Tujuh tahun lalu, ketika saya masih menjabat sebagai Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia, saya pernah menyampaikan bahwa Indonesia harus siap menghadapi kenyataan pahit. Saat itu, ada 12 platform marketplace besar di Indonesia: Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak, BliBli, MatahariMall, Elevenia, Qoo10, Bhinneka, Dinomarket, Belanja.com, JD.id, dan lainnya. Namun, saya menegaskan bahwa Indonesia tidak membutuhkan sebanyak itu. Kita bisa belajar dari Amerika dan China yang jumlah penduduknya lebih banyak, tetapi hanya memiliki dua hingga tiga pemain besar. Di AS ada Amazon dan eBay, sementara di China ada Taobao dan Tmall (keduanya milik Alibaba). Sekarang, muncul TikTok yang di China hadir dengan nama Douyin. Maka, di Indonesia pun sulit bagi lebih dari selusin platform untuk bertahan.
Hari ini kita melihat hanya empat pemain yang masih bertahan, itupun terbagi menjadi dua kategori: yang peluangnya besar (Shopee dan Tokopedia) dan yang peluangnya menipis (Lazada dan BliBli). Selisih kekuatan antara dua kelompok ini cukup besar. Kemudian, masuklah TikTok yang mencuri pangsa pasar dari semua pemain, termasuk yang besar. TikTok kemudian bergabung dengan Tokopedia, sehingga kini persaingan utama tersisa antara “Tokopedia x TikTok” melawan Shopee.
Menarik Untuk Dibaca : Tips Memulai Bisnis Rumahan
Sebagai pengguna setia Tokopedia dengan jumlah transaksi lebih dari enam kali per bulan, saya merasa cukup intens berinteraksi dengan platform ini. Menurut saya, Tokopedia mudah digunakan, menunya jelas, pilihan produknya banyak, dan layanannya tidak bermasalah. Sementara saat mencoba Shopee, saya merasa menunya kurang nyaman. Pendapat ini juga sering saya dengar dari sesama pengguna Tokopedia. Namun, ketika melakukan FGD (Focus Group Discussion) di berbagai kota, hasilnya berbeda. Banyak peserta yang mengaku lebih nyaman menggunakan Shopee dan menilai Tokopedia ribet.
Dari sini saya memahami bahwa user experience (UX) seringkali soal kebiasaan. Sama seperti pengguna iPhone yang pindah ke Android atau sebaliknya, awalnya pasti terasa tidak nyaman. Hal ini juga yang dulu memproteksi Nokia dari serangan pesaing—pengguna sudah terbiasa dengan UI/UX-nya. Strategi serupa juga digunakan oleh hypermarket dengan membuat layout toko yang seragam agar konsumen mudah menemukan barang. Pelajarannya: tugas kita adalah membiasakan konsumen dengan UX yang kita miliki, seringkali lewat strategi “bakar uang” untuk memberikan subsidi dan menarik pengguna mencoba platform hingga mereka merasa nyaman.
Contoh lainnya adalah persaingan Traveloka dan tiket.com. Dahulu gap keduanya sangat besar, tetapi tiket.com berhasil memperkecil jarak salah satunya dengan meniru UX Traveloka sehingga pengguna tidak merasa asing. Namun, saya tetap bertanya-tanya mengapa Tokopedia sulit mengalahkan Shopee. Hasil FGD di belasan kota menunjukkan bahwa Tokopedia berimbang di kota-kota besar seperti Jakarta dan Surabaya, tetapi Shopee unggul di kota-kota menengah dan kecil, terutama di luar Jawa. Dari sisi penjual, Shopee juga unggul lewat seller tools yang lebih baik sehingga listing produk lebih relevan dan jangkauannya luas.
Dari sini ada dua pelajaran. Pertama, jangkauan pasar bisa jadi pembeda. Shopee menggarap pasar nasional, termasuk daerah-daerah yang terlihat kurang menarik, tetapi justru membentuk basis pengguna yang loyal karena sudah terbiasa dengan UX Shopee. Kedua, untuk bisnis yang memiliki sisi supply dan demand, keduanya harus diperhatikan. Shopee memperkuat supply side lewat seller tools, yang berdampak positif pada demand side.
Ketika TikTok mengakuisisi Tokopedia, saya sempat optimistis. Tokopedia unggul di plan buying (pembelian terencana), sementara TikTok unggul di impulse buying (pembelian impulsif). Kombinasi keduanya berpotensi menjadi kekuatan besar: TikTok menggoda konsumen dengan kebutuhan baru, Tokopedia menangkap mereka yang sudah memiliki kebutuhan jelas. Namun, kejutan yang tidak menyenangkan justru terjadi saat integrasi. Tokopedia terkesan “dikebiri” dan didorong seluruhnya ke TikTok. Layanan Tokopedia menurun drastis, terutama di logistik. Barang sering terlambat, layanan same day bisa molor lebih dari dua hari, dan mekanisme komplain terasa menyulitkan pengguna.
Pengalaman ini membuat saya mencoba Shopee, dan ternyata logistik Shopee jauh lebih baik. Proses pengiriman cepat, update status jelas, pilihan produk banyak, dan ada garansi pengiriman yang meski nilainya kecil tetap menunjukkan komitmen pada kualitas layanan. Faktor-faktor ini menjadi exit barrier yang kuat bagi konsumen untuk tetap di Shopee.
Kesimpulannya, transisi selalu membawa risiko. Jika tidak dilakukan hati-hati, konsumen bisa pindah dan sulit kembali. Untuk platform e-commerce, produk murah dan promosi besar tidak ada artinya jika layanan logistik buruk dan mekanisme komplain tidak adil. Pelajaran ini berlaku untuk semua bisnis: jaga layanan, pahami karakter pasar, dan pastikan transisi strategi dilakukan dengan perencanaan yang matang agar tidak kehilangan pelanggan setia.
Menarik Untuk Ditonton : Inspirasi Jualan di Rumah
Mau Konsultasi?