Inspirasi Bisnis ~ Amerika dikagetkan dengan kemenangan Zohran Mamdani atas Andrew Cuomo, sang petahana yang memiliki dukungan kuat dalam pemilihan pendahuluan Partai Demokrat untuk calon Walikota New York. “That new day is finally here,” ujar Mamdani setelah kemenangannya. Ia adalah seorang imigran Muslim beraliran sosialis, yang dikenal vokal terhadap isu Palestina. Dalam dunia bisnis, kejutan seperti ini sebenarnya bukan hal baru. Pertanyaannya hanya: Anda itu Andrew Cuomo atau Zohran Mamdani? Yuk, kita belajar bagaimana mendisrupsi pasar ala Mamdani.
Nama Zohran Mamdani tiba-tiba melejit di kancah politik Amerika Serikat dan bahkan menjadi sorotan global. Ia memenangkan pemilihan pendahuluan Partai Demokrat sebagai calon Walikota New York, menggusur tokoh mapan seperti Cuomo. Yang mengejutkan bukan hanya karena ia berhasil mengalahkan nama besar, tapi karena latar belakangnya: seorang imigran, Muslim, progresif, dan sangat vokal dalam membela Palestina. Mamdani bukan tipe politisi “Amerika banget”. Namun masyarakat sedang jenuh dan merindukan pemimpin alternatif. Sosok seperti Mamdani yang datang tanpa warisan politik dan kekuasaan, justru membawa gagasan-gagasan berani yang menyentuh realita warga.
Polanya mirip dengan yang kita temui dalam bisnis—di mana pemain besar bisa tergeser oleh pendatang baru yang lebih peka, lebih berani, dan lebih relevan dengan kebutuhan konsumen. Di Amerika, terutama setelah Donald Trump kembali menjadi presiden, kehidupan warga New York terasa semakin berat. Harga sewa melambung, subsidi dipangkas, layanan publik melambat, dan razia imigrasi digelar tanpa koordinasi. Frustrasi warga memuncak, memicu gerakan No Kings di lebih dari 2.000 kota. Saat ketidakpuasan itu mencapai titik tertinggi, muncullah Mamdani—seseorang dari luar sistem, yang justru memahami isi hati warga biasa.
Menarik Untuk Dibaca : Ambisi AirBnB’s
Saat mencalonkan diri, Mamdani dianggap sebagai kandidat “pengganggu”. Tapi dia menyentuh isu-isu konkret: sewa properti, ongkos angkutan umum, hilangnya toko kebutuhan pokok. Dia menawarkan solusi nyata: rumah terjangkau, toko kelontong publik, penitipan anak gratis, bus gratis, dan pajak untuk orang kaya. Ia menggerakkan 40.000 relawan untuk turun ke masyarakat, membangun percakapan dan kepercayaan. Yang paling mencengangkan, Mamdani berani menyatakan bahwa serangan Israel ke Gaza adalah genosida, bahkan menyebut akan menangkap PM Israel jika datang ke New York. Sikap itu berisiko, tapi justru menarik simpati dari pemilih muda, komunitas Muslim, Latin, kulit hitam, bahkan Yahudi progresif. Publik merindukan keberanian berpihak.
Fenomena ini tak hanya milik politik. Dalam bisnis, banyak pemain besar gagal membaca perubahan dan tetap merasa nyaman dengan posisinya. Sementara itu, pendatang baru masuk melalui celah yang tidak dijaga. Mereka tidak menyerang langsung, tetapi menawarkan pendekatan baru yang segar. Ini seperti yang dikatakan Bryce dan Dyer dalam artikel “Strategies to Crack Well Guarded Markets” di Harvard Business Review: strategi serangan tidak langsung. Mereka menjelaskan bahwa pemain baru sebaiknya masuk dari sisi yang tidak dijaga, membangun kekuatan pelan-pelan, dan tumbuh di luar radar pemain lama.
Kemenangan Mamdani mencerminkan strategi itu. Ia membangun dari bawah, dari komunitas yang terabaikan, dengan isu-isu yang nyata dan mendesak. Dalam dunia bisnis, strategi ini bisa dilakukan dengan memanfaatkan aset yang ada, mengubah cara kerja industri, dan menciptakan ceruk pasar baru. Tapi kuncinya bukan menyerang cepat, melainkan membangun kekuatan secara sabar hingga mampu mengubah peta industri.
Di Indonesia, fenomena ini juga terjadi. Brand-brand lokal mulai mendominasi. Di bisnis kopi, misalnya, kini masyarakat lebih akrab dengan nama seperti Kopi Kenangan, Tuku, atau Fore dibanding Starbucks. Mereka hadir di lokasi strategis, menawarkan harga terjangkau, dan suasana hangat yang sesuai dengan keseharian. Sama seperti Mamdani, mereka tidak menawarkan kemewahan, tapi kebutuhan dasar yang relevan: kopi enak, layanan cepat, dan harga wajar.
Hal serupa terjadi di industri sepatu. Kompas, Brodo, Ventela, dan Puncak Bumi tidak lagi dianggap alternatif murah dari Nike atau Adidas. Mereka sudah menjadi pilihan utama, terutama di kalangan muda yang ingin tampil keren dengan produk lokal. Mereka membangun komunitas, menyuarakan cerita, dan menjadikan konsumen sebagai bagian dari pertumbuhan brand.
Inilah sinyal bahwa masa depan tidak lagi dimonopoli oleh nama-nama besar. Pemain baru punya kesempatan besar jika berani hadir, mendengar, dan menjawab kebutuhan nyata. Kemenangan Mamdani adalah simbol dari era baru ini. Di Indonesia, kekuatan yang sama sedang tumbuh—lahir dari kedekatan, keberanian berpihak, dan kesungguhan membangun sesuatu yang berdampak dan bertahan lama.
Ada tiga pelajaran penting dari kisah ini. Pertama, dengarkan sebelum berbicara. Banyak pemain besar jatuh karena mereka berhenti mendengar. Mereka sibuk mempertahankan posisi, lupa membaca suasana dan keresahan publik. Kedua, jangan takut untuk berpihak. Brand atau pemimpin yang selalu berada di zona aman tidak lagi menarik. Keberanian untuk mengambil posisi yang jelas jauh lebih dihargai. Ketiga, hubungan selalu lebih kuat daripada impresi. Dalam dunia yang penuh promosi, yang paling diingat adalah yang paling dekat dan nyata. Brand disruptif tidak hanya menjual, mereka membangun relasi dan kepercayaan.
Semoga kisah kemenangan awal Mamdani ini bisa menjadi cermin dan inspirasi. Dunia berubah, dan kita tidak harus menjadi besar dulu untuk memimpin perubahan. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk hadir, mendengar, dan berpihak.
Menarik Untuk Ditonton : Penyebab Gagal
Mau Konsultasi?