

Merek otomotif asal Tiongkok kini mendominasi pasar mobil listrik global. Penjualan mereka telah menembus jutaan unit per tahun dan mulai mengancam dominasi raksasa otomotif dunia. Dengan strategi yang agresif, cepat, dan fokus penuh pada kendaraan listrik murni (battery electric vehicle/BEV), mereka tampil sebagai kekuatan baru. Di sisi lain, raksasa otomotif asal Jepang seperti Toyota—yang selama puluhan tahun dikenal sebagai simbol keandalan, efisiensi, dan inovasi—tampak bergerak lebih tenang, bahkan terkesan ragu untuk sepenuhnya masuk ke arena kendaraan listrik murni. Hal ini memunculkan pertanyaan besar: apakah Toyota tertinggal, atau justru sedang menyiapkan langkah yang lebih strategis?
Di balik sikap yang tampak santai tersebut, Toyota sebenarnya menjalankan strategi jangka panjang yang sangat terstruktur, dikenal sebagai multi-pathway strategy. Strategi ini tidak bertumpu pada satu jenis teknologi, melainkan mengembangkan berbagai jalur teknologi secara paralel: mesin pembakaran internal yang lebih efisien, hybrid, plug-in hybrid (PHEV), battery electric vehicle (BEV), hingga hidrogen dan bahan bakar nabati seperti biofuel, biodiesel, dan bioetanol. Toyota meyakini bahwa tidak ada satu solusi tunggal yang cocok untuk seluruh dunia, karena tiap negara memiliki kondisi infrastruktur, sumber energi, dan perilaku konsumen yang berbeda.
Di Indonesia, misalnya, Toyota tidak hanya memasarkan mobil listrik berbasis baterai, tetapi juga secara aktif memproduksi dan menjual kendaraan hybrid dan mesin konvensional yang semakin efisien. Visi mereka sederhana namun kuat: masa depan berkelanjutan tidak boleh menunggu sampai infrastruktur sempurna. Setiap individu, di setiap kota, harus dapat berkontribusi menurunkan emisi mulai dari sekarang, sesuai dengan kemampuan dan kondisi lingkungan masing-masing. Bagi Toyota, elektrifikasi bukan perlombaan teknologi, melainkan perjalanan kolektif menuju emisi karbon yang lebih rendah.
Menarik Untuk Dibaca : Strategi Black Ocean Microsoft
Pandangan ini ditegaskan oleh Hiroki Nakajima, Chief Technology Officer Toyota, yang menyatakan bahwa setiap negara menghadapi tantangan unik, mulai dari pasokan energi, kesiapan jaringan listrik, hingga karakter berkendara masyarakat. Di Jepang dan Eropa, kendaraan BEV dapat berkembang pesat berkat dukungan kebijakan dan energi rendah karbon. Namun di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, kendaraan hybrid dinilai sebagai solusi transisi yang paling realistis karena mampu menurunkan emisi tanpa menunggu infrastruktur pengisian daya yang merata.
Filosofi bisnis Toyota juga menjadi fondasi penting strategi ini, dengan prinsip customer first, best in town, dan start by doing. Toyota berupaya menjadi yang terbaik di setiap wilayah nyata, bukan hanya unggul di atas kertas. Pelanggan ditempatkan sebagai pusat keputusan, dan aksi nyata lebih diutamakan dibanding wacana. Prinsip tersebut tercermin dalam portofolio merek Toyota, Lexus, hingga segmen lain, yang masing-masing memiliki peran berbeda namun mengarah pada tujuan yang sama, yaitu mobilitas berkelanjutan.
Kepercayaan diri Toyota dalam menjalankan strategi kompleks ini bertumpu pada ekosistem yang telah dibangun selama puluhan tahun. Dari sisi layanan, Toyota memiliki jaringan dealer dan bengkel terluas di Indonesia, didukung ratusan cabang, teknisi terlatih, serta layanan Toyota Mobile Service yang menjangkau pelanggan hingga ke lokasi mereka. Ketersediaan suku cadang yang luas melalui jaringan mitra juga menciptakan sistem kepercayaan jangka panjang: ke mana pun pelanggan pergi, mereka tahu akan selalu menemukan dukungan Toyota.
Dari sisi produksi, Toyota melibatkan lebih dari 200 pemasok lokal, tidak sekadar untuk memasok komponen, tetapi juga untuk meningkatkan kapasitas teknologi dan kualitas industri otomotif nasional. Indonesia pun berkembang menjadi salah satu basis produksi global Toyota, dengan produk yang diekspor ke Asia, Timur Tengah, Afrika, hingga Amerika Selatan. Pendekatan jangka panjang ini menunjukkan bahwa investasi Toyota bukan hanya bersifat finansial, tetapi juga transfer pengetahuan dan penguatan ekosistem industri.
Toyota juga unggul dalam menjaga hubungan jangka panjang dengan pelanggan melalui pengelolaan siklus hidup kendaraan, mulai dari pembelian, perawatan, hingga tukar tambah. Pendekatan ini membuat pelanggan merasa diperhatikan secara berkelanjutan, bukan hanya pada saat transaksi awal. Strategi ini terbukti tangguh dalam menghadapi berbagai krisis, mulai dari krisis moneter akhir 1990-an, pandemi Covid-19, hingga gempuran merek-merek baru di pasar otomotif.
