Pertanyaannya, apakah pemimpin perusahaan teknologi memang bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas semua konten yang muncul di platform mereka? Mari kita telusuri jejak Pavel Durov dalam menciptakan Telegram dan apa yang membuatnya spesial, serta bagaimana kronologi penangkapannya hingga masa depan aplikasi Telegram.
Mari kita mulai pada tahun 2006, ketika seorang mahasiswa jurusan Filologi di Universitas St. Petersburg bersama teman-temannya menciptakan sebuah platform media sosial yang disebut VKontakte. Formatnya mirip seperti Facebook, sehingga penciptanya, yaitu Pavel Durov, kemudian dikenal sebagai “Zuckerberg-nya Rusia.” Segera saja, VKontakte menjadi media sosial favorit warga Rusia karena Durov memperkaya VKontakte dengan fitur-fitur yang lebih sesuai dengan pasar Rusia, seperti kemampuan berbagi file dengan mudah, termasuk musik dan video. Fitur-fitur seperti itulah yang membuat VKontakte sangat berbeda dari Facebook, yang pada waktu itu lebih ketat dalam soal kebijakan hak cipta.
Dengan berbagai fitur yang lebih lengkap, VKontakte menjadi platform yang cepat menarik perhatian, sehingga jumlah penggunanya cepat bertambah. Termasuk di antara penggunanya adalah para tokoh oposisi yang menentang Presiden Vladimir Putin. Namun, suara-suara kaum oposisi di VKontakte membuat pemerintah Rusia gerah. Pada tahun 2011, mereka meminta Durov menghapus akun-akun dan unggahan para oposisi tersebut. Namun, Durov, yang dikenal keras kepala, menolak permintaan itu.
Menarik Untuk Dibaca : Strategi Threads Untuk Mematikan Twitter
Durov, yang lahir di St. Petersburg, tidak hanya menolak permintaan pemerintah Rusia, tetapi juga tawaran dari seorang konglomerat yang ingin membeli saham VKontakte, padahal konglomerat tersebut adalah teman dekat Putin. Sikap Durov membuat pemerintah Rusia semakin tidak senang dan memancing mereka untuk bertindak lebih keras. Pada tahun 2014, pemerintah Rusia meminta Durov menyerahkan data pengguna VKontakte yang menyebarkan materi anti-pemerintah dan anti-Rusia di Ukraina. Namun, lagi-lagi Durov menolak.
Meskipun demikian, Durov mulai menyadari bahwa situasinya di Rusia tidak menguntungkan. Tekanan dari pemerintah Rusia semakin besar dari hari ke hari, dan Durov menyadari bahwa Rusia bukanlah tempat yang cocok untuk mengembangkan bisnis internet independen. Akhirnya, Durov memutuskan untuk hengkang ke Dubai, di mana ia melanjutkan pengembangan Telegram, aplikasi pesan instan yang menjadi salah satu platform paling populer di dunia.
Namun, setahun sebelumnya, yaitu pada tahun 2013, bersama kakaknya yang bernama Nikolai Durov, Pavel sudah meluncurkan Telegram, sebuah aplikasi pesan instan yang fokus pada kecepatan dan keamanan. Di tempat pengasingannya di Dubai, Durov kemudian fokus mengembangkan Telegram. Pavel mengurus masalah keuangan, sementara Nikolai bertanggung jawab atas urusan teknis. Telegram dirancang untuk mengutamakan aspek keamanan dan privasi.
Aplikasi ini menawarkan enkripsi end-to-end pada fitur obrolan rahasia, sehingga pesan hanya bisa dibaca oleh pengirim dan penerima, dan pihak lain, termasuk Telegram sendiri, tidak bisa mengakses atau membaca pesan tersebut. Selain itu, Telegram menggunakan protokol khusus yang disebut MTProto, yang dirancang untuk memberikan kecepatan sekaligus keamanan yang tinggi.
Telegram juga sangat tegas menolak setiap permintaan pihak berwenang untuk mendapatkan akses ke pesan-pesan pengguna. Dengan kelebihan-kelebihan ini, Telegram kemudian tumbuh menjadi platform komunikasi global dengan ratusan juta pengguna. Padahal, awalnya Telegram hanya dikenal sebagai aplikasi pesan alternatif.
Pada Oktober 2013, Telegram sudah diakses oleh 100.000 pengguna aktif harian, dan hanya beberapa bulan kemudian, tepatnya pada Maret 2014, jumlah pengguna aktif harian mereka tercatat sebanyak 15 juta, dengan pengguna bulanan mencapai 35 juta. Tiga tahun kemudian, pada tahun 2017, pengguna aktif Telegram di seluruh dunia sudah mencapai 100 juta, dengan 15 miliar pesan dikirim setiap harinya.
