Marketing sudah berkembang lebih dari satu dekade sejak kehadiran media sosial, seperti Instagram yang didirikan pada tahun 2010 dan kini bersaing dengan TikTok. Instagram adalah platform awal yang menjadi dasar influencer marketing, meskipun kini mendapat persaingan ketat dari TikTok. Namun, Instagram masih cukup berjaya.
Kehadiran influencer marketing turut mempengaruhi jatuhnya berbagai macam media tradisional yang dulu menjadi andalan untuk menjangkau konsumen. Suka tidak suka, influencer menawarkan kemampuan untuk menjangkau audiens yang lebih luas, bahkan seringkali lebih efektif dibandingkan media massa. Menurut data dari Hyper Auditor, diproyeksikan bahwa nilai pasar dari influencer marketing pada tahun 2024 akan mencapai USD 19,8 miliar, dan pada tahun 2025 akan tumbuh menjadi USD 22,5 miliar dengan pertumbuhan tahunan sekitar 12,6%. Indonesia sendiri menempati urutan keempat dalam jumlah sponsor konten (4,3%), di bawah Amerika Serikat, Brasil, dan India, serta berada di peringkat keenam dalam jumlah influencer (3,3%), di bawah Amerika Serikat, Brasil, India, Rusia, dan Irak.
Menarik Untuk Dibaca : Serbuan Influencer Virtual
Instagram masih mendominasi influencer marketing dengan market share sebesar 89%. Sebanyak 45% penggunanya berusia antara 25 hingga 34 tahun, di mana setengahnya adalah Gen Z dan setengahnya lagi adalah Gen Y. Kategori influencer paling populer mencakup Lifestyle dengan 13,7%, Musik 9,8%, dan Beauty 8,3%. Dari segi komposisi, mayoritas influencer berada di kelas Nano Influencer, yaitu 76,86%, dengan jumlah pengikut antara 1.000 hingga 10.000. Kelas ini juga memiliki engagement rate terbaik. Di peringkat kedua adalah Micro Influencer dengan jumlah pengikut antara 10.000 hingga 50.000, yang mencakup 10,23% dari total influencer.
Jika kita melihat dari segi akun influencer terpopuler, Cristiano Ronaldo memiliki 612 juta pengikut dengan engagement rate sebesar 0,98%. Lionel Messi memiliki 498 juta pengikut dengan engagement rate 0,38%, sedangkan Selena Gomez memiliki 428 juta pengikut dengan engagement rate lebih tinggi, yaitu 1,11%.
Untuk akun brand, yang paling menarik adalah Nike dengan 306 juta pengikut dan engagement rate sebesar 0,03%. Di posisi kedua ada National Geographic dengan 283 juta pengikut dan engagement rate sebesar 0,02%. Perbandingan ini menunjukkan bahwa akun brand memiliki engagement rate yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan influencer atau selebriti, yang berkisar antara 0,3% hingga 1%.
Brand paling aktif dalam influencer marketing adalah Zara, dengan 331.000 mention dari 95.400 influencer yang berhasil menjangkau 560 juta orang. Harga yang dibayar untuk influencer juga beragam. Nano Influencer biasanya dibayar mulai dari USD 2, Micro Influencer mulai dari USD 45, Mid-tier mulai dari USD 160, Macro Influencer sekitar USD 370, dan Mega Influencer bisa mendapatkan hingga USD 1.200 per postingan. Cristiano Ronaldo, misalnya, mendapatkan sekitar USD 3,23 juta per postingan, Lionel Messi USD 2,6 juta, dan Selena Gomez USD 2,55 juta.
Pertanyaannya adalah, mengapa industri influencer marketing bisa begitu besar? Salah satu alasannya adalah faktor emosional, di mana konsumen seringkali lebih terhubung secara personal dengan influencer, sehingga keputusan pembelian tidak hanya didasarkan pada faktor rasional.
