Inspirasi Bisnis ~ Samsung tidak sehebat dan seberani dulu. Padahal, mereka adalah perusahaan yang sangat inovatif. Mereka pencipta layar AMOLED dan pelopor ponsel lipat. Mereka bukan follower, tapi trend setter. Namun entah mengapa, belakangan ini Samsung tidak lagi mendikte pasar. Meskipun masih besar dan kuat, mereka tampak lebih berhati-hati dalam berinovasi. Berbeda dengan pesaing-pesaingnya seperti Xiaomi, Huawei, dan Apple, yang pergerakannya lebih cepat dan mampu menawarkan teknologi baru, desain yang inovatif, serta harga yang lebih kompetitif.
Ada apa dengan Samsung? Banyak perusahaan besar yang pernah berjaya kemudian kehilangan daya karena terlalu percaya diri dengan pencapaian mereka. Mereka merasa aman karena laporan keuangannya masih menunjukkan angka yang baik. Padahal di luar sana, para pesaing mulai mengambil alih pasar. Untungnya, Samsung menyadari hal ini. Mereka melihat sinyal-sinyal lemah kejatuhan dan segera melakukan perubahan besar di internal organisasi. Mereka ingin mencegah kejatuhan itu sebelum benar-benar terjadi.
Pada tahun 1938, di Daegu, Korea Selatan, seorang pedagang hasil pertanian bernama Lee Byung-Chul memulai bisnis yang kelak menjadi raksasa teknologi. Meskipun Korea Selatan saat itu belum dikenal sebagai negara industri, Lee berani mengembangkan usaha elektronik, termasuk televisi hitam putih, kulkas, dan mesin cuci. Produk-produk itu masih umum. Namun setelah era 1980-an, Samsung mulai menapaki jalan sebagai pencipta arus baru, terutama di industri semikonduktor, yang langsung mengguncang dominasi Jepang.
Pada tahun 1988, Samsung merilis SH-100 sebagai ponsel pertamanya. Meskipun masih sederhana, itu menandai pergeseran besar. Memasuki era 2000-an, Samsung mengguncang industri dengan layar AMOLED, prosesor canggih, dan desain inovatif. Galaxy S di tahun 2010 dan Galaxy Note adalah gebrakan besar yang memperkuat identitas Samsung sebagai pemimpin inovasi. Mereka tidak sekadar mengikuti tren, tetapi menciptakannya.
Namun dunia berubah. Setelah bertahun-tahun mendominasi pasar smartphone, tekanan terhadap Samsung meningkat. Huawei muncul dengan kamera canggih dan desain mewah berharga lebih murah. Xiaomi, Oppo, dan Vivo juga terus meluncurkan inovasi seperti fast charging dan kamera selfie terbaik, menggoda pengguna untuk berpindah. Di Asia, yang dulunya menjadi ladang subur, Samsung mulai kehilangan cengkeramannya.
Tekanan juga datang dari industri semikonduktor. TSMC semakin tak terbendung, sementara Intel bangkit kembali. Di kategori elektronik rumah tangga, LG, Sony, dan Panasonic berinovasi menghadirkan TV canggih dan perangkat berbasis AI. Sementara itu, Apple dan Google memimpin di wearable tech, dan Tesla serta Nvidia sudah berlari kencang di sektor otomotif dan AI.
Meski begitu, Samsung masih berdiri tegak. Namun, lawan mereka semakin banyak dan kuat. Dulu merek-merek Tiongkok dianggap sebelah mata, sekarang mereka justru menciptakan tren baru. Mereka paham keinginan pasar dan cepat merespons dengan nilai tambah lebih besar. Para pengguna setia Samsung pun mulai berpaling, bukan karena kualitas Samsung menurun, tapi karena pilihan lain lebih menarik.
Menarik Untuk Dibaca : Ampuhnya ChatGPT 2025
Di sektor semikonduktor, Samsung masih kuat, tapi pangsa pasarnya turun dari 43,1% pada 2022 menjadi 41,3% pada 2024. Di industri TV global, pangsa pasarnya juga terkikis dari 30,1% (2023) menjadi 28,3% (2024). TCL dan Hisense menawarkan alternatif berkualitas dengan harga lebih terjangkau. Tekanan paling besar justru di sektor smartphone, di mana pangsa pasarnya turun dari 21,7% (2022) menjadi 18,6%. Pesaing seperti Huawei, Xiaomi, Oppo, dan Vivo terus menekan dari berbagai sisi.
Samsung juga mulai tertinggal dalam desain dan inovasi. Ponsel lipat yang dulu ikonik kini kalah bersaing dengan versi lebih ringan dan ramping dari pesaing. Galaxy S series pun semakin kehilangan identitas uniknya. Di segmen menengah, produk mereka semakin homogen dan kurang menonjol. Ini tantangan besar karena pasar semakin padat dan kompetitif.
