Sudah menjadi pemahaman umum bahwa setiap generasi memiliki karakter uniknya sendiri. Walaupun tidak bisa disederhanakan secara hitam-putih, perbedaan ini lebih seperti gradasi yang halus dan sering kali tidak disadari hingga perubahan terasa begitu signifikan. Perbedaan cara pikir ini lahir dari konteks lingkungan dan situasi hidup masing-masing generasi. Contohnya, kemajuan teknologi telah membuka akses informasi yang jauh lebih besar bagi generasi muda, menjadikan mereka lebih peduli pada isu-isu seperti social influence dan otentisitas.
Dalam konteks marketing, ada beberapa tren penting yang akan bertahan dan bahkan tumbuh ke depan. Pertama adalah sustainability. Gen Z yang lahir dan besar dalam era digital, sangat peduli terhadap isu lingkungan. Mereka memiliki literasi yang tinggi soal global warming, emisi karbon, dan isu-isu keberlanjutan lainnya. Isu ini kini makin bergulir seperti bola salju. Kita bisa melihat berbagai brand mulai menawarkan opsi donasi karbon, program daur ulang, hingga kampanye pemakaian ulang pakaian seperti yang dilakukan Patagonia. Brand bisa beradaptasi baik secara langsung (misalnya untuk brand yang memang “punya dosa” lingkungan seperti airline atau AMDK) atau secara tidak langsung melalui dukungan dan kampanye yang otentik.
Kedua adalah kolaborasi. Generasi muda hidup di era di mana membangun bisnis makin mudah, mulai dari kemudahan bikin toko online hingga hadirnya modal ventura yang lebih “sabar”. Tapi tetap saja, biaya marketing masih menjadi tantangan besar. Maka kolaborasi jadi solusi cerdas. Banyak brand sekarang saling berkolaborasi, bahkan dengan kompetitor, demi menjangkau audiens yang lebih luas dengan anggaran lebih kecil. Kolaborasi menciptakan efek win-win, memperluas jangkauan dan memperkuat persepsi publik. Brand yang tidak melakukan kolaborasi akan mulai terlihat ketinggalan zaman, bahkan dianggap “kurang oke” karena tidak ada yang mau bekerja sama dengannya. Maka dari itu, tim marketing sebaiknya punya orang yang khusus bertugas mencari dan mengelola kolaborasi.
Menarik Untuk Dibaca : Jebakan Networking
Ketiga adalah social is our new channel. Gen Z lahir di era sosial media. Kamera di smartphone bukan sekadar alat dokumentasi, tapi sarana ekspresi dan validasi sosial. Unboxing, konten first impression, rating, review, semua jadi rujukan utama. Maka marketing masa depan harus mencakup strategi sosial, bukan hanya sosial media. Konsumen kini bukan sekadar pengguna, tapi juga endorser. Brand harus memperlakukan mereka sebagai bagian dari ekosistem pemasaran. Mulai dari customer experience yang baik, sampai menciptakan situasi sosial yang mendukung rekomendasi organik (termasuk outlet yang ramai dan Instagramable).
Keempat adalah brand authenticity. Dulu, brand jadi shortcut dalam keputusan pembelian karena keterbatasan akses informasi. Kini akses terbuka lebar. Konsumen bisa bandingkan harga, performa, dan ulasan dari berbagai sumber sebelum membeli. Brand tidak bisa lagi hanya membangun persepsi — realitas harus sejalan. Bahkan banyak brand baru dengan modal cerita otentik berhasil merangsek masuk ke pasar, menyaingi pemain lama. Brand kini tidak bisa hanya membangun citra lewat iklan, tapi harus membuktikannya lewat pengalaman nyata.
Kelima adalah meaningful story. Generasi muda kini justru menyukai hal-hal yang punya makna atau cerita di baliknya. Barang jadul seperti Vespa atau kamera Polaroid kembali populer karena nilai historis dan cerita yang menyertainya. Brand yang mampu mengkomunikasikan story dengan cara yang menyentuh dan relatable akan lebih diingat. Tapi ingat, cerita yang dibangun bukan tentang narsisme brand semata, melainkan tentang nilai yang resonate dengan audiens.
Terakhir, tak kalah penting adalah experience. Gen X dikenal pragmatis karena tumbuh dengan hasil sebagai orientasi utama. Sementara Gen Y dan Z hidup di era pilihan melimpah dan referensi tak terbatas. Mereka menghargai pengalaman — bukan hanya produk. Maka, desain outlet, kemudahan transaksi, pelayanan yang ramah, semua jadi bagian dari total experience. Konsumen bisa saja tetap ke warung kecil kalau makanannya enak, tapi brand yang ingin dipilih berulang kali harus memberi experience yang menyenangkan. Bahkan banyak keputusan pembelian kini didasarkan pada apakah pengalaman itu layak untuk dibagikan ke sosial media atau tidak.
Singkatnya, marketing masa depan bukan sekadar soal media dan pesan, tapi soal bagaimana brand membangun hubungan yang bermakna dengan konsumen. Memahami perubahan generasi bukan untuk dihafal, tapi untuk ditindaklanjuti secara strategis. Brand yang gagal beradaptasi, cepat atau lambat, akan ditinggal.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Mengembangkan Bisnis
Mau Konsultasi?