Selain itu, pengeluaran untuk makanan atau *food spending* sudah mencapai lebih dari 40% dari total pengeluaran rumah tangga. Ini artinya, orang Indonesia sekarang lebih banyak menggunakan uang mereka hanya untuk bertahan hidup, terutama untuk kebutuhan makan. Mungkin mereka tidak memiliki daya beli yang cukup untuk membeli barang-barang non-esensial.
Kemudian, ada fakta bahwa Indonesia mengalami deflasi selama 5 bulan berturut-turut. Deflasi berarti harga-harga sedang turun, yang biasanya menunjukkan permintaan yang melemah. Orang tidak membeli produk, dan para pelaku industri terpaksa menurunkan harga, sehingga harga-harga di pasaran sedang jatuh. Terakhir, sektor manufaktur di Indonesia juga mengalami kontraksi, dengan banyak pabrik yang tidak beroperasi secara penuh.
Bagaimana kita menyikapi berbagai tantangan ini? Saya ingin merangkum solusinya menjadi satu strategi sederhana yang saya sebut sebagai **sandwich strategy**. Apa itu *sandwich strategy*? Mari kita dalami satu per satu.
Pertama, mari kita bedah pasar Indonesia yang bisa disederhanakan menjadi tiga lapisan atau *layer*. Pada bagian paling bawah, ada yang saya sebut sebagai **lower market**. Ini adalah pasar yang paling mencari harga termurah, yang hanya mencari barang-barang terjangkau, dan tidak terlalu peduli dengan kualitas. Kemudian ada **middle market** di tengah.
Ini biasanya diisi oleh kelas menengah. Orang-orang di sini biasanya membeli produk-produk yang menawarkan *value for money*, yaitu kualitas tetap terjaga, tetapi dengan harga yang tetap terjangkau. Lalu, pada lapisan paling atas, ada **upper market**, di mana pasar ini mencari produk-produk terbaik yang ada di pasaran. Mereka tidak segan membayar mahal untuk produk dengan kualitas tertinggi.
Menarik Untuk Dibaca : Intergenerational Marketing
Dengan struktur pasar seperti ini, biasanya ada tiga jenis penawaran produk yang diberikan oleh pelaku bisnis atau marketing. Pada pasar terbawah, biasanya ditawarkan produk yang saya sebut sebagai **good product**. Ini adalah produk-produk yang “cukup baik” atau *good enough*, tidak perlu memiliki kualitas yang luar biasa, cukup saja untuk memenuhi kebutuhan pasar yang paling bawah. Lalu, ada yang disebut sebagai **better product**. Ini adalah produk-produk yang bisa sukses di pasar menengah, dengan fitur yang sedikit lebih baik dibandingkan produk di pasar bawah, sehingga harga bisa dinaikkan, meskipun tidak banyak.
Produk ini ditujukan untuk konsumen yang menginginkan kualitas, tetapi dengan harga yang tetap terjangkau. Terakhir, ada di pasar teratas, yaitu produk yang kita sebut sebagai **best product**, yang merupakan produk dengan fitur terlengkap dan kualitas yang jauh lebih unggul dibandingkan produk sejenis atau kompetitornya.
Namun, tantangannya adalah ketika ekonomi sedang sulit, **middle market** bisa tiba-tiba menyusut dan hilang begitu saja. Ini yang saya sebut sebagai **vanishing middle market**, atau hilangnya pasar menengah secara tiba-tiba. Lalu, ke mana perginya konsumen middle market ini? Ada dua arah pergerakan. Pertama, mereka **turun kelas** ke lower market, atau biasa disebut dengan *trading down*, di mana konsumen middle market akhirnya memilih produk-produk yang lebih murah di pasar bawah.
Di lower market, konsumen tidak lagi mencari produk yang “better” tetapi hanya yang “good” saja. Selain itu, ada juga pergerakan ke atas, yaitu naik ke upper market. Ketika status sosial ekonomi pelanggan meningkat, mereka akan naik kelas atau *trading up*. Di sini, mereka mulai mencari produk dengan kualitas lebih baik dari yang biasanya mereka gunakan.
Fenomena *trading down* (turun kelas) dan *trading up* (naik kelas) ini biasanya datang beriringan. Setiap kali ada pasar yang turun, misalnya kelas menengah turun kelas, selalu ada yang naik. Inilah yang disebut dengan polarisasi ekonomi. Ketika orang miskin bertambah, biasanya orang kaya juga bertambah. Polarisasi ini menyebabkan segmen bawah dan segmen atas menjadi lebih besar, sementara segmen tengah menyusut atau bahkan menghilang.
