Saat itu, Doug McMillon ditunjuk sebagai CEO, memimpin Walmart di tengah perubahan besar dunia retail. Bisnis toko fisik memang masih berjalan, tapi tanda-tanda perubahan sangat nyata. Organisasi Walmart terlalu besar, membuat inovasi sulit dilakukan. Sementara Amazon terus melaju cepat. Walmart menghadapi pilihan berat: tetap dengan cara lama atau beradaptasi total dengan era digital. Namun, apakah beralih sepenuhnya ke e-commerce satu-satunya pilihan?
Doug McMillon bukan orang baru di Walmart. Ia lahir pada 1966 di Memphis, Tennessee, dan besar di Jonesboro, Arkansas, sebelum keluarganya pindah ke Bentonville, pusat operasi Walmart. Di usia 17 tahun, ia mulai bekerja paruh waktu di gudang Walmart. Ia kuliah akuntansi di University of Arkansas dan melanjutkan MBA di University of Tulsa. Selama kuliah, ia bekerja sebagai asisten manajer toko Walmart dan mengikuti berbagai pelatihan hingga akhirnya kariernya terus menanjak. Tahun 2005, ia menjadi CEO Sam’s Club, dan pada 2009, memimpin Walmart International. Di bawah kepemimpinannya, Walmart berkembang dari 3.300 toko di 14 negara menjadi lebih dari 6.300 toko di 26 negara. Pendapatan internasional menyumbang hampir 29% dari total pendapatan perusahaan.
Menarik Untuk Dibaca : Yang Harus Dimiliki Sales
Tahun 2013, McMillon ditunjuk sebagai CEO Walmart global. Saat itu, Walmart menghadapi dua tantangan utama. Secara internal, mereka kehilangan kelincahan karena struktur yang terlalu birokratis. Inovasi melambat, keputusan strategis butuh waktu lama. Secara eksternal, perubahan perilaku konsumen begitu cepat. Amazon menawarkan pengalaman berbelanja yang lebih nyaman dan efisien. Walmart, yang dulu mendikte pasar, kini harus mengejar ketertinggalan.
McMillon tak tinggal diam. Ia melihat perubahan sebagai peluang, bukan ancaman. Walmart butuh transformasi menyeluruh, bukan hanya perubahan strategi. Salah satu langkah penting adalah akuisisi Jet.com pada 2016 senilai 3 miliar USD. Ini bukan hanya memperkuat e-commerce Walmart, tapi juga membawa talenta digital ke dalam perusahaan. Walmart lalu meluncurkan Walmart Plus, layanan keanggotaan yang menyaingi Amazon Prime, dengan harga lebih terjangkau dan insentif relevan untuk pelanggan menengah. Layanan ini mencakup pengiriman gratis, diskon bahan bakar, hingga akses eksklusif ke produk tertentu.
McMillon berkomitmen menjaga identitas Walmart sebagai toko harga murah, sambil memodernisasi sistemnya. Walmart tidak menutup toko-toko fisik, melainkan memanfaatkannya sebagai pusat distribusi. Ini yang membedakan Walmart dari banyak perusahaan retail lain. Hasilnya terlihat jelas: pada 2023, pendapatan e-commerce Walmart di AS melonjak 4 kali lipat dibanding 2019, mencapai 65,4 miliar USD. Secara global bahkan mencapai 82 miliar USD, dan pada 2024 menembus 100 miliar USD. Walmart sukses bertransformasi jadi raksasa digital tanpa mengorbankan bisnis utamanya.
Keunggulan Walmart justru terletak pada integrasi toko fisik dan digital. Omni-channel bukan sekadar konsep, tapi keunggulan kompetitif. Pelanggan bisa belanja online, lalu ambil barang di toko atau dikirim dari toko terdekat. Strategi ini membuat Walmart tetap relevan dan tumbuh. Pada 2023, Walmart mencatat pendapatan 648 miliar USD, meningkat 162 miliar USD sejak McMillon jadi CEO.
Selain mengintegrasikan toko dengan digital, Walmart juga memperhatikan aspek kemanusiaan. Sementara Amazon sering dikritik karena tekanan kerja tinggi, Walmart mengambil pendekatan berbeda. Mereka menaikkan upah minimum, memberikan pendidikan gratis, dan menggunakan robot untuk membantu, bukan menggantikan pekerja. Ini menjadikan Walmart sebagai bisnis teknologi yang tetap berorientasi pada manusia.
McMillon juga mendorong diversifikasi pendapatan. Walmart kini menghasilkan 3,4 miliar USD dari bisnis iklan digital berbasis data konsumen. Mereka juga mengakuisisi Vizio seharga 2,3 miliar USD untuk memperluas jangkauan ke rumah konsumen. Semua ini menunjukkan bahwa Walmart bukan sekadar mengejar pendapatan retail, tapi berusaha menguasai lebih banyak aspek dalam kehidupan konsumen.
Meski begitu, masa depan McMillon menjadi pertanyaan. Para analis memprediksi dia masih akan menjabat dua tahun lagi, sambil menyiapkan suksesor. Jika bertahan lebih lama, ia akan jadi CEO terlama setelah Sam Walton. Namun McMillon santai menanggapi peringkat. Baginya, yang penting adalah bagaimana Walmart terus lebih baik melayani pelanggan, bukan soal jadi nomor satu atau dua.
Perjalanan Walmart di bawah McMillon mengajarkan tiga hal penting. Pertama, inovasi bukan berarti membuang yang lama, tapi menemukan cara baru untuk menghidupkannya. Kedua, teknologi seharusnya membantu manusia, bukan menggantikannya. Ketiga, bisnis besar tetap bisa punya nyawa jika tahu cara menjaga keseimbangan. McMillon tidak datang dari luar sistem. Ia memahami toko, pelanggan, dan karyawan karena pernah menjalani semuanya dari bawah. Ia melihat toko fisik bukan sebagai beban, tapi sebagai kekuatan strategis.
Bagi Walmart, robot bukan untuk memangkas pekerja, tapi untuk membantu. Teknologi bukan untuk menekan biaya semata, tapi untuk membuat pekerjaan lebih ringan. Di dunia yang terus berubah, kecepatan memang penting, tapi memahami apa yang harus dijaga dan apa yang harus ditinggalkan jauh lebih penting. Walmart menunjukkan bahwa perusahaan besar bisa berubah tanpa kehilangan jati diri. Mereka tidak terburu-buru mengubah segalanya, tapi tahu mana yang harus diperbaiki dan mana yang jadi kekuatan. Retail fisik belum mati—bahkan bisa jadi keunggulan di era digital.
Menarik Untuk Ditonton : Penyebab Gagal
Mau Konsultasi?