Seorang marketer yang memiliki pemahaman yang baik tentang marketing selalu mencari tahu satu hal ketika bergabung dengan perusahaan baru, yaitu segmentasinya seperti apa. Apa saja segmen konsumen dari brand yang dikelola dan mana yang bisa ditargetkan? Ini adalah hal paling mendasar dalam bisnis. Seperti saat Anda membangun rumah berlantai tiga atau lebih, Anda pasti tahu proses sondir, yaitu teknik untuk mengetahui kepadatan tanah. Dengan sondir, Anda bisa mengetahui struktur tanah dan menentukan kedalaman tiang pancang. Segmentasi dalam bisnis berfungsi seperti sondir, yaitu untuk mengetahui segmen konsumen yang ada di pasar, sehingga bisnis dapat menentukan segmen mana yang menjadi fondasi.
Segmentasi dan targeting sangat penting. Pemahaman tentang segmen yang ditargetkan akan menentukan banyak hal, seperti produk apa yang harus dibuat, fiturnya, harga, kemasan, distribusi, hingga strategi pemasaran seperti iklan dan kolaborasi dengan artis atau KOL. Bayangkan jika Anda membangun sebuah bangunan tanpa melakukan tes sondir, sehingga asal pasang tiang pancang. Setelah beberapa lama, Anda baru sadar bahwa tiang pancangnya tidak cukup dalam dan harus dibangun ulang. Hal ini juga sering terjadi dalam bisnis ketika perusahaan masuk pasar tanpa segmentasi yang tepat. Mereka asal lempar produk ke pasar tanpa konsistensi pada produk, harga, distribusi, atau iklan. Akibatnya, mereka harus melakukan segmentasi ulang, yang risikonya adalah kehilangan sebagian besar segmen yang sudah dikuasai.
Berbicara soal market shifting, ada beberapa jenis shifting yang umum terjadi. Pertama adalah *upgrade market shifting*, yang terjadi ketika perusahaan memutuskan untuk berpindah ke segmen yang lebih premium. Ini bisa terjadi karena menyadari bahwa segmen sebelumnya terlalu penuh atau tidak memberikan ROI yang baik. Risiko dari shifting ini adalah brand perception yang sudah terbentuk pada segmen lama. Produk yang sudah diterima oleh segmen lama mungkin tidak relevan lagi setelah shifting, dan segmen baru belum tentu mau menerima brand tersebut karena dianggap bukan untuk mereka.
Menarik Untuk Dibaca : Menentukan Goal Bisnis
Contoh yang bisa kita lihat adalah Datsun. Bayangkan jika Datsun, yang dikenal sebagai brand untuk segmen bawah di Indonesia, tiba-tiba ingin bersaing dengan BMW Seri 7. Segmen lama tentu tidak bisa menerima karena daya beli mereka tidak sesuai, sementara segmen baru juga tidak mudah menerima karena Datsun sudah terlanjur dipersepsikan sebagai brand segmen bawah. Namun, shifting tidak selalu gagal. Contoh suksesnya adalah Mazda. Di tahun 90-an, Mazda dikenal sebagai brand mobil yang kelasnya lebih rendah. Namun, di awal 2000-an, Mazda melakukan shifting dengan meluncurkan produk-produk seperti Mazda 2, CX-5, dan lainnya. Produk-produk ini diterima dengan baik, dan Mazda berhasil naik kelas.
Jenis shifting yang kedua adalah *regeneration market shifting*. Ini terjadi ketika sebuah brand sudah terlalu lekat dengan segmen usia tua. Brand tersebut harus melakukan regenerasi agar tetap relevan dengan segmen yang lebih muda. Salah satu contoh sukses adalah Sasa, yang berhasil meregenerasi market mereka dengan melakukan transformasi besar-besaran. Mereka mendesain ulang kemasan, mengubah gaya komunikasi, dan membuat aktivitas pemasaran yang relevan dengan segmen yang lebih muda. Risiko dari regenerasi ini adalah jika brand terlalu lama menunda PR-nya, sehingga brand ikut menua bersama konsumennya dan kehilangan relevansi.
Jenis shifting yang ketiga adalah *market extension*. Ini dilakukan ketika sebuah brand ingin memperluas pasarnya tanpa meninggalkan pasar lama. Walaupun terlihat minim risiko, kenyataannya tidak semudah itu. Ketika brand berusaha menargetkan segmen baru, ada kemungkinan segmen lama merasa brand tersebut sudah tidak relevan bagi mereka. Salah satu contoh adalah Extra Joss. Di awal 2000-an, Extra Joss mencoba memperluas pasar dengan meluncurkan produk premium seperti Extra Joss Type dan Extra Joss X, tetapi tidak diterima dengan baik oleh segmen baru. Akibatnya, kepemimpinan Extra Joss di pasar lamanya mulai terkudeta oleh Kuku Bima Energy.
Dari ketiga jenis shifting ini, kita bisa belajar bahwa melakukan market shifting, market regeneration, dan market extension bukanlah hal yang mudah. Risiko kehilangan segmen lama dan gagal mendapatkan segmen baru selalu ada. Oleh karena itu, brand harus berhati-hati dalam melakukan perubahan ini. Sebagai marketer, kita harus memahami bahwa brand bukan hanya tentang produk, tetapi juga tentang personal experience konsumen. Brand yang sama bisa dinilai berbeda oleh orang yang berbeda.
Sebagai contoh, brand otomotif seperti Mazda, Hyundai, dan Kia berhasil melakukan shifting karena mereka memperbaiki desain dan meningkatkan spesifikasi teknis produk mereka. Namun, tidak semua brand bisa melakukan hal ini dengan mudah. Semakin besar dan kuat sebuah brand, semakin kecil risiko shifting yang harus mereka hadapi. Contohnya adalah Apple. Ketika Apple mengadopsi chip Intel, tidak ada masalah besar karena Apple sudah dikenal sebagai brand yang kuat.
Pada akhirnya, brand harus selalu menjaga relevansi dengan pasar. Brand-brand besar seperti Coca-Cola, Nike, dan Apple tidak pernah menua karena mereka selalu meregenerasi diri secara konsisten. Mereka menjadi trendsetter, bukan hanya mengikuti tren.
Semoga bermanfaat. Salam Sukses Salam Satoeasa Untuk Indonesia.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Action Plan Bisnis
Sumber : marketers tv
Mau Konsultasi?