Toyota sebelumnya pernah begitu dominan di pasar otomotif Tiongkok. Mereka membangun reputasinya dengan menggandeng dua perusahaan lokal, GAC dan FAW. Mobil-mobil seperti Camry, Corolla, dan RAV4 begitu populer di jalanan Tiongkok, khususnya di kalangan kelas menengah. Bertahun-tahun, Toyota dan Volkswagen bergantian memimpin pasar otomotif Tiongkok, menjadi simbol dominasi merek asing. Namun arah pasar berubah. Pemerintah Tiongkok mendorong penggunaan mobil listrik dengan kebijakan Made in China 2025, insentif besar-besaran, dan pembangunan infrastruktur pengisian daya.
Hasilnya? Merek lokal seperti BYD, NIO, dan XPeng tumbuh pesat. Puncaknya terjadi pada 2023 ketika BYD menyalip Tesla sebagai produsen mobil listrik terbesar di dunia. Situasi ini membuat Toyota semakin terdesak. Mereka menyadari tidak bisa lagi bertahan dengan strategi lama. Maka, mereka pun mengambil langkah mengejutkan: menggandeng Huawei, Xiaomi, dan Momenta sebagai mitra teknologi untuk memperkuat posisi mereka di Tiongkok.
Menarik Untuk Dibaca : Ramu Alam Jogja
Langkah ini mengejutkan banyak pihak karena selama ini Toyota dikenal sangat konservatif dan lebih memilih membangun teknologinya sendiri. Padahal Toyota merupakan pionir kendaraan ramah lingkungan. Mereka sudah memperkenalkan Prius pada 1997 dengan teknologi hybrid yang efisien dan tahan lama. Strategi multiteknologi Toyota, termasuk pengembangan hybrid, plug-in hybrid, dan mobil berbahan bakar hidrogen, selama dua dekade membuat mereka tetap menjadi pemimpin global.
Namun saat industri mulai bergeser ke teknologi listrik penuh, Toyota tetap berhati-hati. COO Toyota saat itu, Akio Toyoda, berpendapat bahwa transisi ke listrik tidak bisa dipaksakan karena berisiko mengguncang industri dan mengorbankan jutaan tenaga kerja. Mereka meyakini solusi lingkungan tidak harus tunggal. Prinsip “1:6:90” milik Toyota menekankan bahwa bahan baku baterai untuk satu mobil listrik bisa digunakan untuk enam plug-in hybrid atau 90 hybrid biasa. Bagi Toyota, ini lebih efisien, terutama di negara-negara yang masih menggunakan batu bara sebagai sumber listrik.
Sayangnya, pandangan ini tidak banyak dianut. Tesla dan BYD tetap fokus mengembangkan mobil listrik murni. Pemerintah dan konsumen Tiongkok mendukung penuh pengembangan kendaraan listrik. Harga yang terjangkau dan kesesuaian dengan kebutuhan lokal membuat BYD dan merek lokal lainnya tumbuh pesat. Sementara itu, Toyota mulai tertinggal dalam perlombaan inovasi dan kecepatan adaptasi.
Tekanan terhadap Toyota datang dari berbagai arah. Investor mulai mempertanyakan arah strategi perusahaan. Di sisi lain, Tiongkok berhasil menggeser Jepang sebagai eksportir mobil terbesar di dunia pada 2022. Dalam kategori mobil listrik, Toyota bahkan tertinggal jauh: BYD menjual 2 juta unit, Toyota hanya 100.000. Perubahan pun terjadi di tubuh internal Toyota. Akio Toyoda digantikan oleh Koji Sato, mantan presiden Lexus, yang langsung membawa arah baru: lebih progresif, lebih cepat, dan lebih terbuka terhadap kolaborasi.
Toyota segera merancang peta jalan baru. Mereka berencana meluncurkan 10 model mobil listrik dan menargetkan penjualan 1,5 juta unit pada 2026, serta 3,5 juta unit pada 2030. Untuk itu, mereka membentuk “BEV Factory” — unit khusus yang bertugas mempercepat pengembangan mobil listrik generasi baru. Di Shanghai, mereka membangun fasilitas produksi mobil listrik dan baterai. Di Amerika Serikat, mereka menginvestasikan 14 miliar dolar AS untuk kompleks produksi baterai di North Carolina. Toyota juga memperbarui lini produknya: Urban Cruiser listrik, CHR EV, hingga SUV listrik merek Lexus di pasar Eropa.