Yang membuat Telegram diminati banyak orang adalah platform ini bisa diakses dari berbagai perangkat, mulai dari Android hingga Linux. Telegram kemudian menemukan titik lompat tertingginya di tahun 2021, ketika muncul tren banyak pengguna yang meninggalkan WhatsApp. Pada waktu itu, pengguna baru Telegram langsung melonjak drastis hingga 500%. Dalam tempo 72 jam, sebanyak 25 juta orang telah mendaftar ke Telegram. Lonjakan tersebut membuat Telegram semakin populer di kalangan pengguna yang menginginkan privasi.
Bagi Pavel Durov, lonjakan tersebut adalah bukti bahwa banyak orang yang mengharapkan perlindungan privasi di media sosial mereka, bahkan menolak jika privasi tersebut ditukar dengan layanan gratis yang ditawarkan oleh platform lain, yang mengorbankan keamanan data.
Dari sebuah aplikasi pesan sederhana, sekarang Telegram telah berkembang menjadi platform global yang krusial untuk kebebasan berekspresi, terutama di negara-negara dengan rezim otoriter. Di negara-negara seperti Rusia, Iran, dan Belarus, di mana pemerintah mengontrol ketat media dan internet, Telegram telah menjadi media penting yang dimanfaatkan oleh para aktivis oposisi dan juga pers independen, karena dengan menggunakan Telegram, mereka bisa menghindari sensor dari pemerintah.
Rusia, misalnya, pada tahun 2018, mencoba memblokir Telegram karena perusahaan tersebut menolak menyerahkan kunci enkripsi kepada dinas keamanan. Telegram pun dilarang, meskipun pada kenyataannya para penggunanya masih tetap bisa mengakses. Akhirnya, pemerintah Rusia menyerah. Saat ini, Telegram menjadi satu-satunya platform media sosial yang tidak dikendalikan langsung oleh pemerintah. Sementara itu, di Belarus, selama pemilihan presiden pada 2020, Telegram menjadi media utama untuk mengorganisir protes besar-besaran. Saluran oposisi seperti Nexta Live, yang rajin menyampaikan informasi protes secara real-time, mengalami lonjakan jumlah pengguna yang mencapai jutaan dalam hitungan minggu.
Di Iran, meskipun diblokir, Telegram tetap menjadi sarana penting bagi para aktivis dan jurnalis untuk menyebarkan informasi yang biasanya disensor oleh pemerintah. Pemblokiran Telegram juga dilakukan oleh pemerintah Indonesia pada tahun 2017 karena dianggap menjadi sarana penyebaran konten-konten berbahaya seperti propaganda radikalisme. Pemblokiran dilakukan karena Telegram dinilai tidak memiliki prosedur operasi standar (SOP) yang memadai untuk menangani konten-konten yang dianggap mengancam keamanan negara.
Spektrum penggunaan Telegram sangat luas dan beragam, mulai dari aktivis pro-demokrasi di Iran dan Hong Kong, hingga kelompok-kelompok yang terduga sebagai teroris. Bahkan, bukan hanya mereka, kelompok-kelompok kriminal terorganisir, pejabat negara, dan personel militer juga memanfaatkan Telegram sebagai sarana komunikasi. Dengan spektrum yang begitu luas, Telegram telah bertransformasi menjadi saluran utama yang lebih besar untuk menyebarkan informasi ke audiens. Penggunanya bisa membuat kanal untuk menyampaikan berita, panduan, atau propaganda kepada ribuan hingga jutaan orang dalam waktu yang singkat.
Dengan begitu beragamnya pengguna, Telegram dituduh memfasilitasi gerakan-gerakan separatis dan ekstremis. Misalnya, The Huffington Post melaporkan bahwa Telegram menjadi media alternatif bagi gerakan Negara Islam di Irak dan Suriah (NIIS), padahal Facebook dan Twitter sudah gencar menutup akun-akun yang berafiliasi dengan NIIS. Para analis mengungkapkan bahwa sejak tahun 2015, para ekstremis telah bermigrasi ke platform yang menawarkan privasi dan kebebasan yang lebih tinggi. Dalam 10 tahun terakhir, kelompok-kelompok ekstrem juga semakin berkembang di Telegram, termasuk kelompok yang menyebarkan konten antisemitisme yang paling ekstrem dan penuh kekerasan, seperti yang diungkapkan oleh Hope Not Hate di Inggris pada tahun 2021.
