Ini terjadi setelah tahun sebelumnya, Boeing mencatat kerugian sebesar 11,85 miliar dolar AS dan arus kas negatif mencapai 14,3 miliar dolar. Produksinya merosot tajam, hanya 348 unit dalam setahun. Akibatnya, lebih dari 5.000 unit pesanan belum bisa dipenuhi. Bandingkan dengan Airbus yang sukses mengirim 766 unit pesawat ke pelanggan. Kondisi diperparah oleh proyek-proyek pertahanan Boeing yang merugi hingga 5,41 miliar dolar AS.
Pada 8 Agustus 2024, Robert Orberg diangkat sebagai presiden dan CEO baru Boeing menggantikan Dave Calhoun, yang dinilai sebagai penyebab kemunduran Boeing, khususnya dari aspek keamanan dan kualitas. Pertanyaannya, apa langkah yang akan dilakukan untuk membalikkan keadaan?
Sepanjang tahun 2024, Boeing merugi 11,83 miliar dolar AS. Pekerja mogok, produksi terganggu, dan hanya mampu mengirim 348 pesawat—angka terendah sejak pandemi. Padahal, mereka harus memenuhi 5.595 unit pesanan. Di sisi lain, Airbus menyerahkan 766 pesawat kepada pelanggannya.
Menarik Untuk Dibaca : Cara Taylor Swift Bertahan
Boeing mulai menghadapi tekanan sejak dua unit 737 Max mengalami kecelakaan tragis pada 2019, disusul dampak pandemi, dan terakhir, insiden menghebohkan awal tahun 2024: panel pintu pesawat Alaska Airlines terlepas saat berada di udara. Insiden ini mengguncang kepercayaan publik terhadap Boeing.
Pada kuartal terakhir 2024, kas Boeing berkurang 4,1 miliar dolar, pendapatan turun menjadi 15,24 miliar dolar, di bawah target 16,21 miliar dolar. Kerugian bersih mencapai 1,86 miliar dolar, sebagian besar disebabkan proyek militer yang membengkak. Divisi pertahanan mencatat kerugian hingga 5,41 miliar dolar AS, sementara divisi pesawat komersial belum juga membaik.
Insiden 5 Januari 2024 saat pesawat Alaska Airlines nomor penerbangan 1282 mengalami pelepasan panel pintu di udara menjadi titik krisis. Pesawat mendarat darurat di Portland tanpa korban jiwa, namun penumpang mengalami trauma dan luka. FAA langsung mengeluarkan larangan terbang untuk 737 MAX 9 dan melakukan inspeksi terhadap lebih dari 170 unit.
Pemerintah AS ikut turun tangan. Departemen Kehakiman menyelidiki kemungkinan pelanggaran pidana, dan FBI menduga adanya tindak kriminal. Gugatan class action dari penumpang mulai berdatangan. Para pemegang saham juga menggugat karena menilai perusahaan lebih mementingkan keuntungan daripada keselamatan.
Masalah hukum dari kecelakaan 737 Max tahun 2018–2019 juga mencuat kembali. Boeing sebelumnya membayar denda 2,5 miliar dolar AS, namun di awal 2024, Departemen Kehakiman menilai Boeing melanggar kesepakatan dan mendesak mereka mengaku bersalah atas konspirasi penipuan, membayar denda tambahan, dan memperbaiki sistem keselamatan.
Audit FAA mengungkap sistem pelaporan keselamatan di internal Boeing masih lemah, komunikasi tidak jelas, dan struktur manajemen membingungkan. Tekanan ini membuat jajaran manajemen Boeing terguncang. Mulai dari CEO hingga ketua dewan mengundurkan diri, menandakan kondisi perusahaan benar-benar tidak baik-baik saja.
Tekanan semakin berat di pertengahan 2024 saat pesawat luar angkasa Starliner milik Boeing meluncur dalam misi berawak pertama. Namun, misi ini gagal. Dua astronaut NASA tertahan di luar angkasa selama berminggu-minggu karena sistem pendorong bermasalah dan ada kebocoran helium. Rencana penyelamatan pun dialihkan ke SpaceX. Kegagalan ini menandai hilangnya kepercayaan NASA dan publik terhadap Boeing.
Tak berhenti di sana, ribuan pekerja Boeing di AS melakukan mogok kerja pada September 2024. Mereka menolak tawaran kenaikan gaji yang dianggap tidak setimpal dengan pengorbanan mereka selama satu dekade. Negosiasi buntu dan berujung pada pelaporan pelanggaran ke Dewan Hubungan Perburuhan Nasional.