Saat krisis moneter, Toyota bangkit melalui kehadiran Avanza, mobil keluarga yang lahir dari riset mendalam terhadap kebutuhan masyarakat Indonesia dan kolaborasi dengan Daihatsu. Dengan harga terjangkau, efisiensi tinggi, dan kesesuaian dengan kondisi lokal, Avanza berkembang menjadi ikon mobilitas rakyat. Pada masa pandemi, Toyota kembali menunjukkan adaptabilitasnya melalui penerapan protokol kesehatan ketat, penguatan layanan digital, serta fleksibilitas manufaktur dan rantai pasok.
Berbagai data menguatkan posisi Toyota. Dalam Brand Loyalty Report, Toyota dan Lexus menempati peringkat teratas dalam loyalitas pelanggan. Di Indonesia, pangsa pasar Toyota mencapai sekitar 33,4%, sementara di pasar mobil bekas, Avanza dan Kijang Innova tetap menjadi pilihan utama. Secara global, Forbes menempatkan Toyota dan Lexus sebagai best brand for value, merepresentasikan konsistensi antara harga, kualitas, dan kepercayaan.
Sebaliknya, pabrikan Tiongkok memilih strategi all-in pada kendaraan listrik, dengan penguasaan sekitar 75% rantai pasok kritikal seperti baterai dan motor listrik. Strategi ini memang memberikan keunggulan biaya dan kecepatan, namun juga menghadirkan risiko besar, terutama di pasar yang infrastrukturnya belum stabil. Keluhan pengguna terkait degradasi baterai dan nilai jual kembali mulai bermunculan. Di sinilah Toyota mengambil posisi berbeda: tidak menjadi yang tercepat, tetapi berupaya menjadi yang paling siap dalam berbagai skenario.
Meski demikian, jalan Toyota bukan tanpa risiko. Dunia bergerak cepat, banyak negara menargetkan penghentian kendaraan berbahan bakar fosil pada 2035, dan generasi muda mulai memandang BEV sebagai simbol masa depan. Jika terlalu berhati-hati, Toyota berisiko kehilangan momentum dan dicap tertinggal. Namun jika terlalu terburu-buru, reputasi keandalan yang dibangun puluhan tahun bisa dipertaruhkan. Inilah dilema strategis Toyota: menyeimbangkan kehati-hatian dan kecepatan adaptasi.
Untuk menjawab tantangan ini, Toyota memilih tetap konsisten namun fleksibel. Mereka mempercepat adopsi BEV di negara dengan infrastruktur siap, sembari memperkuat hybrid sebagai solusi transisi di pasar berkembang. Pendekatan ini memungkinkan Toyota tetap relevan secara global tanpa mengabaikan konteks lokal. Penguatan pengalaman pelanggan juga menjadi fokus, karena di era kompetisi baru, diferensiasi bukan lagi semata fitur teknis, melainkan rasa aman dan kepercayaan.
Dalam pidato Presiden dan CEO Toyota Motor Corporation di Japan Mobility Show 2025, ditegaskan bahwa filosofi Toyota selalu menjadi kompas inovasi mereka. Toyota tidak sekadar mengikuti tren global, tetapi berupaya menjawab kebutuhan riil setiap individu dan kondisi lokal yang beragam. Pendekatan ini menunjukkan bahwa bagi Toyota, masa depan bukan tentang menjadi yang paling futuristik, melainkan tentang memberikan solusi paling bernilai.
Dalam konteks Indonesia, strategi Toyota terasa sangat relevan. Infrastruktur pengisian daya masih belum merata, pasokan listrik di beberapa wilayah belum stabil, dan konsumen masih sangat mempertimbangkan biaya kepemilikan dan nilai jual kembali. Oleh karena itu, kehadiran kendaraan hybrid dan PHEV berdampingan dengan BEV bukanlah tanda ketertinggalan, melainkan langkah strategis. Toyota memahami bahwa relevansi lebih penting daripada sekadar mengikuti tren global.
Dari perjalanan ini, terdapat tiga pelajaran penting. Pertama, kecepatan bukan segalanya; relevansi dan timing sering kali lebih menentukan. Kedua, ekosistem yang kuat—layanan, rantai pasok, dan loyalitas pelanggan—menjadi fondasi ketahanan jangka panjang. Ketiga, inovasi sejati adalah inovasi yang memberi ketenangan dan keandalan dalam kehidupan nyata, bukan sekadar janji futuristik.
Pada akhirnya, kisah Toyota mencerminkan sebuah pelajaran universal. Tidak semua orang, atau perusahaan, harus berlari paling cepat. Yang terpenting adalah memiliki arah yang jelas, fondasi yang kuat, dan konsistensi dalam melangkah. Dalam maraton panjang industri otomotif, Toyota memilih untuk berlari jauh, bukan sekadar cepat. Pertanyaannya bukan siapa yang sampai lebih dulu, melainkan siapa yang mampu bertahan dan terus memberi nilai hingga garis akhir.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Memasarkan Produk Dengan Cara Canvasing
Mau Konsultasi?