Tips Bisnis ~ Indonesia adalah negara dengan jutaan UMKM yang menjadi penggerak utama ekonomi kita. Sayangnya, tidak banyak pelaku UMKM yang tahu bagaimana membawa bisnis mereka ke skala berikutnya. UMKM selalu menjadi topik menarik dalam dunia bisnis, salah satunya karena jumlah pelakunya yang sangat besar—puluhan juta. Namun, ironisnya, kesempatan untuk belajar tentang cara mengembangkan bisnis masih terbatas. Tantangan terbesar adalah banyaknya materi belajar yang tidak kontekstual. Ilmu marketing yang tersedia sering kali lebih relevan untuk perusahaan besar dengan strategi dan anggaran yang besar, termasuk dalam hal branding.
Di sisi lain, ilmu yang cocok untuk UMKM sering kali terlalu pragmatis dan minim kerangka berpikir, sehingga berujung hanya pada daftar tugas yang ditiru mentah-mentah. Hal ini berbahaya karena membuat pelaku UMKM menjadi seragam dan tidak memahami esensi dasar dari bisnis itu sendiri.
Banyak konten saya pun seringkali berfokus pada brand besar, walaupun sebenarnya esensinya bisa diaplikasikan oleh jenis bisnis apa pun. Jadi, apakah benar marketing untuk perusahaan besar berbeda dengan UMKM? Mari kita buktikan. Saya akan menggunakan framework yang populer dalam bisnis besar, yaitu Marketing Mix 7P, dan menunjukkan bagaimana ini bisa diaplikasikan untuk UMKM. Bagi Anda yang bisnisnya bukan UMKM, tetap simak karena kerangka ini bersifat universal.
P pertama: Produk. Saya selalu memulai dengan produk. Setelah memahami profil konsumen, langkah selanjutnya adalah menemukan ramuan produk yang paling tepat. Sayangnya, banyak pemilik bisnis yang melewatkan tahapan ini dan buru-buru beralih ke elemen lain. Akibatnya, mereka menghabiskan waktu lama memperbaiki masalah di elemen lain yang sebenarnya bersumber dari produk itu sendiri. Produk adalah fondasi bisnis. Marketing bisa membantu banyak hal, tetapi tidak bisa menyelesaikan masalah produk. Strategi marketing yang baik tidak bisa secara konsisten menjual produk yang buruk. Brand adalah soal persepsi, dan persepsi akan selalu mencerminkan realitas. Jika kualitas produk buruk, membangun brand yang kuat pun sulit, dan penjualan pun tidak akan berkelanjutan.
Menarik Untuk Dibaca : Strategi untuk UMKM
Untuk membuat produk unggul, fokuslah pada keunikan dan keunggulan. Produk yang tidak unggul dan tidak berbeda bisa saja laku, tetapi tantangannya lebih berat karena konsumen tidak punya alasan untuk kembali. Keunikan tidak harus selalu datang dari produk itu sendiri. Perspektif dan framing bisa mengubah produk biasa menjadi luar biasa. Contohnya, Post-It yang awalnya adalah lem dengan kualitas buruk, namun dengan perspektif berbeda, menjadi produk yang bernilai sebagai catatan tempel yang bisa dilepas tanpa meninggalkan bekas. Dibutuhkan mental flexibility untuk menemukan sudut pandang seperti ini.
P kedua: Place. Place sering diartikan sebagai saluran distribusi, yaitu tentang di mana produk tersedia. Ada beberapa dimensi dalam elemen ini. Pertama adalah keterjangkauan. Manusia cenderung malas; semakin mudah produk dijangkau, semakin besar kemungkinan mereka akan membelinya. Hal ini bisa dilihat dari kesuksesan Alfamart dan Indomaret yang memiliki lokasi saling berdekatan, bahkan di seberang-seberangan. Konsumen lebih memilih yang paling dekat, meskipun hanya terpaut jarak kecil. Tempat di sini bukan hanya soal lokasi fisik, tetapi juga kemudahan melalui saluran online.
Kedua, kepercayaan. Channel distribusi yang kuat akan membantu membangun kepercayaan terhadap brand. Semakin luas jangkauan outlet distribusi, semakin kuat kesan bahwa produk kita terpercaya. Konsumen akan berpikir, “Kalau ada di banyak tempat, berarti ini produk yang bisa diandalkan.” Oleh karena itu, place tidak hanya tentang ketersediaan produk, tetapi juga soal membangun kredibilitas brand melalui distribusi.
P ketiga: Price. Harga sering menjadi momok bagi banyak pebisnis. Harga adalah sesuatu yang ditakuti ketika pesaing menawarkan produk dengan harga lebih murah, tetapi juga sesuatu yang selalu diusahakan untuk dioptimalkan. Banyak pemilik bisnis panik ketika harga produk pesaing lebih kompetitif, lalu sibuk mencari cara menurunkan harga atau menekan biaya. Namun, harga bukan hanya soal menjadi yang paling murah. Menentukan harga harus mempertimbangkan nilai yang diberikan produk kepada konsumen. Jika produk memiliki keunggulan atau menawarkan nilai lebih, konsumen akan rela membayar lebih mahal.
Secara keseluruhan, Marketing Mix 7P bukan hanya milik perusahaan besar. Framework ini sangat relevan dan bisa diaplikasikan untuk UMKM. Esensi dari setiap elemen tetap sama, hanya konteks dan implementasinya saja yang disesuaikan dengan skala bisnis. Fokuslah pada produk yang berkualitas dan unik, distribusi yang mudah dijangkau dan membangun kepercayaan, serta strategi harga yang mencerminkan nilai produk. Dengan pendekatan ini, UMKM bisa berkembang dan membawa bisnis mereka ke skala yang lebih tinggi.
