Ada dua pendekatan utama yang biasa digunakan dalam mengembangkan strategi pemasaran. Pendekatan pertama adalah menjalankan berbagai aktivitas marketing secara bersamaan dalam satu tim, namun tanpa integrasi strategi yang saling melengkapi. Dalam pendekatan ini, setiap bagian tim seperti digital marketing, *social media*, PR, dan lainnya bekerja secara independen, tanpa diskusi atau koordinasi yang mendalam. Hasilnya, walaupun aktivitas-aktivitas tersebut dikompilasi dalam satu dokumen, strategi yang dijalankan hanya terlihat terintegrasi secara permukaan, padahal sebenarnya tidak.
Pendekatan kedua sedikit lebih baik. Dalam pendekatan ini, strategi dimulai dari *top-down*, di mana pemimpin tim memberikan arahan yang kemudian diterjemahkan oleh anggota tim sesuai bidang masing-masing. Setelah itu, hasilnya dikompilasi dan dievaluasi oleh pemimpin untuk memastikan keselarasan strategi. Pendekatan ini lebih terstruktur dibanding yang pertama, namun masih kurang menyentuh aspek fundamental.
Menarik Untuk Dibaca : Perang AI Telah DImulai
Kekurangan utama dari dua pendekatan tersebut adalah tidak adanya pemahaman mendalam tentang *holistic customer strategy*. Strategi marketing tidak cukup hanya berangkat dari channel atau aktivitas tertentu. Sebaliknya, strategi yang baik harus dimulai dari pemahaman bahwa persuasi konsumen adalah proses yang kompleks. Tujuan utama marketing bukan hanya menyampaikan pesan atau keunggulan produk, tetapi membawa konsumen lebih dekat ke keputusan pembelian.
Dalam proses pengambilan keputusan, konsumen melewati beberapa tahap. Tahap pertama adalah *awareness*, di mana konsumen menjadi sadar akan kebutuhannya. Pada tahap ini, marketer memiliki tugas untuk menciptakan kesadaran kebutuhan, terutama bagi konsumen yang sebelumnya tidak menyadari mereka membutuhkannya. Contohnya adalah produk seperti susu kalsium dewasa atau pampers dewasa, yang kebutuhan pasarnya diciptakan oleh marketer.
Tahap kedua adalah *brand awareness*, di mana konsumen sudah menyadari kebutuhannya dan mulai mencari informasi tentang produk atau layanan yang dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Di tahap ini, tugas marketer adalah mengomunikasikan keunggulan brand dan penawarannya secara efektif. Ini mencakup perumusan *what to say* dan *how to say it*. Strategi channel kemudian digunakan untuk memastikan pesan tersebut sampai kepada konsumen dengan frekuensi yang cukup untuk menciptakan *tipping point*. Dengan pengulangan komunikasi melalui berbagai channel, konsumen akan semakin mengingat pesan yang disampaikan, hingga akhirnya memengaruhi keputusan mereka.
Dengan memahami tahapan ini, IMC dapat diimplementasikan lebih efektif. Strategi harus dirancang dengan mempertimbangkan perjalanan konsumen, bukan sekadar menyatukan aktivitas dalam satu dokumen. Fokus utama harus pada upaya membangun hubungan yang holistik dengan konsumen, sehingga mereka merasa terlibat dan terdorong untuk melakukan pembelian.
Intensitas dalam strategi komunikasi dapat dibangun melalui dua dimensi utama: *repetition* dan *media coverage*. Keduanya harus dikombinasikan dengan tepat. Jika hanya menggunakan banyak media tetapi dengan frekuensi yang minim, atau sebaliknya, hanya menggunakan satu media dengan frekuensi tinggi, hasilnya tidak akan optimal. Sayangnya, tidak ada formula pasti mengenai jumlah media yang harus digunakan atau frekuensinya. Oleh karena itu, setiap merek perlu mengeksplorasi kombinasi yang paling efektif untuk mereka.
Setelah tahap *awareness*, tahap berikutnya adalah *consideration*, di mana konsumen mulai mengeksplorasi, menilai, dan menyusun daftar pendek opsi yang ada. Pada tahap ini, konsumen mencari informasi melalui berbagai saluran seperti Google (*SEO* dan *SEM*), media sosial, ulasan di YouTube, Twitter, TikTok, blog, hingga rekomendasi dari teman dan keluarga. Oleh karena itu, aktivitas seperti strategi konten, program *community marketing*, *referral marketing*, hingga *brand activation* menjadi penting. Semua upaya ini bertujuan untuk mendukung konsumen dalam membandingkan, mengevaluasi, dan mendapatkan pengalaman dengan produk.
Tahap berikutnya adalah *decide and purchase*, yang sering disebut sebagai *moment of truth*. Pada tahap ini, konsumen memutuskan untuk membeli produk. Beberapa faktor yang perlu diperhatikan di tahap ini meliputi:
1. **Sales Channel Availability**: Seberapa mudah konsumen menemukan saluran pembelian. Saluran pembelian harus nyaman diakses, baik secara offline maupun online.
2. **Proses Pembelian**: Proses pembelian harus sederhana dan nyaman, termasuk metode pembayaran, pemesanan, hingga pengalaman seperti *self-service kiosk* yang diterapkan oleh McDonald’s, yang meningkatkan kenyamanan konsumen sekaligus meningkatkan nilai pembelian.
3. **Physical Environment**: Tampilan outlet harus mencerminkan kualitas produk. Outlet yang buruk dapat membuat konsumen membatalkan pembelian meskipun mereka sudah tertarik.
4. **People**: Tim yang berhadapan langsung dengan konsumen harus representatif, kompeten, percaya diri, dan memiliki sikap yang baik. Upaya seperti pelatihan, program insentif, dan evaluasi melalui *mystery shopper* dapat meningkatkan kualitas interaksi ini.
Setelah pembelian, marketer harus melanjutkan ke tahap *advocate and repurchase*. Konsumen yang sudah membeli belum tentu memberikan rekomendasi atau melakukan pembelian ulang. Untuk mendorong rekomendasi, marketer harus menciptakan pengalaman yang membuat konsumen *extremely happy*. Namun, bahkan konsumen yang sangat puas tidak selalu proaktif memberikan ulasan. Oleh karena itu, brand harus menyediakan cara yang mudah dan nyaman untuk memberikan ulasan atau rekomendasi, seperti melalui email, formulir singkat, atau fitur ulasan di e-commerce.
Untuk mendorong pembelian ulang, marketer dapat menggunakan *customer lifecycle management* dengan memantau perilaku pembelian konsumen. Misalnya, mengingatkan konsumen untuk membeli kembali pada waktu yang tepat melalui *remarketing* atau strategi serupa.
Kesimpulannya, marketer tidak bisa hanya mengandalkan komunikasi. Menyampaikan informasi saja tidak cukup untuk mendorong konsumen bergerak, dan bahkan ketika niat beli sudah ada, pembelian tidak selalu terjadi. Oleh karena itu, marketer perlu memahami *customer journey*, mengidentifikasi potensi hambatan di sepanjang perjalanan tersebut, dan mengoordinasikan solusi lintas fungsi, seperti dengan tim sales, produk, atau layanan pelanggan.
Strategi yang efektif harus dimulai dari pemahaman terhadap masalah, bukan hanya sekadar mengikuti praktik tradisional. Dengan pendekatan ini, tuntutan terhadap marketing untuk mendukung penjualan akan lebih mudah tercapai dibandingkan dengan hanya fokus pada komunikasi brand.
Menarik Untuk Ditonton : Kisah Sukses Ibu Rumah Tangga
Mau Konsultasi?