Pada tahun 2023, Brazil sempat melarang sementara Telegram karena sedang menyelidiki kelompok neo-Nazi yang diduga menggunakan aplikasi ini untuk merencanakan serangan di sekolah-sekolah. Telegram juga digunakan oleh para tentara di medan tempur Rusia-Ukraina untuk berbagi kabar terbaru dari medan perang. Selain itu, masing-masing pihak memanfaatkannya untuk melancarkan propaganda, mengumpulkan dana, dan membantu evakuasi warga sipil, berkat tingkat privasi yang kuat yang ditawarkan oleh Telegram.
Telegram menjadi tempat nyaman untuk menyebarkan informasi perang tanpa filter, termasuk video pertempuran yang mengerikan. Telegram memang tidak memiliki aturan yang jelas terkait sensor, sehingga tidak bisa melarang penyebaran video pelecehan seksual anak di pesan pribadi. Stanford Internet Observatory bahkan menyatakan bahwa Telegram gagal melakukan pengawasan konten dasar di saluran publiknya, sehingga memungkinkan penyebaran pornografi anak. Akibatnya, para penjual video seksual anak merasa leluasa beroperasi. Ini memang sangat memprihatinkan.
Oleh karena itu, wajar ketika Uni Eropa, yang sangat ketat dalam kebijakan konten, terus berusaha mengendalikan Telegram. Mereka ingin Telegram mengikuti aturan ketat yang ada, seperti Undang-Undang Layanan Digital tahun 2022 yang memaksa platform tersebut untuk lebih transparan dan proaktif dalam mengawasi konten berbahaya dan ilegal.
Tentu saja, Pavel Durov membantah tuduhan-tuduhan miring terhadap pihaknya. Antara lain, setelah serangan Paris pada November 2015, ia sudah berusaha menutup 78 kanal pro-NIIS serta ratusan kanal lain yang berafiliasi dengannya. Durov juga membantah tuduhan bahwa Telegram menjadi sarana utama bagi ekstremis, sebab menurutnya banyak pengguna memanfaatkan Telegram untuk tujuan yang sah, dan ia menolak memberikan akses kepada pihak berwenang untuk memantau percakapan mereka.
Mungkin karena jengkel dengan tanggapan Durov seperti itu, akhirnya pemerintah Prancis bertindak tegas. Unit Kejahatan terhadap Anak-anak Prancis menangkap Durov pada Sabtu, 24 Agustus 2024, di Bandara Le Bourget, Paris, setibanya Durov dari Azerbaijan.
Ia dituduh tidak memoderasi konten di Telegram yang mengandung unsur kejahatan, termasuk penipuan, peredaran narkoba, dan kejahatan terhadap anak-anak. Telegram dianggap lalai dalam mengawasi konten berbahaya dan terorisme, sehingga pihak berwenang di Prancis menyatakan bahwa sudah cukup Telegram menganggap diri mereka kebal hukum. Yang tidak kalah menarik sebenarnya adalah operasi penangkapannya, sebab meskipun jadwal penerbangan Durov dirahasiakan, aparat berhasil membongkarnya. Hal ini berawal dari pelacakan mereka terhadap unggahan media sosial Yulia Favilova, seorang influencer kripto yang selalu berada di sisi Durov. Favilova, yang gemar memamerkan gaya hidup mewahnya, tanpa sadar telah membocorkan jejak perjalanan Durov. Unggahan terakhir Favilova yang memperlihatkan sebuah foto jet pribadi dan makan malam mewah di atas pesawat ternyata menjadi petunjuk bagi aparat.
Akhirnya, sewaktu pesawat pribadi mereka mendarat, bukan sambutan kemewahan yang menanti, melainkan sergapan aparat Prancis. Durov, Favilova, dan sekretaris Durov langsung dibekuk oleh Unit Kejahatan Anak-anak Ofman. Tentu saja Telegram memprotes penangkapan pemimpinnya. Mereka mempertanyakan apakah para pemimpin perusahaan teknologi memang bisa dituntut untuk bertanggung jawab atas semua konten yang muncul di platform mereka. Telegram juga mengingatkan bahwa mereka selalu mematuhi hukum Uni Eropa, termasuk Undang-Undang Layanan Digital yang mengatur moderasi konten. Sistem moderasi yang mereka terapkan sudah sesuai dengan standar industri dan terus ditingkatkan untuk bisa lebih baik lagi. Apalagi, Durov sendiri tidak pernah mencoba menyembunyikan apapun.
