Pesan yang paling saya ingat adalah, “Saat warungmu ramai, jangan merasa terlalu berat. Saat warungmu sepi, tetaplah bersyukur.” Pesan ini selalu saya terapkan hingga sekarang. Setiap hari, saya selalu bersama ibu ke mana pun pergi, dan sangat merasa kehilangan saat ibu sudah tiada, meskipun saya sudah punya suami dan anak.
Perkenalkan saya Bu Yuli, owner generasi kedua dari Sop Bumirah. Pada awalnya, saya sendiri yang menjalankan usaha ini bersama staf dan karyawan. Setelah anak saya menyelesaikan sekolah, saya memintanya untuk membantu, dan alhamdulillah dia bisa dan mau melanjutkan usaha ini. Saya selesai kuliah pada tahun 1994, di ABM (sekarang STIE Malangkucecwara) jurusan Manajemen Keuangan.
Pada tahun 1995, saya menikah, lalu sempat bekerja di sebuah perusahaan asuransi BUMN. Setelah dua tahun, saya memutuskan untuk resign karena kesulitan mengurus anak kecil. Pada tahun 2002, ibu saya, Bu Sumirah, meminta saya untuk membantu dan melanjutkan usahanya.
Menarik Untuk Dibaca : Sukses Bisnis Ayam Kampung
Saat itu, kuliner yang hits seperti sekarang masih jarang, tetapi ibu saya yakin bahwa usaha ini tidak akan surut dan cukup untuk hidup. Ia selalu menyemangati bahwa usaha ini lebih dari sekadar gaji karyawan. Awalnya, warung masih menyewa tempat di Diponegoro, dan 4 tahun lalu kami pindah ke lokasi baru. Sejak awal berdirinya Sop Bumirah, saya masih berumur sekitar 3 tahun, yaitu sekitar tahun 1974 akhir.
Resep sop ayam ini berasal dari Mbah Buyut, yang dahulu berjualan sop dengan cara dipikul. Tempatnya dulu berada di sekitar Puskesmas Kota, di bawah pohon beringin. Setelah Mbah Buyut meninggal, tidak ada lagi yang meneruskan jualan tersebut, hingga akhirnya ibu saya punya ide untuk melanjutkan resep ini.
Sebelum melanjutkan resep sop ayam, ibu saya sempat berjualan nasi campur dengan berbagai menu seperti rawon, tetapi kemudian ia berpikir untuk melanjutkan resep sop ayam karena lebih sederhana dalam hal pengolahan. Meskipun terlihat serupa, sop ayam dan soto memiliki bumbu yang berbeda.
Penyajian isian dan toppingnya memang sama ya, seperti sayur-mayur, kupat, tambahan mie, seledri, ayam suwir, serta bawang goreng. Tapi kalau soto dan sop itu berbeda. Kuah sop hanya menggunakan bumbu sederhana seperti bawang merah, bawang putih, merica, pala, dan sedikit air kunyit untuk menghilangkan bau amis. Sementara kuah soto lebih kompleks, ada yang menggunakan santan dan ada yang tidak.
Bumbu soto juga lebih lengkap, ada kemiri, ketumbar, serai, dan daun jeruk. Namun, menurut para pelanggan kami, kuah sop lebih segar dan dianggap lebih sehat karena tidak mengandung kemiri atau santan, serta rasanya lebih ringan. Sop ini juga cocok dikonsumsi saat sedang sakit atau merasa lelah, karena bumbunya mengandung banyak rempah-rempah yang bagus untuk kesehatan, seperti bawang merah, bawang putih, merica, dan pala. Kaldu ayam kampung yang digunakan juga kaya akan protein karena semua bagian ayam, dari kepala sampai kaki, serta jeroan, diolah dengan baik.
Sejak zaman Bu Sumirah, kami memang memilih bahan-bahan yang premium. Bawang merah dan bawang putih yang kami gunakan dipilih dengan cermat, bukan yang campuran besar kecil. Ayam yang kami gunakan juga spesial, kami memilih ayam kampung, terutama ayam betina tua atau ayam babon. Meskipun jago lebih murah dan lebih besar, namun kaldu dari ayam babon jauh lebih gurih, dagingnya juga lebih empuk, dan tampilannya lebih cantik serta putih. Kaldu dari ayam kampung ini memang menjadi andalan karena lebih enak dan sehat.
Kami juga selalu berusaha membuat tempat yang lebih nyaman dan bersih dibandingkan sebelumnya. Sekarang, alhamdulillah, warung kami bisa digunakan untuk berbagai acara seperti catering, kumpul keluarga, atau menjamu tamu dan relasi. Saya memilih partner kerja di pasar dengan sangat hati-hati.
Para pedagang yang bekerja sama dengan kami adalah mereka yang mampu memenuhi permintaan kami. Jika tidak, kami akan berpindah ke pedagang lain. Kerjasama dengan para pedagang sayur-mayur, ayam, dan bahan lainnya sudah berlangsung puluhan tahun, termasuk dengan pedagang beras, gula, dan minyak. Kami memiliki pedagang tetap untuk setiap kebutuhan tersebut.
