Cerita Usaha ~ Nissan: Antara Inovasi, Krisis, dan Upaya Bangkit dari Keterpurukan
Nissan telah menempuh perjalanan sejarah yang panjang, penuh dengan inovasi besar, mulai dari Datsun 240Z hingga Nissan LEAF sebagai pelopor kendaraan listrik. Namun, mereka sering terlambat dalam membaca perubahan pasar, seperti saat tren SUV muncul di tahun 1990-an dan ketika mobil listrik mulai mendominasi. Akibatnya, Nissan kehilangan momentum dan tertinggal dalam persaingan.
Belakangan ini, muncul kabar bahwa Nissan berada di ambang kebangkrutan, disusul rumor tentang rencana merger dengan Honda. Sebelumnya, pada tahun 1999, Nissan juga pernah menghadapi kebangkrutan, tetapi di bawah kepemimpinan Carlos Ghosn, mereka berhasil bangkit dan kembali mencatat keuntungan. Sayangnya, skandal yang melibatkan Ghosn pada tahun 2018 mengguncang Nissan, menyebabkan ketidakstabilan internal dan hilangnya kepercayaan pasar.
Kini, Nissan harus berjuang melawan tantangan internal dan eksternal. Dengan penjualan yang terus menurun, mereka hanya memiliki waktu satu tahun untuk bertahan. Strategi dan inovasi apa yang mereka siapkan? Apakah rencana merger dengan Honda bisa menyelamatkan Nissan? Ataukah ini akan menjadi babak akhir dari sejarah panjang mereka?
Nissan memiliki sejarah yang panjang dan menarik. Semuanya bermula ketika Masujiro Hashimoto mendirikan Kaishinsha Motor Car Works di Tokyo pada tahun 1911. Saat itu, teknologi otomotif Jepang masih tertinggal. Namun, hanya tiga tahun kemudian, mereka berhasil membuat mobil pertama mereka, DAT, yang merupakan singkatan dari nama tiga pemodalnya: Den, Aoyama, dan Takeuchi.
Seiring waktu, bisnis Hashimoto terus berkembang hingga memasuki tahun 1930-an. Kaishinsha kemudian bergabung dengan Jitsuyo Jidosha, yang akhirnya melahirkan Nissan, di bawah kepemimpinan Yoshisuke Aikawa, seorang visioner yang pernah belajar di Amerika. Aikawa bermimpi menciptakan mobil yang dapat dimiliki oleh masyarakat luas.
Setelah Perang Dunia II, Nissan bangkit dengan meluncurkan Datsun 240Z pada tahun 1969, sebuah mobil sport dengan mesin bertenaga tetapi harga terjangkau. Mobil ini sukses besar, terutama di Amerika Serikat, dan menjadikan Nissan sebagai produsen mobil yang diperhitungkan di dunia.
Namun, memasuki akhir 1970-an, Nissan mulai kehilangan arah. Desain mobil mereka tidak lagi memiliki karakter khas, sementara selera konsumen mulai bergeser ke mobil yang lebih kecil, hemat bahan bakar, dan inovatif. Toyota dan Honda mulai mendominasi pasar dengan model seperti Corolla dan Civic, sementara Nissan terlambat beradaptasi.
Menarik Untuk Dibaca : Kolaborasi Jenius
Kesalahan ini terulang kembali di era 1990-an saat tren SUV mulai mendominasi pasar. Nissan masih fokus pada sedan seperti Sentra dan Maxima, sementara Toyota dan Honda sudah menghadirkan RAV4 dan CR-V yang lebih fleksibel dan cocok untuk keluarga Amerika. Nissan memang memiliki Pathfinder dan Terrano, tetapi inovasi dan promosinya kurang agresif, membuat mereka kembali kehilangan momentum.
Untuk mengejar ketertinggalannya, Nissan mencoba memperluas lini produknya dengan berbagai model seperti Primera untuk Eropa, Altima untuk Amerika, Cedric untuk eksekutif Jepang, serta Pulsar dan March untuk segmen mobil kompak.
Sayangnya, strategi ini justru membuat konsumen bingung. Terlalu banyak model dengan karakteristik yang tidak jelas menyebabkan biaya operasional meningkat dan kontrol kualitas menurun. Akibatnya, Nissan semakin tertinggal, sementara Toyota dan Honda terus mendominasi pasar global.
