Branding adalah Maraton, Bukan Sprint
Mengelola brand dalam jangka panjang adalah topik utama kita di episode kali ini. Episode ini merupakan bagian dari kelas Marketis yang fokus pada growth marketing—bagaimana mengejar pertumbuhan di masa-masa yang tidak pasti. Di kelas ini, kita belajar teknik menentukan core bisnis dan bagaimana tumbuh dari inti bisnis itu hingga menghasilkan pertumbuhan top-line yang signifikan. Materinya sangat teknis namun mudah dipahami, dan membuat kita merenung: kita ini sedang di posisi mana, mau ke mana, dan growth marketing seperti apa yang sebenarnya kita butuhkan.
Kelas Marketis akan terus hadir dengan topik-topik menarik. Dan khusus episode kali ini, kita masuk ke bagian ketiga dari rangkaian special edition branding dari Analisis. Kalau Anda belum menyaksikan dua episode sebelumnya, sebaiknya tonton dulu karena apa yang akan dibahas di sini adalah kelanjutannya.
Mengapa Mengelola Brand Itu Sulit?
Mengelola brand dalam jangka panjang itu tidak mudah. Brand bukan sesuatu yang dilakukan satu kali lalu selesai, tetapi harus dikerjakan secara berkelanjutan. Tantangannya datang dari dua sisi: internal dan eksternal.
Secara internal, pergantian manajemen sering kali membuat arah brand berubah-ubah. Brand manager yang baru ingin menerapkan visinya sendiri, sehingga strategi ikut berganti dan menyebabkan inkonsistensi. Fokus perusahaan yang cenderung pada jangka pendek dan penjualan instan juga kerap membuat strategi diskon digunakan berlebihan—padahal ini merusak ekuitas merek.
Menarik Untuk Dibaca : Cara BYD Juara
Di sisi lain, kompleksitas brand portfolio menjadi tantangan tersendiri. Banyak perusahaan punya terlalu banyak brand, namun dengan anggaran terbatas, tidak semuanya bisa dikelola dengan baik. Akhirnya banyak yang menjadi dorman, tidak aktif, dan membingungkan konsumen.
Tekanan dari Luar yang Menggoda Brand Berubah
Dari sisi eksternal, kompetisi harga yang intens mendorong brand ikut-ikutan diskon agar produk tetap laku. Brand juga harus menghadapi serangan dari merek-merek baru yang lebih cool di mata generasi muda. Fragmentasi market dan media juga membuat positioning semakin sulit—apa yang bekerja di TikTok belum tentu efektif di Instagram, apalagi di YouTube.
Situasi ini membuat banyak brand kehilangan konsistensi. Padahal prinsip utama dalam branding adalah konsistensi. Godaan untuk berubah-ubah datang dari berbagai arah, termasuk dari dalam tim marketing sendiri. Contohnya:
Penjualan stagnan, membuat brand merasa perlu mengganti strategi.
Kompetitor sukses dengan strategi baru, brand ingin meniru.
Ingin merasa “memiliki” brand, terutama jika strategi sebelumnya dirancang oleh orang lain.
Sayangnya, perubahan-perubahan ini kerap merusak brand identity system yang dibangun dalam waktu lama. Maka, godaan-godaan ini harus disadari dan dikendalikan.
Waspadai Inisiatif yang Bisa Mengganggu Identitas Brand
Dalam menjaga konsistensi brand, ada enam inisiatif umum yang perlu dicek apakah berpotensi mengganggu brand identity:
Masuk ke market baru (segmen baru, usia baru, lokasi baru).
Meluncurkan produk baru di luar kategori yang dikuasai.
Mengubah strategi harga, diskon, atau promo intensif.
Campaign komunikasi baru yang sangat berbeda dari sebelumnya.
Masuk ke channel distribusi baru, seperti e-commerce.
Mengenalkan customer experience baru.
Sebelum melakukannya, pastikan bertanya tiga hal:
Apakah market akan bingung?
Apakah brand kehilangan otentisitasnya?
Apakah brand menjadi “turun kelas” atau terdilusi?
Konsisten, tapi Tetap Harus Bertumbuh dan Adaptif
Apakah itu berarti brand tidak boleh berubah sama sekali? Tentu tidak. Konsistensi penting, tapi brand juga harus bisa beradaptasi dan bertumbuh.
Ada tiga strategi adaptasi utama:
Brand Laddering: Meningkatkan posisi dari manfaat fungsional ke manfaat emosional. Contohnya DOVE, dari sabun pelembap menjadi simbol real beauty empowerment.
Brand Rejuvenation: Menyegarkan brand agar relevan dengan zaman dan tren baru. Contohnya GAP, masuk ke TikTok dan mengganti gaya komunikasinya agar lebih dekat dengan Gen Z.
Brand Premiumization: Menaikkan kelas brand melalui kualitas, kemasan, limited edition, dan strategi harga bertahap. Contohnya COS yang naik dari affordable luxury ke true luxury brand.
Brand juga harus tumbuh secara strategis, bukan hanya adaptif. Empat strategi utama yang biasa digunakan antara lain:
Line Extension: Menambah varian di kategori yang sama, seperti Lego dengan Lego Friends, Lego City, dll.
Vertical Stretch: Masuk ke segmen atas (premium) dan bawah (mass). Lego punya Lego Icons (atas) dan Lego Polybags (bawah).
Brand Extension: Masuk ke kategori baru, seperti Lego yang kini juga punya film, video game, hingga taman hiburan Legoland.
Cross-Category Co-Branding: Berpartner dengan brand di luar kategori. Contohnya Lego x IKEA menciptakan tempat penyimpanan bernama BYGGLEK.
Kesimpulan
Mengelola brand jangka panjang itu tentang menjaga konsistensi, tetapi juga tentang berani beradaptasi dan bertumbuh. Ini adalah perjalanan panjang. Branding bukan sprint. Branding adalah maraton.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung BEP dan Target Omset
Mau Konsultasi?