Krisis Boeing berakar pada strategi yang terlalu fokus pada keuntungan jangka pendek. Mereka menghabiskan miliaran dolar untuk buyback saham agar nilai saham naik, tapi mengorbankan investasi jangka panjang seperti R&D dan pengembangan teknologi. Perubahan budaya setelah merger dengan McDonnell Douglas juga berdampak buruk: dari yang dulu berorientasi pada teknik dan keselamatan menjadi berfokus pada angka dan efisiensi.
Insinyur tidak lagi bebas menyuarakan kekhawatiran. Pengawasan internal melemah. Dalam industri penerbangan, ini adalah resep menuju bencana. Bahkan peluncuran 737 Max dilakukan tanpa pengawasan ketat karena Boeing mengambil alih sebagian proses sertifikasi. Sistem MCAS yang bermasalah pun luput dari perhatian.
Tragedi 737 Max menunjukkan pentingnya menjaga hubungan dengan regulator. Setelah dua kecelakaan itu, maskapai merugi dan mulai meragukan keamanan Boeing, sebagian bahkan beralih ke produsen lain. Padahal, kepercayaan adalah modal utama dalam industri ini.
Boeing juga tertinggal dalam inovasi dibandingkan pesaing seperti Airbus dan SpaceX. Dalam dunia yang cepat berubah, perusahaan harus terus berinovasi untuk bertahan. Berhenti berarti tertinggal.
Namun, titik balik mulai terlihat pada Desember 2024 saat Kil Orberg ditunjuk sebagai CEO baru. Dia menolak target finansial semata dan memilih fokus pada budaya keselamatan. Ia memperketat inspeksi di pabrik, termasuk di Spirit Aerosystems. Jumlah cacat dari pemasok turun 56%, pekerjaan tertunda berkurang setengah. Boeing bahkan berencana membeli kembali Spirit Aerosystems agar dapat mengendalikan mutu secara langsung.
Orberg juga berusaha mengubah cara berpikir perusahaan. Tidak ada lagi target produksi agresif sebelum indikator keselamatan membaik. Produksi 737 Max diharapkan bisa menyentuh lebih dari 38 unit per bulan hingga akhir tahun.
Kabar baik muncul di akhir 2024 ketika Pegasus Airlines memesan pesawat Boeing senilai 36 miliar dolar. Ini kejutan manis karena berhasil mengalahkan Airbus. Boeing juga berencana menginvestasikan 1 miliar dolar untuk lini produksi 787 di Carolina Selatan, dengan target produksi 10 pesawat per bulan pada 2026.
Tahun 2025 akan jadi tahun penentuan. Satu insiden keselamatan saja bisa menghancurkan kepercayaan publik. Apalagi dengan dinamika perdagangan global yang semakin menekan. China membatalkan pesanan 3 unit 737 Max dan melarang pembelian pesawat Boeing tanpa izin khusus, memperburuk situasi.
Meski begitu, Boeing masih bisa menjual pesawat yang tertahan ke maskapai lain. Airbus juga belum bisa menggantikan seluruh permintaan sendirian. Boeing akan mempercepat pengiriman pesawat yang sudah selesai dan mencari pembeli baru. Tapi tanpa dana besar untuk inovasi, mereka akan sulit melahirkan produk baru.
Dari kasus Boeing, kita bisa belajar tiga hal penting. Pertama, kekuatan sistem ada pada rasa aman penggunanya. Banyak karyawan Boeing tahu ada masalah, tapi mereka diam karena tak yakin suara mereka dihargai. Budaya kerja sehat lahir dari kejujuran yang tak mengundang hukuman.
Kedua, kepercayaan adalah aset paling mahal yang bisa hilang dalam hitungan hari. Setelah insiden, Boeing lambat menjelaskan apa yang terjadi. Publik tidak menuntut kesempurnaan, tapi ingin kejujuran dan tanggung jawab.
Ketiga, keputusan berdasarkan asumsi terbaik bisa membuat kita buta terhadap risiko. Boeing terlalu yakin semuanya akan berjalan lancar tanpa rencana cadangan. Berpikir optimis itu baik, tapi kita juga harus membayangkan skenario terburuk agar sistem yang dibangun lebih kuat.
Semoga kisah ini mengingatkan kita bahwa ketulusan, kemauan untuk mendengar, dan menjaga kepercayaan adalah fondasi yang tidak boleh dikorbankan, apalagi demi ambisi sesaat. Mari kita terus belajar bertanggung jawab, memperbaiki yang salah, dan membangun masa depan dengan hati yang jernih.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menetukan HPP dan Harga Jual
Mau Konsultasi?