumen untuk memperhatikan kualitas dengan lebih teliti.
Biasanya, kampanye anti-pembajakan mengajak konsumen untuk memeriksa kualitas dengan saksama, namun sering kali gagal karena format kampanye yang terlalu familiar membuat otak menganggap informasi itu sudah diketahui. Berbeda dengan kampanye Diesel ini, penggunaan logo palsu secara sadar membuat konsumen tahu bahwa ini produk “aspal,” sehingga mereka lebih teliti memeriksa bahan, jahitan, dan detail kualitasnya. Kampanye ini, secara tidak sadar, mendorong konsumen untuk memperhatikan kualitas produk secara mendetail.
Kampanye Diesel ini secara otomatis menjadi edukasi tentang kualitas produk mereka. Ancaman terhadap kualitas buruk yang sering ditemui pada produk palsu mendorong konsumen untuk lebih teliti, sehingga mereka secara tidak langsung teredukasi mengenai perbedaan kualitas. Dengan menerapkan prinsip “showing instead of telling,” kampanye ini berhasil mengedukasi konsumen bukan hanya melalui komunikasi normatif, melainkan melalui pengalaman langsung.
Biasanya, iklan edukasi menyampaikan ancaman kualitas buruk pada produk palsu dengan kata-kata seperti “kalau produknya jelek, nanti kamu bisa bla bla bla,” yang mengajak konsumen untuk lebih teliti. Namun, kampanye Diesel tidak mengatakan ada ancaman; kampanye ini justru menunjukkan bahwa ancaman itu nyata, sehingga konsumen lebih merasa terlibat dan tergerak.
Menariknya, setelah kampanye ini muncul, tiruan dari produk aspal Diesel juga mulai bermunculan. Namun, konsumen telah teredukasi mengenai kualitas produk yang baik, sehingga mereka terbiasa meneliti build quality, terutama pada produk yang mereka curigai palsu. Terlebih, ketika logonya aspal, konsumen akan lebih cermat memeriksanya, karena memakai produk palsu dari barang aspal dianggap lebih memalukan daripada produk palsu dari barang asli.
Selanjutnya, aspek *processing fluency* turut berperan dalam kampanye ini. *Processing fluency* adalah seberapa mudah kita memproses informasi secara lancar. Diesel bisa saja menggunakan logo asli pada produk ini, namun efeknya akan berbeda, karena tidak ada perbedaan yang mencolok antara produk asli dan aspal.
Diesel juga bisa mengganti logonya secara drastis, misalnya dari “Diesel” menjadi “Dealess” atau “Divel.” Namun, perubahan seperti itu akan terlalu jelas terlihat sebagai merek palsu, dan membuat konsumen enggan membelinya. Dengan hanya menukar huruf “i” dan “e,” logo Diesel masih dapat dikenali, serupa ketika kita membaca teks dengan sedikit salah ketik, tetapi tetap mengerti maksudnya. Secara kasat mata, logo ini terlihat seperti Diesel, namun tetap bisa dibedakan sebagai palsu jika diperhatikan secara saksama, sehingga orang masih mau menggunakannya tanpa menyadari logo terbalik tersebut.
Hal terakhir yang menarik dari kampanye ini adalah produk aspal ini menjadi seolah-olah edisi spesial. Karena kampanye ini dilakukan dengan cara yang tak terduga dan viral, produk ini menciptakan *social currency*, yakni keinginan untuk memiliki sesuatu yang tengah dibicarakan banyak orang.
Dengan begitu, konsumen tidak hanya merasa up-to-date dan keren, tetapi juga bangga memiliki produk yang tengah diperbincangkan. Melalui kampanye yang cerdas ini, Diesel berhasil mengatasi serangan produk palsu dan bahkan memanfaatkannya sebagai strategi yang sukses.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghubungkan WA Bussiness ke Facebook dan Instagram
Mau Konsultasi?