Pada tahap ini, influencer hanya berfungsi sebagai media untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Karena influencer diikuti oleh banyak orang, apa pun yang mereka posting akan menjangkau lebih banyak orang, seperti halnya brand yang memasang iklan di media massa untuk mendapatkan exposure lebih. Kelompok kedua adalah mereka yang rasional, di mana pengaruh influencer muncul karena pengikutnya mempertimbangkan alasan yang rasional. Ada beberapa alasan yang mendasarinya.
Pertama, kredibilitas. Contohnya dalam dunia otomotif ada influencer seperti Fitra Eri, di bidang gadget ada Mas Dedi Irfan, dan di bidang kesehatan ada Mas Adera. Mereka membangun reputasi sebagai seseorang yang memiliki pengetahuan mendalam di bidangnya masing-masing, sehingga memudahkan kita untuk memutuskan, “Saya mau mendengarkan dia,” karena kita tidak terlalu paham. Ketika kita tidak mengerti, kita cenderung mendengarkan seseorang yang ahli di bidang tersebut.
Mereka bisa mencapai level ini dengan dua cara: pertama, memiliki legitimasi formal seperti pendidikan atau bertahun-tahun mendalami bidang tersebut melalui pelatihan, dan kedua, hanya dengan konsisten berbicara tentang topik tertentu. Dengan konsistensi ini, mereka membangun asosiasi dengan topik tersebut. Ini adalah bukti bahwa konsistensi di satu bidang, terlepas dari apakah mereka memiliki legitimasi ilmiah atau tidak, akan membuat mereka dikenal dan diasosiasikan dengan bidang tersebut.
Selain itu, selama bidang yang mereka kuasai masih baru dan belum banyak orang yang menguasai, mereka bisa menjadi pemimpin dalam topik tersebut. Itulah mengapa ada influencer yang masih sangat muda, mungkin baru lulus kuliah satu atau dua tahun, tetapi sudah menjadi pemimpin opini dalam bidang marketing atau topik lainnya. Setidaknya, orang berpikir mereka lebih memahami topik tersebut, meskipun mungkin mereka lebih muda.
Jalur rasional kedua adalah representasi konsumen. Influencer marketing tidak selalu bisa disebut sebagai representasi ahli karena di kategori ini, bidangnya mungkin bukan bidang teknikal. Namun, influencer dapat menjadi representasi konsumen yang dipercaya oleh audiens karena mereka mewakili gaya hidup atau preferensi yang dirasakan relevan oleh banyak orang.
Namun, ada influencer yang lebih diterima karena mereka merepresentasikan selera pengikutnya. Misalnya, di bidang travel, makanan, kecantikan, atau fashion, mereka tidak bisa dikatakan ahli secara ilmiah karena bidang-bidang ini bukanlah hitam-putih. Apakah makanan enak atau tidak, itu bukan masalah hitam-putih, tetapi masalah selera.
Mereka didengarkan karena mereka konsisten dalam menyampaikan sesuatu yang mewakili pengikut mereka. Jika apa yang mereka katakan sesuai dengan selera kita, kita cenderung mendengarkan mereka. Dalam hal ini, mereka mirip dengan grup “credibility”, hanya saja lebih informal. Jika influencer yang berfokus pada kredibilitas menyampaikan sesuatu yang lebih berdasarkan fakta dan keahlian, influencer selera lebih berbicara soal preferensi pribadi.
Influencer selera sering bermain dengan persona. Misalnya, influencer travel mungkin memainkan persona sebagai seorang backpacker, seorang pelancong murah, pecinta alam, atau seorang yang bepergian dengan keluarga. Di dunia makanan, influencer bisa menjadi spesialis makanan sehat, makanan murah, makanan pedas, dan sebagainya.
Mereka diterima karena dianggap sebagai penyeimbang dari brand owner yang kadang tidak netral. Influencer dianggap lebih netral dan tidak hanya memberikan rekomendasi sesuai dengan yang diinginkan brand. Walaupun pada kenyataannya, ada influencer yang selalu membela yang membayar, dalam jangka panjang, reputasi mereka akan hancur jika mereka terus-menerus mendukung produk yang tidak sesuai kualitasnya.
