Inspirasi Bisnis ~ Dua brand besar dalam kategori yang sama sering kali bersaing sengit, bahkan tak jarang saling menyindir. Namun, berbeda dengan kebiasaan tersebut, Burger King dan KFC—dua merek fast food yang terkenal secara global—memutuskan untuk berkolaborasi di Prancis pada November lalu. Mereka meluncurkan produk bernama BFF Burger, singkatan dari Best Friend Forever. Produk ini tersedia di outlet KFC maupun Burger King, dengan konsumen diberikan tiga pilihan isian burger: beef patty khas Whopper dari Burger King, chicken patty khas KFC, atau opsi vegetarian. Sebagai simbol kolaborasi, kedua brand juga memajang logo gabungan Burger King dan KFC di akun media sosial masing-masing. Bahkan, packaging KFC dijual di outlet Burger King, dan sebaliknya.
Kampanye kolaborasi ini dibuat sangat menarik, termasuk melalui iklan musikal dengan lagu Why Can’t We Be Friends?. Iklan ini menampilkan adegan pertemanan akrab antara pegawai Burger King dan KFC. Langkah kolaborasi ini menarik perhatian karena di industri fast food, persaingan biasanya sangat sengit, dengan brand saling menonjolkan keunggulan masing-masing atau bahkan menjelekkan pesaing. Namun, alih-alih bersaing, kolaborasi Burger King dan KFC menunjukkan strategi coopetition—menggabungkan kompetisi dan kolaborasi untuk saling menguntungkan.
Keduanya memang berada dalam kategori besar yang sama, yaitu fast food restoran, tetapi mereka memiliki spesialisasi yang berbeda. Burger King dikenal unggul dengan burgernya, sementara KFC identik sebagai “jagonya ayam.” Kolaborasi ini minim risiko kanibalisasi karena masing-masing brand mengakui keunggulan spesialisasi partnernya. Burger King mengakui ayam khas KFC, dan KFC mengakui keunggulan burger Burger King. Hasilnya adalah kombinasi terbaik dari dua brand yang saling melengkapi. Situasinya akan berbeda jika kolaborasi terjadi antara Burger King dan McDonald’s, yang bersaing langsung di kategori burger di pasar luar negeri. Kolaborasi seperti itu justru bisa membingungkan konsumen dan memicu pertanyaan tentang siapa yang lebih unggul.
Menarik Untuk DIbaca : Munculnya Anti Startup
Strategi kolaborasi ini juga membantu kedua brand memvalidasi keunggulan masing-masing melalui priming effect. Misalnya, Burger King seolah menunjukkan bahwa KFC, “rajanya ayam,” mengakui keunggulan Burger King dalam burger. Sebaliknya, KFC juga mendapatkan validasi dari Burger King tentang keunggulan ayamnya. Secara tidak langsung, kampanye ini juga meminggirkan McDonald’s dari persaingan, dengan mengalihkan fokus pembandingan. Konsumen yang tadinya membandingkan Burger King versus McDonald’s kini diarahkan untuk membandingkan Burger King versus KFC. Dengan demikian, McDonald’s seolah-olah dikeluarkan dari percakapan.
Teknik ini juga berlaku bagi KFC, yang mengalihkan pembandingan antara dirinya dengan pemain lain di kategori ayam. Hasilnya, konsumen cenderung hanya mempertimbangkan KFC atau Burger King sebagai pilihan utama. Teknik serupa pernah digunakan oleh Sharp di Indonesia saat memasarkan AC seri Plasmacluster. Meskipun harga Plasmacluster lebih mahal, produk ini digunakan sebagai alat priming untuk mengalihkan perhatian konsumen dari merek lain. Konsumen akhirnya terdorong membeli AC kelas dua Sharp, yang sebenarnya sangat kompetitif dibandingkan merek lain. Strategi ini memperlihatkan bagaimana flagship product bisa dimanfaatkan untuk memfokuskan perhatian konsumen dan mendorong penjualan produk lainnya.
Kolaborasi antara Burger King dan KFC menunjukkan bahwa kerja sama strategis di antara kompetitor bisa menjadi langkah cerdas, selama masing-masing brand memahami posisi dan keunggulan spesialisasi mereka. Dengan memanfaatkan coopetition, dua brand besar ini tidak hanya saling mendukung, tetapi juga menguatkan posisi mereka di pasar tanpa mengorbankan keunggulan masing-masing.
