Tips Marekting ~ Menurut saya, saatnya marketing kembali ke dasar-dasar emosikologi. Ada beberapa alasan. Pertama, attention span atau kapasitas manusia untuk mencerna informasi saat ini sangat terbatas. Rata-rata hanya 8 detik. Bayangkan, begitu banyak informasi yang diterima setiap harinya, namun kita hanya mampu menangkap sebagian kecil saja. Ini membuat kita harus membuat keputusan cepat. Keputusan cepat ini menggunakan pendekatan yang disebut heuristik, yaitu jalan pintas dalam berpikir dan mengambil keputusan. Dan inilah yang bisa dimanfaatkan oleh marketer untuk mempengaruhi pelanggan secara efektif.
Saya ingin memperkenalkan konsep nudge, yaitu dorongan-dorongan kecil yang kita ciptakan untuk mempengaruhi keputusan pelanggan agar sesuai dengan harapan kita. Misalnya, di toilet pria, pernahkah Anda melihat gambar lalat di urinal? Itu adalah contoh nudge—clue visual di lingkungan (environmental cue) yang mengarahkan pria buang air kecil ke satu titik agar tidak berantakan. Contoh lain adalah garis-garis antrean yang kita lihat selama pandemi. Garis tersebut membuat orang berdiri persis di tempat yang ditentukan, menjaga jarak secara otomatis. Dua contoh ini memperlihatkan bagaimana nudge bekerja di kehidupan sehari-hari.
Menarik Untuk Dibaca : Manusia Itu Sangat Dinamis
Sekarang, saya ingin membagikan lima teknik psikologi dalam bentuk nudge yang bisa digunakan secara taktis dan sederhana dalam bisnis Anda.
1. Social Proof
Orang cenderung mengikuti apa yang dilakukan banyak orang. Misalnya, ada dua restoran: satu antre panjang, satu lagi sepi. Mayoritas orang akan memilih yang ramai. Mereka berpikir, “Kalau banyak orang memilih tempat itu, pasti makanannya enak.” Contoh lain adalah Gojek yang mencantumkan jumlah pengguna, mitra driver, dan pertumbuhan pengunduhan aplikasi mereka. Angka-angka besar ini menciptakan keyakinan bahwa Gojek adalah pilihan yang tepat. SRC juga menggunakan teknik ini dengan memasang banner di depan warung-warung, menciptakan kesan bahwa banyak warung telah bergabung. Atau contoh review restoran seperti “Pisang Goreng Bu Nani”—ketika review positif jumlahnya ribuan, orang akan percaya bahwa makanannya memang enak.
2. Loss Aversion
Orang lebih takut kehilangan dibanding keinginan mendapatkan sesuatu. Inilah mengapa flash sale begitu efektif—orang takut kehilangan diskon besar. Iklan asuransi juga banyak menonjolkan risiko yang akan Anda hadapi bila tidak punya proteksi. Di bisnis properti, istilah “Senin harga naik” digunakan agar orang segera booking sebelum harga naik. Contoh lainnya adalah test drive dan free trial. Setelah mencoba, orang jadi enggan melepas pengalaman itu—mereka takut kehilangan, dan cenderung membeli.
3. Anchoring
Orang menilai sesuatu berdasarkan titik referensi tertentu. Contoh paling umum adalah harga coret. Jika harga awal Rp500.000 dicoret dan diganti menjadi Rp100.000, orang akan merasa mendapatkan diskon besar. Atau dalam negosiasi, penjual sering memulai dengan harga tinggi untuk menciptakan anchor, sehingga pembeli tidak menawar terlalu rendah. Di Starbucks, ukuran gelas seperti Tall, Grande, dan Venti juga menciptakan anchor—kita terdorong mengambil yang lebih besar karena selisih harganya terasa kecil. Contoh lain: saat Anda membatasi pembelian maksimal 12 unit, padahal orang awalnya hanya ingin beli 3 unit, bisa jadi mereka tergoda membeli lebih banyak karena referensi angka 12 itu menjadi anchor.
4. Framing
Satu produk yang sama bisa dikomunikasikan dengan dua cara yang menghasilkan persepsi berbeda. Misalnya cendol: jika disajikan di gelas plastik biasa, kesannya murah; tapi jika disajikan dalam gelas mewah dengan topping, kesannya eksklusif dan bisa dijual lebih mahal. Contoh lain, mesin portable USG di China dijual sebagai mesin murah untuk klinik kecil, tapi di Eropa diposisikan sebagai alat portable untuk ambulans—dua framing berbeda, padahal produknya sama. Atau produk makanan: jika diberi label “low calorie”, akan menarik bagi pelaku diet; jika diberi label “high protein”, akan menarik bagi yang ingin membentuk otot. Produk yogurt pun demikian: tulisan “99% fat free” lebih disukai dibanding “1% fat”, padahal artinya sama.
5. Commitment
Orang cenderung lebih mau melakukan sesuatu jika sebelumnya sudah berkomitmen. Contohnya loyalty card—kalau sudah punya, orang akan lebih sering belanja di tempat itu. Di gym, karena sudah membayar membership mahal, orang merasa sayang kalau tidak datang, sehingga termotivasi berolahraga. Contoh lain adalah subscription service seperti Netflix—kalau sudah bayar tiap bulan, kita merasa perlu menonton agar langganan tidak sia-sia. Atau arisan—karena sudah komit berkumpul dan menyetor uang rutin, ibu-ibu jadi lebih terbuka untuk kegiatan lain seperti berjualan produk rumah tangga.
Demikian lima teknik psikologi pemasaran dalam bentuk nudge yang bisa langsung Anda terapkan secara sederhana dan taktis. Semoga bermanfaat. Sampai jumpa di episode berikutnya! Jika Anda merasa belajar banyak dari analisis ini, jangan lupa beri komentar agar kita bisa belajar bersama dan terus bertukar ide.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung BEP dan Target Omset
Mau Konsultasi?