Ketika brand dianggap sebagai sosok yang tidak bisa sepenuhnya dipercaya, influencer muncul sebagai penyeimbang, mirip seperti kita yang percaya pada review orang lain di marketplace, meskipun kita tidak mengenal mereka. Kelompok ketiga dari influencer ini adalah yang berada di luar ranah rasional. Mereka tidak hanya berbicara tentang rasional atau tidak, tetapi bahkan melampaui itu, karena sudah mulai melibatkan bias heuristik yang lebih dalam.
Yang pertama adalah *idle effect*. Influencer jenis ini biasanya dijadikan idola, dan idola ini memiliki efek tertentu yang mempengaruhi kita untuk menirukan atau mengikuti rekomendasi mereka. Mengapa kita cenderung mengikuti rekomendasi dari seseorang yang kita idolakan? Ketika kita menyukai sesuatu, kita senang mengingat-ingat hal-hal yang berhubungan dengannya. Misalnya, ketika kita nge-fan dengan seorang artis, kita suka mendengarkan lagunya, menonton filmnya, atau bahkan menggunakan barang yang dia pakai. Dengan melakukan itu, kita merasa lebih dekat dengan idola tersebut.
Kita pun sering kali tertarik dengan hal-hal yang disukai oleh idola kita, seperti lagu, baju, atau benda-benda lain. Efek ini juga terjadi pada influencer, yang diharapkan memiliki dampak serupa, yaitu membuat kita meniru atau mengikuti rekomendasi mereka tanpa melalui pertimbangan rasional. Inilah mengapa mereka masuk dalam kategori “Beyond rasional”. Kita tidak mempertanyakan lebih jauh, karena yang penting adalah sama seperti idola kita. Brand memanfaatkan hal ini untuk masuk tanpa diteliti secara mendalam oleh konsumen. Seolah-olah kita terhipnotis: “Ya sudah, idola kita yang merekomendasikan, ikut saja.”
Yang kedua dari kategori “Beyond rasional” adalah *halo effect*. Ini adalah salah satu bentuk *shortcut* yang diambil oleh otak manusia. Ketika kita sangat mengidolakan seseorang yang hebat di satu bidang, kita cenderung meng-extend persepsi positif kita tentang mereka ke bidang lain, yang sebenarnya mungkin tidak ada hubungannya atau bahkan bertolak belakang. Namun, otak kita malas mencari tahu lebih dalam dan cenderung ingin menghemat energi, sehingga mengambil *shortcut* ini.
Dengan kata lain, tidak ada data atau informasi yang lengkap untuk menilai sesuatu, tetapi kita tetap mengikutinya. “Oh, brand ini dipakai oleh idola kita, ya sudah deh, pasti bagus, dia kan sukses.” Padahal, bisa jadi rekomendasinya tidak relevan dengan kualitas produk itu sendiri. Efek ini hanya terjadi pada influencer yang sudah berada di level idola. Jika belum mencapai level tersebut, dampaknya mungkin tidak terlalu besar.
Yang terakhir yang juga sangat kuat adalah *social proof*. Manusia adalah makhluk sosial, bukan hanya suka bersosialisasi, tetapi juga sering menggunakan lingkungan sosial sebagai pedoman. Apa yang digunakan oleh orang lain bisa menjadi referensi bagi kita. “Ngapain coba-coba sendiri, entar salah,” pikir kita, “kan sudah ada yang pakai duluan,” termasuk influencer.
Semakin besar pengaruh seorang influencer, semakin kuat *social cues*-nya. Brand sering memanfaatkan hal ini dengan dua cara. Pertama, mereka membantu konsumen untuk memvalidasi influencer sebagai sosok yang diikuti oleh banyak orang, sehingga memberikan kesan bawah sadar bahwa rekomendasi mereka mewakili pandangan banyak orang. Kedua, mereka mendorong orang untuk merasa takut ketinggalan (*fear of missing out* atau *FOMO*), karena influencer memiliki kekuatan untuk menciptakan perasaan ini.
Semoga bermanfaat. Salam Satoeasa Untuk Indonesia.
Menarik Untuk Ditonton : cara Jualan Lewat Facebook Marketplace
Mau Konsultasi?