Earl Tupper adalah pria kelahiran New Hampshire pada tahun 1907. Sejak kecil, ia gemar menggambar bermacam-macam benda dan penemuan di dalam bukunya. Gambarnya sangat unik, misalnya sisir dengan klip, ikat pinggang, atau perahu bertenaga ikat. Sayangnya, barang-barang unik itu tidak bisa dimanfaatkan Tupper untuk menjadi produk bisnis atau untuk apapun. Ketika Amerika dilanda resesi dan Tupper yang sudah beranjak dewasa, ia merintis bisnis plastik. Tupper mendirikan perusahaan manufaktur plastik di Leominster, Massachusetts. Di situ, Tupper mulai membuat wadah plastik untuk sabun dan rokok. Itulah cikal bakal perusahaan Tupperware, yang sekarang produknya sangat akrab dengan kehidupan kita.
Sebuah kesempatan emas datang bagi Tupper setelah Perang Dunia II usai. Pada waktu itu, perusahaan kimia DuPont mempromosikan bahan plastik baru bernama polietilena, yang pada zaman perang digunakan untuk membuat radar. Tupper pun memiliki ide untuk memanfaatkan polietilena untuk membuat mangkuk yang mampu mengukir sejarah baru. Itulah yang kemudian dikenal sebagai “Wonder Bowl”, sebuah mangkuk yang bisa ditutup dengan sangat rapat. Produk seperti itu mungkin tampak biasa bagi kita sekarang, tetapi pada masa itu, sebuah mangkuk yang dapat ditutup rapat adalah sebuah inovasi yang sangat revolusioner.
Produk revolusioner Wonderbowl bukan hanya bisa mencegah makanan agar tidak tumpah, tetapi juga membuat makanan di dalamnya tetap segar. Meskipun inovasi Wonderbowl menakjubkan, sayangnya Tupper kesulitan menjualnya sampai kemudian muncul sosok Brownie Wise, seorang wanita pengusaha dari Florida yang berbisnis melalui “Patio Parties”. Menurut Brownie, orang-orang tidak akan membeli Wonderbowl karena mereka tidak paham cara memakainya. Oleh karena itu, Brownie kemudian mengundang ibu-ibu ke pesta di rumahnya, di mana dia mendemonstrasikan cara kerja Wonderbowl Tupperware secara langsung. Strategi tersebut berhasil menarik minat para ibu-ibu untuk membelinya.
Di kemudian hari, Brownie merekrut ibu-ibu tersebut untuk mengadakan pesta serupa di rumah mereka masing-masing. Ia menjadikan pesta Tupperware sebagai sebuah jejaring pemasaran. Earl Tupper, mendengar kisah sukses Brownie dengan pesta Tupperware-nya, akhirnya merekrut dan langsung mengangkat Brownie menjadi Wakil Presiden Pemasaran Tupperware pada tahun 1951. Brownie kemudian membangun jaringan penjual yang lebih solid dan menyebarkan model pesta Tupperware ke seluruh Amerika. Tiga tahun kemudian, pada tahun 1954, Tupperware berhasil meraup hasil penjualan sebesar 25 juta USD.
Menarik Untuk Dibaca : Lahirnya Playstation
Setelah eksis di negaranya dan di beberapa negara lainnya, akhirnya Tupperware hadir di Indonesia. Produk-produknya yang terkenal berkualitas tinggi dan tahan lama, cocok untuk kebutuhan rumah tangga. Tupperware dinilai bisa membantu meringankan pekerjaan sehari-hari di dapur karena desain-desain produknya yang praktis dan inovatif. Di Indonesia, Tupperware tetap menerapkan model penjualan langsung dengan konsep Tupperware parties yang populer di kalangan ibu-ibu. Mereka mendemonstrasikan satu per satu produk Tupperware sambil berbincang santai. Cara ini dinilai cocok karena sesuai dengan budaya lokal masyarakat Indonesia, khususnya ibu-ibu yang suka bersilaturahmi atau arisan.
Tupperware juga membuka peluang besar bagi para ibu rumah tangga untuk menjadi pengusaha kecil. Kesempatan ini bisa dimanfaatkan oleh ibu-ibu untuk mendapatkan tambahan penghasilan, berbisnis dari rumah sambil tetap mengurus keluarga. Langkah lainnya yang diambil Tupperware adalah menyesuaikan produknya dengan kebutuhan pasar lokal. Berbagai jenis produk Tupperware disesuaikan dengan gaya hidup dan selera masyarakat Indonesia, seperti ukuran dan desain yang dirancang untuk bisa mewadahi makanan-makanan tradisional. Semua itu membuat pemasaran Tupperware sukses di Indonesia, hingga berhasil meraih penghargaan Top Brand.