Perpaduan dua jagoan di bidang masing-masing, Burger King untuk burger dan KFC untuk ayam, secara otomatis memicu rasa penasaran konsumen. Mereka bertanya-tanya, “Seperti apa ya jadinya kalau burger Burger King dipadukan dengan ayam KFC yang sudah terkenal nikmatnya?” Rasa penasaran ini menjadi dorongan kuat bagi konsumen untuk mencoba produk kolaborasi tersebut. Hints yang digunakan juga sangat jelas—burger khas Burger King dan ayam khas KFC, dua ikon dalam kategori fast food. Konsumen langsung membayangkan bahwa kombinasi ini pasti luar biasa, seperti ketika pedagang martabak terkenal mengombinasikan produknya dengan Nutella. Kombinasi ini menciptakan ekspektasi yang memicu dorongan untuk mencoba.
Selain rasa penasaran, kolaborasi ini juga membangun positive perception. Kolaborasi dua brand besar yang biasanya bersaing langsung menunjukkan bahwa kedua merek ini mampu menekan ego masing-masing demi menciptakan sesuatu yang menguntungkan semua pihak, baik bagi brand maupun konsumen. Hal ini sejalan dengan norma sosial yang mengutamakan hubungan baik daripada konflik. Secara bawah sadar, persepsi positif ini tertanam di benak konsumen, yang pada akhirnya dapat mendorong penjualan. Brand yang kolaboratif cenderung dipandang lebih positif dan relevan oleh pasar.
Kolaborasi ini juga membuka peluang cross-selling. Meski sebagian konsumen KFC pernah membeli di Burger King, dan sebaliknya, tetap ada konsumen yang cenderung memilih salah satu dari mereka. Dengan kolaborasi ini, konsumen yang selama ini hanya membeli di KFC akan merasa terdorong untuk mencoba Burger King, dan begitu juga sebaliknya. Hal ini memperluas jangkauan audiens kedua brand dengan anggaran yang relatif minim.
Faktor lain yang menarik dari kolaborasi ini adalah sifatnya yang unpredictable. Siapa sangka dua brand yang sering dianggap bersaing, seperti Burger King dan KFC, justru bisa berkolaborasi? Ini berbeda dari kolaborasi yang lebih mudah dipahami, seperti Burger King dengan Coca-Cola atau KFC dengan M&M’s, yang produknya saling melengkapi. Kolaborasi yang tidak terduga ini menciptakan beberapa efek positif. Pertama, hal ini mendorong rasa penasaran yang sudah dibahas sebelumnya. Kedua, kolaborasi ini membuat kedua brand lebih diingat oleh konsumen. Otak manusia cenderung mengingat hal-hal yang di luar prediksi karena secara naluriah otak berusaha mencernanya untuk memastikan apakah itu sesuatu yang menyenangkan atau berisiko.
Unpredictability juga menciptakan social currency, yang mendorong orang untuk mencoba produk agar dianggap up-to-date. Konsumen yang sudah mencoba produk ini akan merasa bangga dan berbagi pengalaman mereka kepada orang lain. Ketika orang lain mendengar tentang pengalaman tersebut, mereka pun terdorong untuk mencoba agar tidak merasa tertinggal atau fomo (fear of missing out). Hal ini menciptakan efek viral yang memperluas jangkauan produk kolaborasi tersebut.
Apa yang bisa kita pelajari dari kolaborasi ini? Pertama, kolaborasi dapat membantu menjangkau konsumen potensial dengan biaya yang lebih murah. Tanpa perlu memasang banyak iklan, brand bisa memanfaatkan konsumen dari partner kolaborasinya. Kedua, kolaborasi bahkan bisa dilakukan dengan kompetitor langsung (head-to-head competitor). Walaupun lebih sulit, kolaborasi semacam ini justru berpotensi menciptakan dampak yang lebih besar karena sifatnya yang tidak terduga. Ketiga, kolaborasi ini bisa menjadi validasi saling menguntungkan antara kedua brand, memperkuat posisi mereka di pasar. Terakhir, kolaborasi yang unpredictable dapat mendorong konsumen untuk mencoba karena adanya fomo, social currency, dan rasa penasaran yang tinggi.
Kolaborasi seperti ini menunjukkan bahwa persaingan tidak selalu harus diwarnai konflik. Dengan strategi yang tepat, bahkan kompetitor pun bisa saling mendukung untuk menciptakan dampak yang lebih besar dan positif di pasar.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Goal Target
Mau Konsultasi?