Studi ini dikenal sebagai Global Flourishing Study (GFS) dan dilakukan pada 2022 dan 2024. Penilaiannya mengacu pada konsep flourishing, yaitu kondisi ketika berbagai aspek hidup—emosional, fisik, sosial, dan spiritual—selaras dan mendukung satu sama lain. Orang Indonesia umumnya masih merasakan kedekatan dengan keluarga, merasa dihargai, serta menjalani hidup dengan tenang dan penuh syukur. Nilai-nilai spiritual dan hubungan sosial yang kuat dinilai sangat berkontribusi terhadap kemakmuran batin ini, bahkan melampaui negara-negara maju seperti Jepang dan Inggris yang justru memiliki skor lebih rendah.
Hasil ini menimbulkan pertanyaan penting: jika kemakmuran suatu negara bisa diukur dari kualitas hidup manusianya, bisakah pendekatan yang sama digunakan untuk menilai perusahaan? Jawabannya: bisa. Perusahaan yang benar-benar “makmur” tidak hanya fokus pada keuntungan, tetapi juga pada bagaimana mereka memperlakukan karyawannya sebagai manusia utuh. Karyawan bukan sekadar penggerak produksi, melainkan individu yang butuh dihargai, berkembang, dan terhubung secara emosional dengan pekerjaan maupun timnya.
Menarik Untuk Dibaca : Samsung Panik
Flourishing di dunia kerja tidak cukup dinilai dari gaji atau fasilitas, tetapi dari suasana kerja yang manusiawi—di mana karyawan merasa memiliki tempat, didengar, dan punya ruang untuk tumbuh. Laporan Gallup 2024 menyebutkan bahwa hanya 21% karyawan di dunia yang benar-benar terlibat secara emosional dalam pekerjaan mereka. Padahal keterlibatan ini terbukti meningkatkan produktivitas, daya tahan terhadap krisis, dan profit perusahaan. Karyawan yang merasa dihargai cenderung lebih loyal dan berkomitmen.
Contoh nyatanya adalah perusahaan-perusahaan top seperti Bacardi, Philips, Hilton, Cisco, dan Salesforce. Mereka tidak hanya menawarkan kompensasi yang layak, tetapi juga menyediakan pelatihan, fleksibilitas kerja, mentoring, dan budaya organisasi yang menghargai kontribusi manusia. Cisco bahkan menerapkan program conscious culture yang menekankan kepemimpinan empatik dan komunikasi terbuka. Di Salesforce, kegiatan sosial menjadi bagian dari identitas perusahaan, dengan kontribusi 1% waktu, produk, dan saham untuk kegiatan kemanusiaan.
Kunci lainnya adalah menciptakan lingkungan kerja yang aman secara psikologis. Microsoft misalnya, menanamkan growth mindset sebagai budaya kerja, mendorong karyawan untuk terus belajar tanpa takut gagal. Hilton memberi kebebasan pada karyawan untuk mengatur jadwal kerja dan membuka kesempatan karier yang jelas. Di tempat kerja seperti ini, rasa memiliki tumbuh secara alami karena karyawan merasa diberdayakan dan dihargai.
Flourishing juga menyangkut keterlibatan sosial. Perusahaan seperti Target melibatkan karyawan dalam program sosial, menjadikannya bagian dari penilaian kinerja dan pemberian bonus. Hal ini menunjukkan bahwa tanggung jawab sosial bukan beban, melainkan bagian dari strategi bisnis. Ketika perusahaan peduli pada kualitas hidup masyarakat dan karyawannya, maka mereka membangun fondasi yang lebih kokoh untuk bertahan dan berkembang.
Yang terpenting, flourishing bukan sekadar tujuan yang harus dicapai perusahaan, tapi cara kerja yang diterapkan setiap hari. Itu tercermin dalam cara memimpin, sistem kerja, cara berkomunikasi, hingga bagaimana perusahaan menangani konflik. Nilai perusahaan bukan hanya slogan yang tertulis, tetapi harus tercermin dalam budaya kerja yang nyata.
Tempat kerja yang sehat dan manusiawi mampu menciptakan energi positif, inovasi, dan loyalitas yang kuat. Di sanalah karyawan tidak sekadar datang bekerja, tetapi bangun pagi dengan semangat karena merasa menjadi bagian dari sesuatu yang bermakna. Ketika perusahaan menghidupi nilai-nilai kemanusiaan, mereka bukan hanya tumbuh lebih cepat, tapi juga lebih kuat dan lebih tahan terhadap tantangan zaman.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung Upah Pekerja Dan Gaji Owner
Mau Konsultasi?