Kondisi ini diperparah pascapandemi. Meski COVID telah mereda, dampaknya terhadap perilaku belanja konsumen masih terasa. Banyak pedagang mengeluhkan harga sewa yang melonjak hingga 3–4 kali lipat dari sebelumnya, sementara daya beli masyarakat menurun. Mal-mal yang dulu ramai kini sepi, membuatnya tak lagi relevan bagi UKM dengan modal terbatas.
Bagaimana dengan retail modern seperti Alfamart, Indomaret, atau hypermarket? Masalahnya tak kalah kompleks: kompetisi ketat, termin pembayaran lama (1–3 bulan), dan rasio penjualan terhadap stok yang rendah. Hal ini membuat cash flow bisnis makin terganggu.
Marketplace dan layanan ojol food juga bukan tanpa tantangan. Biaya admin tinggi, rawan penjiplakan, kompetisi harga ketat, loyalitas pelanggan rendah, dan tidak adanya akses ke data pelanggan karena dimasking oleh platform.
Lalu, adakah alternatif distribusi lain yang lebih ramah bagi UKM? Jawabannya: ada. Kuncinya adalah mendistribusikan produk Anda melalui pasangan yang tepat—yakni aktivitas, tempat, atau instansi yang memiliki target pasar serupa dengan produk Anda, namun minim kompetitor.
Menarik Untuk Dibaca : Format Catatan Keuangan Sederhana Untuk UKM
Misalnya, saat berwisata alam seperti mendaki bukit atau snorkling, orang cenderung ingin makan yang instan dan “micin-micin” seperti Pop Mie. Brand seperti Indomie atau Mie Sedap mungkin telah melihat potensi ini lebih dulu—makanya mereka seakan tak punya pesaing di titik distribusi seperti ini. Bahkan jika kita bukan penggemar mie tertentu, di tempat-tempat seperti itu kita tetap membelinya karena tidak ada pilihan lain.
Contoh lain: Anda memiliki bisnis fashion? Alih-alih sewa toko di mal, coba distribusi di tempat wisata kuliner yang pengunjungnya memiliki segmen yang sama—punya daya beli dan selera serupa. Mood orang yang sedang makan juga sejalan dengan mood belanja.
Atau Anda menjual skincare untuk mahasiswi? Selain online, coba masuk ke toko alat tulis, fancy store, atau tempat di mana mereka sering berkumpul. Dulu, Gizi Super Cream justru sukses besar bukan dari supermarket, melainkan dari toko alat tulis. Minim pesaing, konversinya tinggi.
Contoh lain lagi, saya sering naik kereta Argo Wilis dari Bandung ke Jogja. Karena perjalanan cukup lama, saya hampir selalu beli makan siang di kereta. Salah satu menu yang saya pilih adalah cif sapi. Enak? Ya, tapi alasan sebenarnya karena tidak ada pilihan lain. Ini kekuatan distribusi potensial—minim pesaing, bahkan bisa menciptakan situasi monopoli.
Apakah distribusi potensial ini akan menggantikan jalur distribusi mainstream? Tidak. Tapi distribusi potensial bisa menjadi langkah awal yang menghasilkan konversi tinggi dan arus kas yang sehat sebelum Anda masuk ke distribusi “sapu jagat” atau pemerataan.
Tentu, distribusi bukan satu-satunya faktor kesuksesan. Di buku saya Bukan Langsung Laris, distribusi justru ada di urutan kelima. Anda harus lebih dulu membidik pasar potensial, riset produk, desain, dan kemasan. Tapi begitu semua itu siap, distribusi potensial bisa menjadi game changer yang mempercepat pertumbuhan bisnis Anda.
Sudah terpikir distribusi potensial mana yang cocok untuk produk Anda? Yuk, komentar dan berbagi ide—siapa tahu bisa jadi inspirasi baru!
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung BEP dan Target Omset
Mau Konsultasi?