Sekarang mari kita bahas apa yang menyebabkan *trading down*. *Trading down* biasanya disebabkan oleh melemahnya daya beli, terutama di kalangan kelas menengah. Hal ini menyebabkan daya beli di middle market melemah secara keseluruhan. Selain itu, fokus konsumen biasanya beralih hanya pada kebutuhan dasar atau *basic needs*, sehingga mereka hanya membeli barang-barang pokok tanpa memikirkan barang-barang yang sifatnya indulgence. Yang ketiga, willingness to pay atau kesediaan untuk membayar lebih juga menurun. Orang tidak mau membayar mahal untuk produk yang tidak dianggap penting. Inilah karakteristik dari fenomena *trading down*.
Secara sederhana, mindset yang terjadi ketika seorang pelanggan melakukan *trading down* adalah “good is enough, better is too much.” Buat mereka, produk yang cukup baik sudah lebih dari cukup. Namun, jika produk tersebut dianggap lebih baik dari yang diperlukan, mereka akan menganggapnya terlalu mahal. Oleh karena itu, penting untuk fokus pada hal yang esensial ketika berjualan kepada konsumen yang sedang *trading down*.
Selain itu, kita juga membahas adanya fenomena sebaliknya, yaitu kelas menengah yang kemudian *trading up* atau naik kelas. Ketika daya beli mereka menguat, biasanya ada peningkatan pendapatan. Mereka mulai mencari sesuatu yang lebih dari sekadar produk, mereka mulai fokus pada pengalaman atau *experience beyond the product*.
Pada akhirnya, mereka juga memiliki willingness to pay yang lebih tinggi dibandingkan ketika mereka hanya membeli produk-produk dasar. Mindset orang-orang yang *trading up* adalah “better is not good enough, I want the best product.” Mereka tidak puas hanya berada di tengah; mereka ingin mencari produk terbaik di kelas atau kategori masing-masing.
Dua fenomena ini, yaitu *trading down* dan *trading up*, menyebabkan middle market menyusut atau bahkan menghilang sama sekali. Bagaimana cara kita menyikapi fenomena ini? Strategi yang harus kita lakukan disebut sebagai **sandwich strategy**. Pada dasarnya, strategi ini melayani pasar bawah dan pasar atas, sementara middle market yang semakin menyusut dijepit di antaranya. Di pasar bawah, kita menggunakan strategi volume making, di mana fokusnya pada produk dengan harga rendah dan terjangkau, untuk menciptakan penjualan dalam volume besar.
Di segmen atas, kita ingin menjual produk-produk dengan harga tinggi dan pengalaman terbaik, sehingga kita dapat memperoleh margin atau keuntungan terbaik, sambil membangun merek kita di atas fondasi produk-produk berharga tinggi. Inilah yang disebut sebagai **sandwich strategy**, yang seolah-olah menjepit dari bawah dan atas, dengan dua produk yang melayani konsumen yang *trading down* dan *trading up*.
Lantas, mengapa harus menggunakan dua strategi? Mengapa tidak hanya fokus di segmen bawah, terutama saat daya beli sedang melemah? Jawabannya adalah, situasi ekonomi apa pun yang kita hadapi saat ini merupakan bagian dari siklus. Ketika kita berada dalam masa kontraksi atau penurunan, kita tahu bahwa berikutnya adalah masa ekspansi atau pemulihan ekonomi.
Sehingga, kita sudah bisa mengantisipasi bahwa meskipun kondisi saat ini menantang, kondisi berikutnya akan lebih menguntungkan untuk pertumbuhan. Oleh karena itu, kita tidak bisa hanya fokus di segmen bawah. Kita harus mempersiapkan diri untuk kondisi ketika pertumbuhan ekonomi datang kembali.
Jika kita hanya menggunakan strategi tunggal dan fokus di pasar bawah, inilah yang akan terjadi: merek Anda akan muncul dengan persepsi sebagai merek murahan atau “cheap” karena fokus 100% hanya pada produk-produk berharga murah. Otomatis, brand Anda hanya dikenal sebagai brand diskon, brand murah, atau bahkan brand murahan.