Kami sudah punya standar sendiri untuk operasional. Karyawan kami sekarang dibagi menjadi dua shift. Shift pagi dimulai dari jam 7.00 sampai jam 1.00 siang, lalu shift sore mulai jam 1.00 siang sampai jam 9.00 malam. Saat ini, kami memiliki sekitar 15 karyawan. Dulu, ketika saya pertama kali membantu ibu saya, Bu Sumirah, saat usaha ini dimulai, saya sempat bertanya, “Bu, kenapa tidak beli lokasi yang di tengah kota?” Ibu saya menjawab, “Uangnya tidak cukup, nak.” Saya mengusulkan untuk meminjam dari bank, tapi ibu saya tidak mau berurusan dengan hutang.
Saya sempat berangan-angan, “Andai nanti Sop Sumirah punya lokasi sendiri,” apalagi sering mendengar komentar pelanggan yang menyarankan hal serupa, seperti “Kenapa usaha segede ini belum punya lokasi sendiri?” Pada akhirnya, kami memutuskan untuk bertahap. Dari sedikit tabungan yang kami kumpulkan, perlahan-lahan kami bisa membeli tanah, dan renovasi dilakukan sedikit demi sedikit. Ibu saya, Bu Sumirah, juga memiliki sedikit tabungan yang diberikan kepada saya untuk membangun depot ini, termasuk sebagian dari peninggalannya.
Pemasukan per hari biasanya sekitar 2 sampai 3 juta rupiah ketika ramai, bisa menjual hingga 150 mangkuk. Namun, ketika sepi, tidak mencapai 100 mangkuk. Ketika pandemi melanda, semua orang takut keluar rumah. Saya bahkan terpaksa merumahkan sebagian karyawan, yang saat itu masih berjumlah 8 orang.
Mereka bekerja bergantian, masuk dua hari sekali, dengan sistem giliran: dua orang di depan dan dua orang di dapur. Meskipun mereka bekerja bergiliran, saya tetap menggaji mereka, meskipun dengan libur dua hari tanpa gaji. Namun, saya tetap memberikan mereka beras agar mereka tidak kelaparan, meskipun lauk-pauk mereka tanggung sendiri.
Pandemi membuat usaha sangat sepi, bahkan kami hanya menyembelih empat ekor ayam sehari, yang lakunya terbantu oleh layanan kurir. Pembeli biasanya hanya memesan lewat telepon atau WhatsApp, dan makanan diantar lewat kurir. Saat itu, pendapatan kami minus dan listrik pun terpaksa kami bayar dari tabungan, hanya bisa untuk makan saja.
Namun, media sosial sangat membantu kami. Sebelum pandemi, sudah ada beberapa YouTuber yang meliput usaha kami. Sejak pandemi, penggunaan media sosial semakin meningkat karena orang-orang jarang keluar rumah dan beraktivitas melalui media sosial.
Ketika kami pindah ke lokasi yang baru, pandemi masih berlangsung, namun menjelang berakhirnya. Kami dibantu oleh banyak pihak, seperti vlogger dan YouTuber yang meliput usaha kami. Alhamdulillah, berkat itu, usaha kami tetap berjalan. Anak saya, yang baru saja lulus kuliah, mulai membuat akun Instagram untuk membantu promosi.
Bu Sumirah adalah seorang single parent yang sangat kuat. Ayah saya meninggal pada tahun 1976 ketika saya masih TK. Sejak itu, beliau berjuang sendiri, bangkit dari nol, mulai dari menyewa warung kecil yang masih terbuat dari kayu, sampai akhirnya bisa membangun rumah sendiri dan memiliki tabungan, serta pindah ke warung yang lebih layak, lebih bagus, dan lebih bersih.
Bu Sumirah adalah sosok ibu yang mandiri, bijaksana, dan sabar, baik kepada karyawan maupun pembeli. Saya belajar banyak dari beliau, terutama tentang kesabaran menghadapi berbagai situasi. Dulu, sebagai anak muda, saya sering merasa kesal ketika menghadapi pembeli yang cerewet, namun saya ingat pesan beliau yang selalu mengajarkan untuk bersyukur dan tetap melayani dengan baik.
Kenangan saya dengan ibu sangat banyak, terutama saat saya kecil, beliau belum punya bakul tetap. Setiap pagi sebelum saya berangkat sekolah, beliau membawa saya ke pasar dengan naik becak untuk berbelanja. Itu adalah masa-masa yang sangat berkesan, ketika kami pergi ke pasar pagi-pagi buta sebelum subuh. Pasar waktu itu pindah dari Pasar Wage ke Pasar Sore, yang terletak di sebelah utara stasiun. Saya ikut ibu belanja setiap sore, dan itu menjadi momen yang tak terlupakan bagi saya.