Sebagai perusahaan besar dengan struktur kompleks, Samsung tidak bisa bergerak secepat pesaing yang lebih lincah. Ketika fokus menghadapi Apple, merek lain diam-diam menguasai pasar. Di semikonduktor, Apple dan Nvidia kini lebih percaya pada TSMC. Meski skala bisnis dan kepercayaan pasar masih besar, tanpa langkah berani, keunggulan Samsung bisa sirna—padahal dulu itu yang membedakan mereka.
Dalam buku Jumping the S Curve, Paul Nunes dan Tim Breene menyebutkan bahwa kurva relevansi pasar akan turun lebih dulu dibanding kurva keuangan. Begitu juga dengan kurva kapabilitas. Banyak perusahaan tidak menyadari ini hingga semuanya terlambat—seperti yang terjadi pada Kodak, Blockbuster, dan Blackberry. Samsung tampaknya belajar dari kesalahan mereka.
Samsung memang pernah menjadi pemimpin di berbagai lini: semikonduktor, OLED, dan seri Galaxy. Namun belakangan, produk mereka terasa kurang menggigit. Ponsel lipat tampak kaku dibanding Xiaomi atau Honor. Galaxy S kehilangan pesonanya. Sementara itu, pesaing menciptakan tren baru dengan baterai lebih awet, pengisian daya super cepat, dan kamera luar biasa—semua dengan harga yang kompetitif.
Samsung sebenarnya tidak tertinggal dalam teknologi, tetapi mereka mulai kehilangan daya tarik emosionalnya—daya tarik yang dulu membuat konsumen memilih mereka. Untungnya, mereka sadar akan situasi ini lebih awal. Mereka tahu bahwa ini bukan sekadar soal harga atau fitur, tapi titik kritis yang menentukan masa depan lima hingga sepuluh tahun ke depan.
Pada awal 2024, Samsung mengumpulkan para eksekutifnya. Mereka tidak sekadar ingin mempertahankan pasar, tetapi ingin kembali menciptakan gebrakan. Chairman Lee Jae-yong meminta para eksekutif bekerja enam hari seminggu—bukan sebagai hukuman, tapi sebagai simbol bahwa mereka harus bergerak lebih cepat menghadapi zaman.
Langkah-langkah strategis segera diterapkan. Di sektor semikonduktor, Samsung mempercepat pengembangan chip 2 nanometer dengan teknologi gate-all-around untuk menarik kembali klien besar seperti Nvidia dan AMD. Mereka juga meningkatkan investasi di high bandwidth memory dan DDR5—kunci di era AI dan data center.
Di elektronik konsumen, mereka memperkuat posisi premium lewat Neo QLED 8K dan OLED TV, serta memperluas produksi panel untuk otomotif dan gaming. AI menjadi inti strategi. Samsung tidak menganggap AI hanya fitur tambahan, tetapi elemen utama dalam ekosistem produk—mulai dari smartphone, wearable, hingga perangkat rumah tangga.
Mungkin hasilnya belum langsung terlihat. Namun yang jelas, Samsung tidak menunggu situasi memburuk. Mereka bertindak cepat sebelum kehilangan lebih banyak momentum. Mereka menyadari bahwa kejayaan tidak selamanya terjamin. Justru di puncak kejayaanlah tantangan terbesar muncul. Kita harus menciptakan masa depan, bukan hanya bertahan.
Kisah Samsung adalah refleksi penting bagi perusahaan-perusahaan besar di Indonesia. Kita sudah melihat banyak yang dulunya dominan, kini kehilangan daya saing. Bukan karena produk mereka buruk, tapi karena mereka lambat membaca perubahan. Pasar berubah, pemain baru masuk dengan strategi segar dan lebih dekat ke pelanggan.
Samsung memilih untuk bertindak sebelum semuanya terlambat. Sayangnya, banyak perusahaan baru menyadari ini setelah angka penjualan anjlok dan pelanggan pergi. Padahal, kalau sadar lebih awal, mereka bisa mengejar ketinggalan. Inovasi seharusnya bukan proyek musiman, melainkan budaya. Inovasi bukan hanya soal teknologi, tetapi juga cara berpikir, melayani, dan menjalankan bisnis secara cerdas dan relevan.
Dunia berubah, dan mereka yang tidak ikut berubah akan tertinggal. Perusahaan-perusahaan di Indonesia harus mulai bertanya: apakah mereka masih mengandalkan strategi lama, atau sudah mencari pendekatan baru? Apakah mereka cukup mendengar pelanggan atau masih merasa pasar akan setia? Perubahan harus dilakukan sebelum terlambat.
Samsung menunjukkan bahwa mengenali tanda-tanda perubahan lebih awal bisa membedakan antara perusahaan yang bertahan dan yang tumbang. Ini bukan sekadar cerita perusahaan teknologi global, tapi refleksi penting untuk semua pelaku bisnis. Pertanyaannya: apakah kita sedang menciptakan masa depan atau hanya bertahan dalam pola lama?
Menarik Untuk Ditonton : Sukses Story Ayam Mertua
Mau Konsultasi?