Untuk menangkal potensi persepsi sebagai merek dengan asosiasi harga rendah, kita harus menyeimbangkannya dengan membangun merek. Oleh karena itu, strategi sandwich fokus pada dua titik, yaitu segmen bawah dan atas. Di bawah, kita fokus pada menciptakan produk-produk murah, namun di atas kita mengangkat merek dengan menjual juga produk-produk premium. Tujuannya bukan untuk menciptakan persepsi *cheap*, melainkan *affordable but branded*. Inilah yang ingin kita capai dengan *Two-Way Strategy* atau yang disebut sebagai sandwich strategy.
Saat pasar sedang menantang atau menyusut, seperti yang kita alami sekarang, alokasi sumber daya menjadi sangat penting. Jika kita memiliki dua strategi—yaitu strategi untuk pasar bawah dan pasar atas—maka yang terbaik adalah mengalokasikan 70% dari anggaran atau sumber daya yang kita miliki untuk pasar bawah, dan sisanya 30% untuk segmen atas. Dengan demikian, Anda memiliki proporsi sekitar 70:30.
Ini adalah strategi yang tepat ketika pasar sedang kontraksi. Tentunya, ketika Anda melihat pasar mulai membaik, kita bisa mulai bergerak kembali ke atas. Ketika pasar tidak lagi menyusut bahkan mulai tumbuh, kita bisa menyesuaikan proporsi ini dengan meningkatkan alokasi sumber daya di pasar atas dan secara bertahap mengurangi alokasi di segmen bawah.
Apa prinsip-prinsip yang harus digunakan ketika menyusun *sandwich strategy*? Pertama, di segmen bawah, ada tiga prinsip untuk menciptakan produk volume atau *essential products*. Produk ini adalah produk-produk dasar yang memiliki tiga karakteristik utama. Pertama, fiturnya esensial—hanya fitur yang benar-benar dibutuhkan oleh pelanggan.
Fitur tambahan yang bersifat “nice to have” tidak perlu. Kedua, *cost efficiency*—menggunakan bahan baku yang paling murah, kemasan paling minimalis, dan tidak menghambur-hamburkan biaya di produksi dan distribusi. Ketiga, kualitasnya tetap harus dapat diterima (*acceptable*). Ini bukan berarti produk dengan kualitas rendah, melainkan produk yang berada di level minimum yang bisa diterima oleh pelanggan.
Di segmen atas, ada tiga prinsip untuk menciptakan produk *brand building* atau *signature products*. Pertama, harus ada fitur unik yang membedakan produk Anda dengan barang-barang sejenis di pasar. Kedua, produk tersebut harus dibungkus dengan pengalaman eksklusif yang hanya bisa ditemukan dengan membeli produk tersebut, sehingga Anda memiliki *value added* dibandingkan produk-produk lain. Ketiga, kualitasnya harus superior, sehingga orang merasa layak membayar harga yang lebih tinggi untuk produk tersebut.
Sebagai contoh, mari kita ambil skenario untuk para UMKM. Pertama, jika Anda berjualan di restoran atau kafe, Anda harus memiliki produk volume yang esensial, misalnya es teh. Setiap orang Indonesia senang minum es teh, jadi produk yang *basic* seperti ini harus ada. Namun, Anda tidak boleh hanya menjual produk-produk *basic* saja. Anda juga perlu memiliki *signature product* untuk membangun brand, misalnya dengan menciptakan kreasi buah unik yang berbeda dari produk di kafe atau restoran lain.
Contoh kedua, jika Anda menjalankan bisnis fashion sebagai UMKM, Anda harus tetap menjual produk-produk yang volumenya besar, yang biasanya disebut sebagai *basics* atau produk esensial. Ini adalah lini produk yang selalu laris setiap harinya. Namun, Anda juga perlu menciptakan *signature product* untuk membangun merek, misalnya dengan memproduksi edisi terbatas atau bekerja sama dengan brand lain untuk menciptakan produk yang sangat unik dan eksklusif, sehingga banyak orang mencarinya.
Contoh ketiga, jika Anda memiliki usaha barber, siapkan layanan yang sederhana, seperti *cut and wash*—cukup dengan gunting rambut dan sampo tanpa layanan tambahan, dan harganya sangat terjangkau. Namun, Anda juga perlu memiliki layanan *signature* untuk membangun merek Anda, misalnya dengan menawarkan *Royal Treatment*, yaitu layanan paling lengkap di barber Anda. Dengan demikian, Anda memiliki dua produk, satu di bawah dan satu di atas, yang menjepit middle market seakan-akan seperti sandwich.
Semoga usaha kita bisa terus berkembang dan Allah selalu menjaga kita. Amiin.
Menarik Untuk Ditonton: Digital Marketing
sumber : marketers tv
Mau Konsultasi?