Puncaknya adalah keputusan untuk menggandeng Huawei, Xiaomi, dan Momenta dalam menggarap pasar Tiongkok. Kolaborasi ini melahirkan dua platform kendaraan energi baru (NEV) dari GAC Toyota: BZ3X dan BZ7. Model BZ7 menggabungkan sistem otonom Momenta, kokpit pintar HarmonyOS dari Huawei, serta perangkat konektivitas Xiaomi yang menyatukan mobil dengan perangkat rumah pintar. Bahkan asisten suara yang dikembangkan bersama Tencent mampu membaca perilaku pengemudi: postur tubuh, arah pandangan, hingga tingkat kelelahan.
Strategi ini dikenal sebagai strategi frenemy — kolaborasi dengan pesaing. Toyota menyadari pentingnya fleksibilitas dan keterbukaan. Langkah ini bukan bentuk kompromi, tapi manuver cerdas untuk mempercepat transformasi teknologi dan merespons pasar. Pasar mobil listrik di Tiongkok tumbuh sangat cepat, didukung kebijakan negara dan konsumen yang akrab dengan digitalisasi. Mereka menginginkan mobil yang pintar, terkoneksi, dan menyatu dengan kehidupan digital — bukan sekadar irit dan nyaman.
Toyota melihat fenomena ini secara jernih. Mereka menyadari bahwa untuk bisa relevan, mereka harus menyatu dengan sistem dan preferensi lokal. Kolaborasi dengan raksasa teknologi lokal memberikan Toyota akses langsung ke sistem operasi, perangkat AI, dan konektivitas rumah-mobil. Toyota tetap menjual mobil dengan mereknya sendiri, tapi jantung teknologinya berasal dari Tiongkok. Mereka tidak sekadar meniru, tetapi melebur ke dalam ekosistem lokal.
Perubahan ini mencerminkan transformasi internal Toyota. Dulu, mereka membuat semua sendiri — dari mesin hingga sistem kontrol kendaraan. Tapi sikap seperti itu menjadi hambatan di era yang menuntut kecepatan. Kini Toyota fokus pada kekuatan inti, dan menyerahkan bagian lain ke mitra yang lebih unggul. Itu adalah bentuk efisiensi strategis. Bukan kehilangan identitas, melainkan memperkuatnya dengan adaptasi.
Namun strategi frenemy ini tidak menjamin keberhasilan instan. Masih banyak tantangan. Apakah konsumen Tiongkok akan menganggap Toyota sebagai bagian dari ekosistem lokal atau tetap sebagai merek asing? Apakah kolaborasi ini akan berjalan lancar dalam jangka panjang? Semuanya masih harus dibuktikan di lapangan. Yang jelas, Toyota harus menjaga keseimbangan antara identitas global dan kebutuhan lokal. Teknologi lokal yang mereka adopsi harus menyatu secara alami, bukan sekadar tempelan. Mereka juga harus mampu mengelola kerja lintas budaya dan disiplin dengan baik.
Akhirnya, kita bisa mengambil tiga pelajaran penting dari langkah Toyota ini. Pertama, perubahan dimulai dari kejujuran terhadap diri sendiri — mengenali posisi kita, menyadari ketertinggalan, dan berani meninggalkan cara lama yang tak lagi relevan. Kedua, penting untuk membaca arah angin: mengikuti perubahan dan mengerti apa yang diinginkan pasar hari ini dan esok. Ketiga, terkadang jalan terbaik bukan bersaing, tapi bekerja sama — bahkan dengan yang dulu kita anggap sebagai lawan. Toyota tidak kehilangan jati dirinya saat berkolaborasi. Justru melalui kolaborasi itulah mereka menemukan cara baru untuk tetap relevan di tempat yang paling menantang. Sebab kebijaksanaan yang paling penting saat ini adalah tahu kapan harus berjuang sendiri dan kapan harus maju bersama.
Menarik Untuk Ditonton : Mindset Dasar Pengusaha
Mau Konsultasi?