Pada tahun 1999, Nissan nyaris bangkrut dengan utang mencapai 20 miliar dolar AS. Penjualan merosot, inovasi macet, dan manajemen kehilangan arah. Saat itulah Renault masuk dan mengakuisisi 36,8% saham Nissan, serta menunjuk Carlos Ghosn sebagai pemimpin baru.
Keputusan ini mengejutkan Jepang, karena saat itu masih tabu bagi perusahaan besar Jepang untuk dipimpin oleh orang asing. Namun, Ghosn membawa reformasi besar, seperti:
Menghapus sistem promosi berbasis senioritas dan menggantinya dengan meritokrasi.
Menutup lima pabrik dan memotong 21.000 pekerjaan, meskipun langkah ini sangat tidak populer.
Membentuk Cross-Functional Teams (CFTs) untuk mengatasi birokrasi dan mempercepat pengambilan keputusan.
Memutus kontrak dengan pemasok yang tidak efisien.
Strategi ini berhasil. Pada awal 2000-an, Nissan kembali mencetak keuntungan dan meluncurkan model sukses seperti X-Trail. Pada tahun 2016, mereka bahkan mengakuisisi 34% saham Mitsubishi Motors.
Namun, keberhasilan Ghosn justru menciptakan ketegangan internal antara Nissan dan Renault. Pada 2018, Ghosn ditangkap di Tokyo atas tuduhan manipulasi laporan keuangan dan penyalahgunaan aset perusahaan. Kasus ini mengakibatkan Nissan kehilangan stabilitas. Skandal tersebut juga memperburuk hubungan Nissan dengan Renault dan Mitsubishi.
Setelah Ghosn, Nissan dipimpin oleh Makoto Uchida, tetapi kondisi keuangan mereka terus memburuk. Hingga kuartal ketiga 2024, Nissan mengalami kerugian 9,3 miliar Yen (hampir Rp1 triliun) dan harus menurunkan target penjualan mereka.
Untuk bertahan, Nissan memangkas biaya operasional sebesar 3 miliar dolar AS, mengurangi tenaga kerja, menunda peluncuran model baru, dan menurunkan kapasitas produksi. Mereka juga menjual sebagian saham di Mitsubishi Motors untuk mendapatkan dana segar.
Namun, langkah-langkah ini masih belum cukup untuk mengembalikan kejayaan Nissan. Mereka harus menghadapi persaingan ketat dari Tesla dan BYD di segmen mobil listrik, serta Toyota dan Honda di segmen hybrid.
Sebagai langkah inovasi, Nissan menjalin kemitraan strategis dengan Honda untuk mengembangkan teknologi kendaraan listrik dan self-driving. Rumor merger antara Nissan dan Honda pun mulai mencuat, dengan rencana pembentukan perusahaan induk pada Agustus 2026.
Menurut CEO Honda, Toshihiro Mibe, aliansi ini bukan untuk menyelamatkan Nissan, tetapi untuk memperkuat daya saing global. Jika merger ini berhasil, Nissan dan Honda akan menjadi produsen mobil terbesar ketiga di dunia setelah Toyota dan Volkswagen.
Dari perjalanan panjang Nissan, ada tiga pelajaran penting yang bisa dipetik:
Memahami perubahan pasar adalah kunci kesuksesan
Nissan gagal membaca tren SUV di tahun 1990-an dan kehilangan momentum dalam pasar kendaraan listrik. Keberhasilan bukan hanya tentang siapa yang memulai lebih dulu, tetapi siapa yang mampu terus memahami dan merespons kebutuhan pasar.
Kepemimpinan yang tepat dapat menyelamatkan atau menghancurkan perusahaan
Carlos Ghosn membawa perubahan besar yang menyelamatkan Nissan, tetapi strategi ambisiusnya juga menciptakan ketegangan internal. Kepemimpinan bukan hanya soal membuat keputusan besar, tetapi juga menjaga keseimbangan dan membangun kepercayaan.
Krisis adalah kesempatan untuk refleksi dan inovasi
Nissan berkali-kali bangkit dari krisis dengan mengubah strategi dan menata ulang prioritas. Dalam kehidupan pun, krisis bisa menjadi momen untuk introspeksi dan menemukan peluang baru.
Kini, pertanyaannya adalah: Apakah Nissan bisa bangkit dalam satu tahun ke depan? Apakah langkah-langkah mereka cukup untuk mengejar ketertinggalan? Hanya waktu yang akan menjawab apakah Nissan akan kembali berjaya atau justru tenggelam dalam sejarah otomotif dunia.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung BEP
Mau Konsultasi?