Bu Sumirah selalu menjadi panutan bagi saya. Cara berpikir orang dulu memang berbeda dengan zaman sekarang. Beliau sangat hati-hati dan cenderung takut untuk mengambil langkah besar, seperti membeli lokasi usaha sendiri. Namun, zaman sekarang anak-anak lebih berani menghadapi tantangan.
Saya berharap anak saya nantinya bisa melanjutkan usaha ini dan tetap eksis serta bertahan. Yang penting adalah mempertahankan kualitas bahan makanan dan cita rasa yang khas dari Sop Sumirah, serta terus meningkatkan pelayanan kepada pembeli.
Kemarin, saya sempat dibantu seorang teman yang secara tidak sengaja saya kenal. Beliau membantu meresepkan dan memberikan saran apabila suatu saat saya ingin mengembangkan usaha ini ke luar kota. Jika ada rezeki, saya bercita-cita ingin membuka cabang di kota besar atau kota wisata. Saya sudah diajari cara menghitung biaya dan operasional untuk persiapan ekspansi ini.
Mimpi saya yang belum tercapai adalah membuka usaha di luar kota, terutama di kota wisata. Beberapa waktu yang lalu, kami sempat berdiskusi dengan keluarga tentang rencana membuka cabang di Malang. Semoga mimpi ini dapat segera terwujud.
Sekarang, kompetitor di Tulung Agung memang semakin banyak bermunculan, baik itu restoran, depot, maupun kuliner-kuliner lokal. Namun, begitulah persaingan dagang, tapi saya tetap yakin bahwa rezeki sudah diatur dan setiap orang memiliki rezekinya masing-masing. Saya tetap percaya diri karena masih ada pelanggan-pelanggan setia yang datang berdasarkan rekomendasi dari mulut ke mulut. Sering kali pelanggan kami berkata, “Oh, saya tahu tempat ini dari teman saya, enak sekali makan di sini,” dan seterusnya. Bahkan, ada yang datang ke Tulung Agung dan bertanya, “Bu, kuliner apa saja yang direkomendasikan di sini?” Saya dengan senang hati memberikan rekomendasi, misalnya jika mereka mencari olahan daging kambing atau makanan khas Tulung Agung seperti lodo, sumpil, tahu lontong, dan lain-lain. Saya selalu berpikir bahwa dengan membantu merekomendasikan tempat kuliner lain, Tulung Agung bisa semakin hidup dan berkembang, termasuk dari segi pariwisatanya.
Saat momen-momen istimewa, misalnya saat ramai pengunjung dan para karyawan bekerja dengan kompak tanpa kesalahan dalam melayani pelanggan, rasanya sangat memuaskan, membuat saya merasa marem sekali. Dulu, kuliner belum menjadi tujuan wisata seperti sekarang.
Orang-orang sekarang memandang akhir pekan, seperti Sabtu dan Minggu, sebagai waktu untuk healing, baik melalui wisata alam maupun wisata kuliner. Berbeda dengan dulu, ketika orang makan hanya untuk memenuhi rasa lapar sebagai kebutuhan hidup. Kini, pelanggan saya kebanyakan adalah anak-anak muda seperti Anda, bersama keluarga atau teman-teman mereka, yang datang dalam rombongan pada akhir pekan.
Dulu, ketika anak-anak saya masih kecil, liburan kami biasanya setelah lebaran. Setelah kami buka pada hari pertama hingga hari keenam atau ketujuh lebaran, baru kemudian kami libur untuk “dolan” (jalan-jalan). Namun, sekarang, saya sudah mulai mengajarkan banyak hal kepada karyawan saya tentang bagaimana melayani pelanggan dengan baik, sehingga alhamdulillah saya bisa perlahan-lahan melepaskan kendali dan mulai lebih santai. Usaha ini pun sudah mulai menuju ke arah autopilot, dan saya merasa lebih tenang menghadapi perkembangan ini.
Kiat untuk para pelaku kuliner baru, yang pertama itu harus bertahan. Konsistensi sangat penting, jangan sampai jualan kadang ada, kadang tidak, seperti itu. Jika ada saran-saran dari pelanggan atau pembeli baru, apa pun sarannya, harus ditampung dan dipikirkan baik-baik.
Pelanggan pasti memiliki banyak keinginan, dan kita harus mencari mana yang sesuai. Tidak semua saran harus direalisasikan, tetapi yang jelas kita harus fleksibel. Jangan mudah menyerah, jika ingin tetap eksis harus terus berinovasi. Inovasi tidak selalu berarti mengubah menu, bisa juga dengan memperbaiki pelayanan atau mengubah kemasan. Untuk usaha depot, pelayanan dan kebersihan harus terus ditingkatkan.
Menarik Untuk Ditonton : Pentingnya Memiliki Goal Dalam Bisnis
sumber : Pecah Telur
Mau Konsultasi?