Tips Bisnis ~ Banyak marketer yang memiliki ide bagus, namun akhirnya gagal mendapatkan hasil yang diinginkan. Campaign yang dibuat sudah terlihat kreatif, crafting-nya rapi, bahkan penawarannya pun menarik. Sayangnya, meskipun semua elemen tersebut terasa tepat, campaign tetap tidak berhasil. Hal ini sering terjadi bukan karena ide atau eksekusinya salah, melainkan karena kurangnya satu hal penting: konsistensi.
Dalam pekerjaan menyusun strategi marketing, sering kali terdapat dua kelompok besar: what to say dan how to say. What to say berhubungan dengan penentuan positioning dan pesan utama yang ingin disampaikan. Sementara itu, how to say terkait dengan cara menyampaikan pesan hingga ke level eksekusi. Banyak ide menarik lahir di tahap ini, membuat kita bersemangat sekaligus yakin bahwa campaign akan berhasil. Setelah itu, kita memilih channel, lalu menjalankan campaign dengan penuh ekspektasi. Namun, ketika hasil tidak sesuai harapan, kebingungan pun muncul: “Apa yang salah? Idenya sudah oke, crafting bagus, channel juga tepat.”
Sering kali jawabannya terletak pada kurangnya konsistensi. Ada istilah “consistency over intensity”. Intinya, bukan hanya seberapa intens campaign dilakukan atau seberapa bagus pesan yang dibawa. Walaupun keduanya penting, campaign yang tidak dijalankan secara konsisten sering kali gagal mencapai tujuannya.
Menarik Untuk Dibaca : Kunci Bahagia di Era FOMO
Perlu diingat, persuasi dalam marketing bukan sekadar menyampaikan pesan. Lebih dari itu, tujuannya adalah mengubah cara berpikir konsumen dan bahkan mengganti kebiasaan mereka menggunakan produk lain. Proses ini tidak bisa dilakukan dengan cepat; ia membutuhkan konsistensi agar konsumen terbiasa dengan brand dan pesannya.
Sejarah bisnis menunjukkan banyak contoh pentingnya konsistensi. Ambil kasus Nokia. Produk ini pernah berjaya bukan karena fiturnya paling canggih atau harganya paling murah, melainkan karena konsistensi pada dua hal: antarmuka yang mudah dipahami pengguna, serta desain yang menjadi standar di mata konsumen. Kebiasaan memainkan peran besar. Sama halnya dengan Windows vs. MacOS, iPhone vs. Android, atau preferensi terhadap merek mobil seperti Honda dan Toyota. Pilihan sering kali dipengaruhi oleh kebiasaan, bukan hanya logika teknis.
Hal serupa berlaku pada industri rokok dan mie instan. Penelitian menunjukkan, setelah seseorang mengonsumsi 40 batang rokok dari merek tertentu, ia akan merasa terbiasa dan menganggap rasa tersebut enak. Karena itu, promosi rokok gencar melakukan sampling agar konsumen membentuk kebiasaan. Indomie pun berhasil mendominasi pasar karena konsisten membangun standar rasa yang familiar bagi masyarakat Indonesia. Bahkan, perbedaan komposisi rasa Indomie di luar negeri menunjukkan bagaimana standar kebiasaan tiap pasar bisa berbeda.
Contoh lainnya adalah penataan layout supermarket. Penataan yang konsisten membantu konsumen menemukan barang tanpa harus berpikir keras. Jika layout sering berubah, konsumen merasa kesulitan, akhirnya mengurangi pengalaman belanja, bahkan berpotensi menurunkan jumlah pembelian.
Semua contoh ini menunjukkan bahwa dalam marketing, familiarity sangat penting. Konsumen cenderung memilih sesuatu yang sudah dikenal (mere exposure effect). Sesuatu yang familiar dianggap lebih aman, meskipun tidak sempurna. Hal ini terjadi karena otak manusia cenderung menghindari risiko besar yang belum bisa diprediksi, sekaligus berusaha menghemat energi dengan membangun kebiasaan.
Itulah sebabnya brand harus fokus membangun familiarity melalui konsistensi. Tidak perlu memaksakan konsumen langsung membeli banyak; cukup ajak mereka untuk mulai menggunakan secara rutin. Setelah terbiasa, konsumsi akan meningkat dengan sendirinya. Begitu juga dalam hal komunikasi brand. Pesan yang konsisten, berulang, dan relevan akan lebih mudah diserap, diingat, dan membentuk kebiasaan di benak konsumen.
Kesimpulannya, konsistensi lebih penting daripada sekadar intensitas atau kualitas pesan sesaat. Familiarity menjadi pintu masuk untuk membangun kedekatan lebih dalam dengan konsumen, yang pada akhirnya akan mendorong terjadinya pembelian. Tanpa konsistensi, brand akan sulit bergerak maju, meskipun ide campaign terlihat brilian di awal.
Menarik Untuk Ditonton : Sukses Usaha Dari Desa
Mau Konsultasi?