Kesuksesan Tupperware merangsang munculnya para pesaing yang menjadi tantangan baru bagi mereka. Kompetitor seperti Rubbermaid, Snapware, Joseph Joseph, dan Lock & Lock menawarkan produk-produk serupa dengan harga yang lebih murah. Belakangan, persaingan di segmen ini semakin ketat dengan kemunculan Sistema dan Cambro yang memperkenalkan inovasi dalam teknologi penyimpanan dengan distribusi produk yang luas. Tantangan bagi Tupperware semakin besar seiring dengan perubahan zaman. Model penjualan langsung, yang menjadi andalan Tupperware selama beberapa dekade, mulai kehilangan daya tariknya. Direct selling tidak lagi efektif, sebab di era e-commerce dan media sosial, konsumen lebih memilih pengalaman berbelanja yang lebih praktis dan fleksibel, yang bisa didapatkan melalui platform online.
Tupperware pun mengakui bahwa ketergantungan mereka pada model penjualan langsung telah menghambat pengembangan strategi omnichannel dan infrastruktur e-commerce yang modern. Selain itu, seperti yang dikatakan oleh Suzanna Streeter dari Hargreaves Lansdown, perubahan perilaku konsumen telah membuat wadah Tupperware kehilangan daya tariknya. Konsumen modern kini lebih membutuhkan alat yang ramah lingkungan untuk menyimpan makanan. Begitu pula dengan perubahan besar dalam budaya dan gaya hidup masyarakat, semua itu perlahan-lahan menambah tekanan terhadap Tupperware.
Sewaktu Tupperware masih berjaya, banyak perempuan yang tidak bekerja penuh waktu di kantor, sehingga mereka menjadikan kegiatan kumpul-kumpul dengan tetangga dan teman sebagai hiburan sekaligus peluang untuk berjualan. Namun sekarang, sudah lebih banyak perempuan yang bekerja seharian penuh dan tidak memiliki waktu lagi untuk bekerja sampingan. Oleh karena itu, pesta penjualan seperti Tupperware parties menjadi tidak relevan lagi.
Sementara itu, pasar semakin sesak dengan munculnya produk-produk sejenis. Produk-produk baru tersebut rata-rata menawarkan harga yang lebih murah. Ironisnya, program garansi seumur hidup yang ditawarkan Tupperware membuat para pembeli dan pemilik produk Tupperware tidak sering membeli produk baru untuk menggantikan produk yang rusak, sehingga mengurangi frekuensi pembelian ulang.
Tupperware sepertinya terlalu yakin dengan strategi direct selling. Akibatnya, mereka terlambat beradaptasi dengan perkembangan teknologi digital. Bayangkan saja, sampai tahun 2023 lalu, 90% penjualan Tupperware masih mengandalkan penjualan langsung, padahal e-commerce sudah berkembang sejak tahun 1990-an. Mereka baru mulai serius menjajaki platform digital pada tahun 2022, saat membuka toko di Amazon dan Target. Tentu saja, langkah itu sudah sangat terlambat untuk memperbaiki keterpurukan mereka di pasar modern.
Brian Fox, selaku Chief Restructuring Officer Tupperware, mengakui bahwa meskipun Tupperware sangat dikenal, orang-orang selalu kebingungan dan bertanya-tanya di mana bisa membeli produk Tupperware. Tak heran jika penjualan mereka terus menurun. Ketika pandemi COVID-19 berlangsung, penjualan Tupperware sempat melonjak, namun sayangnya mereka tidak bisa mempertahankan momentum tersebut setelah pandemi mereda. Di sisi lain, mereka harus menghadapi lonjakan biaya tenaga kerja, ongkos pengiriman, dan bahan baku, terutama resin plastik yang menjadi bahan utama produk mereka. Kenaikan biaya-biaya tersebut semakin memperburuk situasi keuangan mereka, yang sebenarnya sudah tertekan akibat terlambat beradaptasi dengan perubahan pasar dan pola belanja konsumen.
Sederet permasalahan inilah yang mendorong Tupperware ke dalam sudut ketidakpastian. Mereka menghadapi kesulitan keuangan dengan beban hutang yang mencapai 12 juta USD, atau sekitar 12,4 triliun rupiah. Selain itu, mereka juga didesak oleh para kreditur yang berusaha menyita aset, termasuk kekayaan intelektual mereka. Hingga akhirnya, pada 17 September 2024 lalu, Tupperware mengajukan perlindungan kebangkrutan, menandai berakhirnya masa kejayaan mereka.
Sebetulnya, nasib buruk seperti ini tidak hanya dialami oleh Tupperware. Banyak brand besar lainnya juga mengalami nasib serupa, seperti Kodak, BlackBerry, Blockbuster, Toys “R” Us, dan masih banyak lagi. Kisah mereka sudah sering dipaparkan dan ditelaah di buku-buku strategi dan manajemen. Mereka terlalu percaya pada model bisnis yang dulu berhasil membawa mereka meraih sukses, namun gagal beradaptasi dengan perubahan zaman.
Tupperware memang terlalu lama terpaku pada kesuksesannya, seperti halnya Kodak dengan film fotografi, Blockbuster dengan penyewaan kaset video, dan BlackBerry dengan ponsel keyboard fisik. Mereka menganggap keberhasilan masa lalu akan tetap bertahan, dan mengabaikan tanda-tanda perubahan zaman bahwa perilaku konsumen dan kemajuan teknologi terus mengubah cara sebuah bisnis dijalankan. Sikap abai ini menciptakan resistensi terhadap inovasi dan perubahan strategis. Kisah-kisah seperti ini sebenarnya sudah banyak dibahas di ruang-ruang kuliah, bahkan di berbagai kanal YouTube. Namun, anehnya, sampai hari ini masih ada yang enggan belajar dari pengalaman pahit tersebut. Akibatnya, kasus-kasus serupa terulang lagi dan lagi.