Bukan hanya Telegram yang mempertanyakan penangkapan Pavel Durov. Beberapa pihak lain juga mempertanyakan mengapa Durov menjadi target hukum, sedangkan CEO media sosial lainnya seperti Elon Musk, Mark Zuckerberg, dan Shou Zi Chew dari TikTok aman-aman saja. Padahal, platform mereka juga menghadapi masalah moderasi konten berbahaya. Masih banyak konten kontroversial yang lolos dari pengawasan mereka, namun sampai sekarang mereka belum pernah dihadapkan pada tuntutan pidana terkait kegagalan moderasi konten di platform mereka. Elon Musk langsung bereaksi dengan memposting hashtag #FreePavelDX, begitu juga dengan Edward Snowden, whistleblower Amerika yang kini tinggal di Rusia. Snowden menyebut penangkapan Pavel Durov sebagai serangan terhadap hak dasar manusia untuk berbicara dan berkumpul.
Terlepas dari sah atau tidaknya penangkapan itu, yang jadi pertanyaan kemudian adalah bagaimana masa depan Telegram. Menurut para pengamat, ketidakhadiran Durov dalam jangka panjang bisa menimbulkan masalah serius bagi Telegram, terutama dalam hal pengambilan keputusan penting dan manajemen operasional. Namun, beberapa pendapat lain mengatakan bahwa meskipun penangkapan tersebut dapat menimbulkan masalah, Telegram masih bisa bertahan.
Namun, infrastruktur dan momentum Telegram sudah ada, sehingga memungkinkan platform ini tetap berjalan untuk sementara waktu. Dalam jangka panjang, nasib Telegram akan bergantung pada hasil proses hukum Durov atau pada penerus yang mampu mengelola perusahaan dengan visi yang sama. Beberapa analis khawatir penahanan ini akan membuat Telegram kesulitan mendapatkan dana, sehingga mereka ragu apakah perusahaan ini bisa bertahan secara finansial. Ada juga yang mengkhawatirkan privasi di Telegram, sebab polisi Prancis sudah menginginkan akses untuk menangkap percakapan pribadi yang ada di Telegram. Tentu saja, keinginan seperti itu membuat banyak orang bertanya-tanya apakah Telegram masih bisa melindungi privasi penggunanya.
Aparat hukum Prancis memperpanjang masa penahanan Pavel Durov hingga 48 jam setelah penahanan awalnya pada 26 Agustus 2024. Keputusan ini diambil oleh Kantor Kejaksaan Paris sebagai bagian dari penyelidikan atas tuduhan serius yang dihadapinya. Namun, selang beberapa hari kemudian, Durov dibebaskan pada Rabu, 28 Agustus 2024. Meski begitu, ia belum diperbolehkan meninggalkan negara tersebut. Hakim di Prancis mengajukan dakwaan awal dan memerintahkan Durov membayar jaminan sebesar 5 juta Euro, atau sekitar Rp86 miliar. Selain itu, Durov juga diwajibkan melapor ke polisi dua kali seminggu.
Dari kisah perjalanan Durov mendirikan Telegram, kita bisa memetik hikmah penting bahwa inovasi tanpa batas dapat mendatangkan risiko besar. Kita tahu Telegram diciptakan untuk memberikan kebebasan berekspresi, namun sayangnya kebebasan tersebut tidak diiringi dengan moderasi yang memadai, sehingga Telegram menjadi ruang yang rawan disalahgunakan. Di sini kita diingatkan kembali bahwa inovasi harus dibingkai dengan batasan yang jelas agar tetap bermanfaat dan aman bagi pengguna maupun penciptanya.
Kebebasan yang ditawarkan Telegram ibarat pedang bermata dua. Di satu sisi, mereka mendukung privasi dan kebebasan berekspresi, namun di sisi lain, tanpa pengawasan yang memadai, Telegram telah dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang berniat buruk. Hal ini menguatkan pandangan bahwa kebebasan sejati harus diimbangi dengan tanggung jawab untuk melindungi pengguna dan masyarakat dari potensi bahaya.
Jadi, mari kita renungkan bersama bahwa kebebasan dalam berinovasi memang penting, namun tanpa panduan dan batasan yang jelas, hasilnya bisa menjadi tidak terarah. Oleh karena itu, inovasi harus tetap menjaga keseimbangan antara kreativitas dan tanggung jawab. Aturan bukan untuk menghambat, melainkan untuk memastikan bahwa inovasi kita benar-benar membawa manfaat bagi semua pihak.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Daftar Google Profile Bisnis
sumber : DR Indrawan Nugroho
Mau Konsultasi?