Harga lebih murah sering menjadi pilihan karena pada dasarnya manusia selalu menyukai sesuatu yang lebih hemat. Jika ada yang murah, why not? Otak kita secara alami mencari pleasure dan menghindari pain. Membeli lebih murah adalah pleasure, sementara membeli lebih mahal adalah pain. Gol brand owner adalah menetapkan harga yang kompetitif, baik melalui sumber bahan yang lebih murah, bundling produk, atau promo dari partner pembayaran. Namun, harga yang tepat bukan selalu yang paling murah. Strategi harga bergantung pada konteks pasar, jumlah pemain, dan persepsi konsumen.
Misalnya, ketika hanya ada dua pemain di pasar, harga yang sedikit lebih mahal bisa dipilih karena dianggap lebih berkualitas. Namun, jika terlalu murah, konsumen bisa curiga dengan kualitas produk. Hal serupa terjadi pada pasar dengan tiga pemain. Konsumen sering memilih harga tengah sebagai yang “aman”—tidak terlalu mahal atau terlalu murah. Selain itu, harga juga bergantung pada framing. Jika produk berkualitas tinggi tapi harganya murah, orang bisa curiga. Sebaliknya, jika produk kualitas rendah tapi harganya mahal, konsumen akan meninggalkannya. Ukuran kemasan pun bisa mempengaruhi persepsi harga. Misalnya, 100 ml seharga Rp100.000 langsung bisa dibandingkan, tetapi jika kemasan diubah menjadi 90 ml dengan harga Rp90.000, perbandingannya menjadi tidak langsung dan lebih sulit terlihat mahal.
Physical environment menjadi elemen penting berikutnya. Ini mencakup tampilan outlet, website, akun Instagram, hingga foto produk dan kemasan. Prinsip don’t judge a book by its cover tidak berlaku di dunia bisnis karena otak manusia selalu berusaha memprediksi mana yang aman dan mana yang berisiko. Dengan banyaknya informasi yang diterima, manusia harus cepat menilai sesuatu. Dalam kasus brand, physical environment menjadi pegangan awal untuk memprediksi kualitas. Tampilan yang rapi, proper, dan memberikan kesan positif akan membangun kepercayaan konsumen.
Selanjutnya adalah people, elemen yang paling krusial namun sering diabaikan. People mencerminkan seberapa baik brand melalui orang-orang yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Apakah mereka ramah, kompeten, dapat dipercaya, dan bagaimana penampilannya? Ini penting karena manusia bisa menyentuh sisi emosional konsumen secara langsung. Iklan memang bisa menyentuh emosi, tetapi tidak bisa personal seperti interaksi manusia. Jika komunikasi dari manusia bisa diadaptasi sesuai situasi, maka brand bisa membangun hubungan yang lebih dekat dengan konsumen. Banyak bisnis yang infrastrukturnya biasa saja, tetapi tetap bertahan karena pelayanan dari orang-orangnya yang baik. Namun, ini sulit dicapai jika culture perusahaan tidak mendukung. Misalnya, seorang introvert ditempatkan sebagai frontliner yang harus ekstrovert, atau seorang penjual yang kurang sabar ditempatkan di posisi customer service.
Proses adalah elemen berikutnya. Meskipun UMKM cenderung memiliki proses bisnis yang lebih simpel, ini tetap bisa menjadi keunggulan jika dioptimalkan. Misalnya, bagaimana sistem pemesanan dibuat lebih efisien, bagaimana proses antrean dibuat lebih nyaman, atau bagaimana metode pembayaran dibuat lebih mudah. Hal-hal sepele seperti ini bisa membuat konsumen lebih puas dan nyaman sehingga membantu meningkatkan loyalitas.
Terakhir adalah promotion, yang sengaja diletakkan di akhir. Sebab, promosi adalah soal amplifikasi, bukan fondasi. Jangan sampai kebalik, di mana promosi dipikirkan lebih dulu sementara formula dasar (produk, harga, distribusi, dan lainnya) belum beres. Promosi terdiri dari dua komponen utama: exposure dan messaging. Exposure berkaitan dengan bagaimana pesan disampaikan dan seberapa sering terlihat—baik melalui flyer, spanduk, media sosial, atau saluran lain. Konsumen butuh repetisi untuk mengingat sesuatu. Sementara messaging berkaitan dengan isi pesan itu sendiri. Banyak bisnis terjebak hanya memikirkan saluran penyebaran tanpa memikirkan isi pesan. Ada juga yang hanya fokus pada apa yang ingin disampaikan tanpa mempertimbangkan apa yang menarik bagi konsumen. Padahal, komunikasi bukan soal “ngomong saja”, tapi memastikan apa yang disampaikan didengar, diingat, dan mendorong tindakan dari audiens.
Ketika 7P ini diterapkan dengan tepat dan sesuai konteks, baik bisnis besar maupun UMKM bisa berkembang secara terarah. Framework ini juga membantu mengidentifikasi area mana yang perlu diperbaiki ketika bisnis mengalami hambatan. Dengan pemahaman mendalam tentang produk, harga, distribusi, tampilan fisik, pelayanan, proses, dan promosi, bisnis apa pun—kecil atau besar—dapat tumbuh dan meraih keberhasilan.
Menarik Untuk Ditonton : Kisah Sukses Ibu Rumah Tangga
Mau Konsultasi?