Jika kita bisa memutar waktu, apa yang bisa dilakukan Tupperware agar terhindar dari kebangkrutan? Pertama, jelas Tupperware perlu mengadopsi e-commerce dan strategi omnichannel. Mereka harus mengintegrasikan penjualan offline di toko-toko dan di platform digital, seperti situs web resmi, aplikasi mobile, serta marketplace yang populer. Dalam hal ini, kita bisa belajar dari Nike yang berhasil meningkatkan penjualan dengan strategi omnichannel yang cerdas. Nike memperkuat penjualan online dan berinteraksi langsung dengan konsumen melalui aplikasi dan media sosial.
Berikutnya, Tupperware perlu memodernisasi pemasaran mereka dengan beralih dari metode tradisional ke digital marketing. Mereka bisa memanfaatkan media sosial, influencer, dan konten digital untuk menjangkau audiens yang lebih muda dan melek teknologi. Sebagai contoh, Coca-Cola telah memanfaatkan kampanye media sosial yang kreatif dan melibatkan konsumen dalam berbagai aktivitas online. Itulah yang membuat Coca-Cola, meskipun sudah berusia 138 tahun, tetap relevan hingga hari ini.
Yang tidak kalah penting adalah berinovasi dan melakukan diversifikasi untuk memenuhi kebutuhan pasar yang terus berubah. Tupperware bisa mengembangkan produk ramah lingkungan atau desain yang lebih modern dan kekinian, agar tetap menarik bagi konsumen di era yang serba dinamis ini.
Tantangan yang mirip pernah dihadapi Lego, yang akhirnya berhasil bangkit dengan inovasi produk, termasuk ketika Lego berkolaborasi dengan film dan video game serta memproduksi balok dari bahan yang berkelanjutan. Terakhir, sebagai bagian dari strategi omnichannel, Tupperware bisa memanfaatkan kanal penjualan modern yang sesuai dengan segmennya, misalnya bekerja sama dengan department store seperti Sogo atau toko peralatan rumah tangga kelas menengah atas seperti Ace Hardware. Selain itu, Tupperware juga bisa membuka gerai-gerainya sendiri di mal-mal besar, seperti yang dilakukan oleh Lock & Lock. Dengan begitu, Tupperware dapat memberikan pengalaman belanja yang lebih personal dan modern, sambil menampilkan rangkaian produk secara lengkap dan meningkatkan interaksi langsung dengan pelanggannya.
Kisah kebangkrutan Tupperware setidaknya mengandung tiga pelajaran berharga bagi kita, terutama bagi perusahaan-perusahaan yang ingin tetap relevan di era modern. Pertama, Tupperware gagal beradaptasi dengan perubahan perilaku konsumen dan tren belanja online. Model penjualan langsung membuat mereka terlena dan enggan mengadopsi strategi e-commerce dan omnichannel. Kedua, Tupperware terlalu lama bertahan dengan produk plastik yang ikonik tanpa merespons kebutuhan konsumen akan produk yang lebih ramah lingkungan. Ketika kesadaran tentang lingkungan semakin meningkat, merek-merek pesaing yang responsif dengan produk lebih terjangkau berhasil mendapatkan pangsa pasar yang lebih besar. Ketiga, strategi pemasaran yang usang menjadi penghalang dalam menjaga relevansi merek. Tupperware terlalu mengandalkan pemasaran tradisional dan gagal menyesuaikan pendekatannya dengan audiens yang lebih muda dan melek teknologi. Padahal, kampanye pemasaran digital yang kuat dan pemanfaatan media sosial dapat membangun keterlibatan audiens yang lebih luas serta mendorong pertumbuhan yang lebih berkelanjutan.
Kita sadar bahwa dunia bisnis akan terus berputar. Kejayaan masa lalu hanyalah kenangan yang tidak menjamin masa depan. Pasar akan terus berubah, dan pelanggan pun akan selalu berevolusi. Itulah sebabnya kita harus terus bergerak mengikuti arus. Jika kita tetap terpaku pada strategi yang usang, perlahan kita akan tertinggal. Saatnya bagi kita untuk berani melangkah, berinovasi, dan memahami denyut perubahan. Hanya mereka yang mau berubah yang akan terus berdiri tegak di tengah gempuran persaingan. Kepada perusahaan-perusahaan di Indonesia, mari kita ambil pelajaran dari Tupperware dan kisah perusahaan lainnya yang gagal membaca tanda-tanda zaman. Jangan biarkan masa lalu menjerat langkah kita hari ini. Di dunia yang bergerak semakin cepat, kemampuan beradaptasi adalah kunci. Mari kita berani berubah, berani berinovasi, dan bersiap menghadapi serta menangkap setiap gelombang perubahan.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Beriklan di WA Bussines
Mau Konsultasi?