Perubahan cara pikir, selera, dan pilihan konsumen tidak boleh luput dari perhatian para marketer. Jika kita tidak awas, brand yang tadinya baik-baik saja bisa mendadak oleng dan kehilangan daya tariknya. Tapi, perubahan ini tidak selalu murni datang dari konsumen; bisa jadi pesainglah yang menjadi penyebabnya, dengan menawarkan hal-hal baru yang lebih relevan dengan perubahan selera pasar. Maka dari itu, penting bagi kita memahami bahwa perubahan bukan hanya tantangan, tapi juga hasil dari dinamika kompetisi.
Agar lebih mudah dipahami, mari kita lihat beberapa contoh dalam kehidupan sehari-hari. Ketika seseorang pindah dari daerah ke Jakarta, biasanya mereka mengeluh soal kemacetan yang menghabiskan waktu hingga 3 jam per hari. Mereka mencoba berbagai cara untuk menghindarinya, seperti pulang lebih awal atau lebih malam. Tapi setelah setahun, walau keluhan masih ada, intensitasnya menurun. Ini karena mereka telah beradaptasi. Manusia adalah “adaptation machine”—kita punya kemampuan alami untuk menyesuaikan diri agar bisa bertahan.
Menarik Untuk Dibaca : Brand Konsep Universal
Contoh lain: saat sakit kepala, kita cukup minum obat 100 mg. Namun setelah sering konsumsi, dosis itu tidak lagi mempan—kita butuh 200 mg, lalu naik lagi, dan terus meningkat. Tubuh kita beradaptasi terhadap efek obat tersebut. Contoh berikutnya, saat menginap di hotel yang baunya apek, awalnya kita merasa terganggu. Tapi setelah 1–2 jam, bau itu mulai tidak terasa. Apakah baunya hilang? Tidak. Otak dan hidung kita telah menyesuaikan diri. Kita baru sadar lagi baunya masih ada ketika keluar kamar lalu masuk kembali keesokan paginya.
Ada juga contoh visual. Tataplah sebuah tembok hijau terang selama 2–3 menit, lalu alihkan pandangan. Kita akan melihat warna magenta seolah-olah muncul. Ini karena otak mencoba menyeimbangkan dominasi warna hijau tadi. Hijau dan magenta adalah warna yang berseberangan dalam spektrum. Jadi, ketika kita terpapar satu warna terus-menerus, otak akan mengimbangi dengan warna sebaliknya agar persepsi kita tetap netral. Ini menunjukkan betapa kuatnya mekanisme adaptasi dalam diri kita.
Adaptasi ini terjadi tanpa kita sadari. Tanpa adaptasi, kita tidak akan survive. Bayangkan orang daerah yang pindah ke Jakarta tanpa kemampuan beradaptasi—mereka akan terus-terusan stres karena macet. Begitu juga dengan kamar hotel berbau apek; jika otak tidak menyesuaikan persepsi bau, kita akan terus merasa tidak nyaman. Adaptasi adalah mekanisme alami untuk menjaga ketenangan dan mengurangi tekanan dari lingkungan.
Lalu bagaimana kaitannya dengan bisnis? Pertama, promosi. Promosi adalah bentuk pleasure. Bahkan orang kaya pun senang dapat diskon. Tapi, karena otak kita beradaptasi, pleasure dari promosi pun akan menurun seiring waktu. Dulu, diskon 10% terasa menarik. Tapi setelah sering mendapatkannya, kita butuh diskon 20% agar merasakan excitement yang sama. Lama-lama, promosi tidak lagi berdampak, dan jika diteruskan bisa membuat brand rugi. Inilah jebakan promosi: efeknya menurun, tapi tekanannya naik.
Kedua, brand presence. Brand yang dulunya sangat kita dambakan, setelah dimiliki, rasanya tidak lagi sehebat dulu. Orang yang beli BMW awalnya sangat bangga, tapi lama-lama jadi biasa saja. Maka brand perlu memberikan stimulus baru: varian baru, desain baru, campaign baru, bahkan konten baru. Karena kalau tidak, bukan cuma konsumennya yang bosan—pesaing bisa saja muncul dengan sesuatu yang lebih segar dan lebih relevan.
Hal yang sama juga terjadi pada brand message. Apakah perlu ganti pesan terus-menerus? Tidak selalu. Konsistensi itu penting. Tapi yang harus diubah adalah cara menyampaikan pesan. Contohnya Nike dengan “Just Do It”. Pesannya tetap sama selama lebih dari 30 tahun, tapi cara mengkomunikasikannya berubah sesuai zaman, audiens, dan medium.
Begitu juga dengan channel marketing. Influencer dulu sangat berpengaruh, tapi sekarang mulai jenuh karena terlalu banyak dan kualitasnya menurun. Banner iklan pun bernasib sama. Dulu efektif, kini otomatis diabaikan. Email marketing dulu naik daun, sekarang menurun. WhatsApp marketing pun mengalami penurunan efektivitas. Semua ini menunjukkan bahwa konsumen terus beradaptasi terhadap cara-cara pemasaran.
Kesimpulannya, manusia dikenal dengan ketidakkonsistenannya, termasuk terhadap brand. Karena by design, manusia adalah makhluk adaptif. Kita beradaptasi untuk bertahan dari hal-hal yang mengganggu. Tapi di saat yang sama, kita juga punya sifat tidak pernah puas. Sesuatu yang dulu menyenangkan lama-lama tidak lagi terasa sama. Kita butuh lebih.
Di sinilah pentingnya brand untuk selalu meningkatkan value sebelum konsumen mengeluh. Karena ketika konsumen sudah mengeluh, biasanya mereka sudah selingkuh ke brand lain. Itulah kenapa menjadi marketer adalah pekerjaan tanpa akhir. Kita harus terus mendorong diri untuk menciptakan pengalaman baru, karena orang yang kita layani terus berubah—dan jurus lama, lama-lama tidak akan efektif lagi.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Memberi Diskon
Mau Konsultasi?