

Realitas pahit yang perlu disadari adalah bahwa personal brand tidak secara otomatis membuat bisnis menjadi sukses. Memiliki jumlah pengikut yang besar, bahkan hingga jutaan, bukan jaminan keberhasilan sebuah usaha. Banyak kreator, influencer, maupun figur publik merasa terlalu percaya diri karena popularitasnya, padahal popularitas tanpa fondasi bisnis yang kuat sering berakhir dengan kegagalan.
Fenomena yang sering terjadi adalah peluncuran produk yang hanya berfokus pada hype. Antrean panjang, konten viral, dan ramai di awal sering dijadikan indikator kesuksesan. Namun, tidak sedikit dari produk-produk tersebut justru gagal bertahan. Produk bermasalah, manajemen kacau, operasional tidak siap, dan komplain pelanggan tidak tertangani. Akhirnya, bisnis perlahan sepi dan tutup.
Banyak kreator yang unggul dalam membangun audiens dan mengelola konten, tetapi gagal ketika berperan sebagai pebisnis. Hal ini terjadi karena mengelola algoritma konten sangat berbeda dengan mengelola bisnis dan tim operasional. DNA seorang kreator adalah memengaruhi audiens, bukan mengatur sistem, distribusi, keuangan, atau SDM.
Studi Harvard Business Review (2023) menunjukkan bahwa 68% kreator yang meluncurkan produk sendiri gagal mempertahankan penjualan setelah enam bulan pertama. Temuan ini menunjukkan bahwa viralitas hanya bersifat sementara. Demikian pula laporan Shopify Creator Economy Report 2024 menyebutkan bahwa hanya satu dari sepuluh kreator yang mampu mencapai omzet stabil di atas USD 100.000 per tahun. Angka ini mempertegas bahwa popularitas tidak identik dengan keberlanjutan bisnis.
Masalah terbesar terletak pada gagalnya transisi dari personal brand ke brand produk atau corporate brand. Banyak kreator merasa bahwa dirinya adalah produk utama. Ketika mereka membangun sebuah brand, audiens menjadi bingung karena ekspektasi tidak terpenuhi. Audiens merasa membeli sosok kreatornya, bukan produknya.
Seth Godin menegaskan bahwa brand bukan tentang logo, melainkan tentang janji. Jika narasi personal dan janji produk tidak selaras, kepercayaan audiens akan hilang. Apa yang dikomunikasikan harus sejalan dengan realitas. Narasi kesuksesan, kebebasan finansial, atau omzet besar harus memiliki dasar yang nyata, bukan sekadar jargon pemasaran.
Menarik Untuk Dibaca : Kenapa Orang Pintar Justru Takut Ambil Keputusan ?
Akibat transisi yang gagal, loyalitas konsumen hanya terhadap figur personal, bukan terhadap brand. Produk hanya laku saat pemiliknya aktif mempromosikan. Ketika promosi berhenti, penjualan pun berhenti. Brand tidak memiliki daya hidup sendiri.
Seorang kreator dihadapkan pada dua pilihan besar:
Tetap sebagai personal brand, dengan monetisasi melalui iklan, afiliasi, dan kolaborasi. Model ini menghasilkan arus kas cepat, tetapi sulit diskalakan dan bergantung penuh pada kehadiran figur tersebut.
Membangun product atau corporate brand, dengan fokus pada sistem, manajemen, skala, dan keberlanjutan. Model ini membutuhkan waktu lebih lama, tetapi lebih stabil dan berpotensi bertahan jangka panjang.
Menurut Forbes (2025), influencer cenderung mendapat cash flow cepat tetapi tidak scalable dan tidak sustainable, sedangkan pebisnis membangun pertumbuhan yang lambat namun kuat dan berkelanjutan. Kolaborasi ideal adalah ketika personal brand mendukung product brand, bukan menggantikannya.
Beberapa figur global seperti MrBeast dan Logan Paul (Prime) berhasil melakukan transisi karena produk yang dibangun selaras dengan nilai personal mereka. Mereka membangun komunitas terlebih dahulu sebelum menjual produk. Sebaliknya, banyak kreator lokal gagal karena hanya mengejar hype peluncuran tanpa kesiapan sistem, operasional, dan manajemen.
Transisi yang sukses terjadi ketika brand bergeser dari personal story menjadi collective story—menciptakan keterlibatan komunitas, nilai bersama, dan pengalaman konsumen yang konsisten.
Sebagaimana dikatakan oleh Giffi, “If you want your business to outlive you, your brand must be able to run without you.” Atau dengan kata lain, jangan sampai bisnis Anda adalah diri Anda sendiri. Ketika pemilik sakit atau berhenti aktif, bisnis ikut berhenti.
Ada tiga prinsip utama yang perlu diterapkan:
Bangun produk dari value, bukan tren.
Jangan hanya mengikuti apa yang sedang ramai. Tentukan nilai unik dan relevansi produk Anda.
Pindahkan spotlight dari diri sendiri ke konsumen.
Fokus brand harus pada manfaat, pengalaman, dan kebutuhan pelanggan, bukan pada figur pemilik semata.
Bangun sistem dan delegasikan operasional.
Kreator sebaiknya tetap fokus pada ranah kreatif dan strategis, sementara operasional ditangani oleh tim profesional dengan visi yang sejalan.
Contoh lokal yang relatif berhasil menunjukkan bahwa keselarasan antara personal brand dan karakter produk adalah kunci. Namun, tantangan terbesar tetap pada konsistensi manajemen dan operasional.
Kesimpulannya, jangan mengejar jumlah pengikut, tetapi bangun kredibilitas, sistem, dan produk yang relevan. Produk yang baik bukan yang cepat viral, melainkan yang mampu bertahan, konsisten, dan memberikan nilai nyata bagi konsumennya.
Bagi kreator, influencer, maupun artis, pemahaman tentang bisnis adalah keharusan. Kolaborasi dengan tim dan mitra yang kompeten menjadi kunci agar bisnis dapat tumbuh, diskalakan, dan berkelanjutan—bahkan ketika Anda sudah tidak aktif secara langsung.
Semoga pemaparan ini membantu memperluas wawasan Anda dalam membangun bisnis yang tidak hanya menguntungkan, tetapi juga bertahan lama. Semoga usaha Anda tumbuh, berkelanjutan, terukur, dan penuh keberkahan.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Mengembangkan Pasar
Mau Konsultasi?