Tips Bisnis ~ E-commerce sudah menjadi bagian dari kehidupan konsumen Indonesia selama 15 tahun terakhir. Walaupun awal kemunculan platform marketplace banyak dibesarkan oleh para pedagang kecil dan menengah, kini tidak bisa dipungkiri bahwa brand nasional bahkan multinasional mulai memanfaatkan marketplace sebagai sales channel mereka. Faktanya, traffic marketplace yang terus meningkat membuat brand seolah-olah bisa mulai jualan dengan minim biaya marketing—ibarat membuka toko di mall yang sudah ramai pengunjung.
Namun, apa saja yang harus diperhatikan oleh brand dalam mengelola performa di platform marketplace? Halo, saya Ignasius Untung, selamat datang di Marketing H. Bahasan kali ini cukup akrab buat saya. Sebagai informasi, saya bekerja di dunia e-commerce sejak 2014 sampai 2024. Pada 2018–2020, saya sempat dipilih menjadi ketua umum Asosiasi E-commerce Indonesia, asosiasi yang menaungi pemain besar seperti Shopee, Tokopedia, Blibli, Lazada, Grab, Gojek, Google, Microsoft, Facebook, hingga TikTok.
Selama menjabat, saya banyak bertemu dengan kesalahpahaman dari euforia market terhadap marketplace. E-commerce memang memberikan banyak benefit untuk bisnis, tapi bukan berarti semudah membuat listing lalu tiba-tiba jualan dan kaya raya. Ada beberapa hal yang harus dipahami agar tidak salah ekspektasi.
Salah satu kesalahpahaman yang sering terjadi adalah menempatkan e-commerce sebagai “juru selamat”—seolah-olah kalau buka toko online, order akan langsung mengalir deras. Banyak pejabat pemerintah pun sering menjadikan e-commerce sebagai komoditas politik terhadap UMKM, mengingat lebih dari 50% ekonomi Indonesia didorong oleh UMKM. Saya selalu menegaskan: memang benar e-commerce adalah channel yang bisa membantu bisnis, tapi e-commerce juga bisa menjadi channel yang membunuh bisnis itu sendiri.
Menarik Untuk Dibaca : Bukalapak Tutup
Kenapa bisa begitu? Karena e-commerce menawarkan akses pasar yang lebih luas tanpa batasan waktu. Tapi, jangan dilihat hanya dari sisi konsumen tambahan saja—pasar yang lebih luas juga berarti kompetisi yang lebih terbuka. Penjual dari seluruh Indonesia bisa bersaing langsung dengan kita. Kalau kita kuat, potensi besar terbuka. Tapi kalau tidak kompetitif, ancamannya makin nyata.
Ada beberapa prinsip penting yang sering dilupakan: Pertama, di e-commerce tidak ada face-to-face interaction. Manusia secara natural akan “judge a book by its cover.” Konsumen menilai dari apa yang bisa dilihat: foto, video, dan deskripsi. Maka, listing quality sangat penting. Foto dan video produk harus tidak hanya informatif, tapi juga menggugah emosi. Misalnya, makanan yang difoto di piring cantik akan lebih menggoda dibanding hanya foto kemasan. Begitu juga produk lain seperti furniture—belajar dari IKEA yang memajang sofa dalam setting ruang tamu yang menarik.
Selain itu, social proof juga penting. Konsumen akan menilai dari jumlah produk terjual dan dari customer review. Review menjadi lebih penting dari sebelumnya, karena konsumen cenderung percaya sesama pembeli dibanding penjual. Listing kita harus mengumpulkan review positif sebanyak mungkin.
Tidak adanya face-to-face interaction sebenarnya bisa jadi keunggulan, karena semuanya bisa direncanakan lebih matang. Tapi ingat, ada paradoks: e-commerce menawarkan kemudahan 24 jam, tapi manusia di balik toko tidak selalu standby 24 jam. Konsumen online biasanya tidak sabar—kalau respons lambat, mereka akan pindah ke tempat lain. Inilah mengapa Live Commerce berkembang, karena memberi pengalaman real-time seperti di toko fisik.
E-commerce juga menghadirkan persaingan terbuka sempurna: jumlah penjual banyak, tanpa batasan geografis, dan semua transparan. Konsumen dengan mudah membandingkan harga dan produk antar toko. Akibatnya, listing kita harus sangat menarik. Kalau tidak, konsumen tinggal klik ke toko sebelah tanpa rasa sungkan.
Seller sering mencoba “nice try” dengan menaikkan harga lalu diskon, tapi di era transparansi ini, konsumen bisa langsung cek harga lain. Jadi, harga tinggi tanpa reputasi brand hanya membuat calon pembeli pergi tanpa bertanya.
Karena itu, brand owner perlu mengelola consumer database dengan serius. Walaupun platform membatasi akses ke data konsumen, ada banyak cara untuk membangun database sendiri. Mengelola database memungkinkan kita mendorong repeat order dan referral, sehingga kita tidak selalu bergantung pada mencari pembeli baru setiap saat.
Yang terakhir, kita harus sadar bahwa brand dan pricing harus dikelola bersamaan. Memang benar konsumen online price sensitive, tapi ini terjadi karena membandingkan harga menjadi sangat mudah. Kalau brand kita kuat, harga akan menjadi lebih fleksibel. Tanpa brand yang kuat, kita hanya akan bersaing di harga. Sebaliknya, brand yang dibangun dengan baik akan menaikkan willingness to pay konsumen—mereka tetap beli walaupun harganya lebih tinggi.
Sebagai recap:
E-commerce bukan sekadar enabler, tapi juga bisa membunuh yang tidak siap bersaing.
Online menghadirkan persaingan terbuka sempurna, di mana baik penjual maupun pembeli punya banyak pilihan.
Tidak ada face-to-face membuat kita harus lebih pintar mengelola kesan melalui foto, video, deskripsi, social proof, dan kecepatan respons.
Listing harus menarik, bukan hanya informatif tapi juga emosional.
Consumer database penting untuk repeat order dan referral.
Brand dan pricing harus dikelola beriringan: membangun brand supaya pricing tidak selalu menjadi pertarungan harga.
Menarik Untuk Ditonton : Pasangan Suami Istri Yang Sukses Berbisnis
Mau Konsultasi?