Belakangan ramai dibicarakan soal kenaikan harga di marketplace. Banyak orang membahasnya dari sisi keluhan dan keluhan, tapi saya memilih tidak ikut-ikutan. Bukan karena tidak peduli, melainkan karena saya ingin fokus membahas solusinya. Strategi apa yang sebenarnya bisa dilakukan agar bisnis kita tidak terus bergantung pada marketplace?
Pernahkah Anda mengalami situasi saat hendak membeli barang di toko fisik, lalu iseng mengecek harga online dan mendapati bahwa harga di marketplace jauh lebih murah? Padahal penjualnya sama, bahkan tokonya pun sama. Fenomena ini makin sering terjadi. Namun di balik selisih harga itu, ada persoalan besar soal mindset, ketergantungan, dan masa depan bisnis di marketplace. Banyak yang tidak sadar bahwa marketplace sering memberikan diskon otomatis, bukan dari penjual. Artinya, penjual tidak memberikan diskon apa-apa, tapi konsumen melihatnya seolah-olah lebih murah di online. Margin penjual tetap, yang berubah hanya persepsi pembeli.
Saya pernah mengalami langsung. Saat ingin mengganti ban mobil di bengkel, saya iseng cek marketplace. Ternyata, harga di sana lebih murah 5–7%. Padahal saat saya tanya ke bengkelnya, mereka bilang harga offline dan online itu sama. Diskon itu dari marketplace. Aneh, kan? Saya bahkan sempat tawarkan, bagaimana jika saya bayar langsung di tempat tapi minta diskon 5% agar tidak usah lewat marketplace? Jawabannya: tidak bisa. Alasannya karena mereka mengejar rating toko online agar performa di marketplace meningkat. Saat itu mungkin masuk akal, tapi dalam jangka panjang itu berbahaya karena membuat penjual bergantung pada algoritma marketplace.
Menarik Untuk Dibaca : Strategi Bisnis Agar Profit Melejit
Lebih parah lagi, ada penjual yang dengan sengaja menjual lebih murah di marketplace dibanding toko offline-nya. Alasannya karena toko fisik butuh biaya tambahan: sewa, listrik, gaji karyawan. Tapi logikanya keliru. Toko fisik tetap harus buka, karyawan tetap harus digaji. Seharusnya harga offline bisa lebih murah karena tidak ada biaya packing, komisi marketplace, dan lain-lain. Jika memungkinkan, matikan saja fitur diskon dari platform, kecuali Anda hanya reseller, bukan pemilik brand atau distributor resmi.
Penting juga untuk menghindari sistem distribusi terbuka. Jangan biarkan sembarang reseller atau agen jualan bebas di marketplace karena akan berujung pada perang harga. Solusinya adalah menggunakan sistem pergudangan (fulfillment) atau distributor terbatas berbasis wilayah (territory) dengan perjanjian harga yang seragam dan larangan diskon.
Marketplace hanyalah “stand pameran”. Lalu lintasnya tinggi, penjualannya bisa laris, tapi tidak stabil. Kompetitor banyak, harga saling banting, dan data pembeli disembunyikan. Awalnya semua serba gratis: biaya platform, ongkir, bahkan diskon pun dari platform. Tapi sekarang? Biaya platform naik, subsidi ongkir dibagi dua, ada biaya afiliasi, biaya iklan, dan lain-lain. Kalau tidak bayar iklan, produk kita sulit tampil di pencarian. Bahkan di toko kita sendiri, produk kompetitor bisa muncul dengan embel-embel “kamu mungkin juga suka”.
Coba bayangkan Anda punya toko offline. Anda pasang iklan, promosi, lalu pelanggan datang ke toko. Tapi di dalam toko justru ada kompetitor jualan juga. Etiskah itu? Tapi inilah realitas marketplace. Kita capek bangun reputasi, closing penjualan, tapi loyalitasnya nol. Di marketplace, konsumen bisa pindah toko hanya karena selisih Rp1.000. Sementara di toko offline, ada interaksi: senyuman, sapaan, pengalaman belanja yang personal. Loyalitas dibangun lewat kedekatan, bukan diskon.
Marketplace bisa digunakan untuk akuisisi awal. Karena konsumen kadang ragu belanja di tempat baru, maka tidak masalah jika order pertama lewat marketplace. Tapi selanjutnya, mereka harus diarahkan ke ekosistem kita sendiri—entah itu website, WhatsApp, atau toko offline. Anda bisa menyisipkan voucher diskon dalam paket marketplace yang hanya berlaku untuk pembelian berikutnya di kanal milik sendiri. Anda juga bisa beri insentif untuk metode pick-up di toko, dengan harga lebih murah karena tak ada ongkir.
Gunakan sistem CRM untuk meningkatkan repeat order dan memperpanjang customer lifetime value. Layanan harus ramah, tidak jutek seperti yang sering ditemukan di admin marketplace. Konsumen memang sudah berubah. Belanja online sudah jadi keniscayaan. Tapi toko offline tetap penting untuk memperkuat kepercayaan. Tidak harus megah. Yang penting bisa didatangi. Konsep baru yang bisa digunakan adalah warehouse store, toko yang sekaligus gudang, tapi bisa dikunjungi.
Di samping itu, manfaatkan juga fitur live shopping, video call, atau live chat untuk menunjukkan produk. Ini bisa memindahkan fokus konsumen dari marketplace ke sosial media. Pajang juga produk-produk entry level di marketplace sebagai pancingan. Setelah mereka membeli, lanjutkan prosesnya di kanal kita sendiri. Jangan lupa berikan kupon untuk belanja ulang langsung ke website atau WhatsApp.
Waspadai juga platform yang mengaku lokal tapi sebenarnya sudah dikuasai asing. Dulu ada yang merah putih, sekarang sudah mayoritas asing. Ini penting karena kalau bisnis kita dibangun di atas tanah orang lain, sewaktu-waktu kita bisa terusir. Marketplace bisa mengubah aturan kapan saja. Anda tidak punya kendali. Membangun webstore memang tidak instan, tapi jauh lebih stabil, apalagi jika dilakukan bersama komunitas.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Bisnis Plan
Mau Konsultasi?