Pernahkah kamu melihat sebuah warung bakso langganan di komplekmu yang rasanya sangat enak dan menjadi favorit banyak orang? Namun, beberapa bulan kemudian, tiba-tiba warung itu tutup, dan si penjual bakso pun tak pernah terlihat lagi. Atau mungkin kamu punya teman yang sangat berbakat dalam desain, lalu memutuskan untuk membuka agensi desain sekaligus kafe estetik miliknya sendiri. Di awal, semangatnya begitu besar, penuh ide dan energi, tetapi setahun kemudian bisnisnya gulung tikar.
Kebanyakan dari kita cenderung menyalahkan faktor eksternal ketika sebuah bisnis gagal — mulai dari modal, persaingan, hingga lokasi. Namun, faktanya, sekitar 90% penyebab kegagalan bisnis justru berasal dari faktor internal: pemilik bisnis itu sendiri. Banyak pebisnis pemula terjebak dalam satu asumsi keliru — bahwa jika seseorang menguasai aspek teknis dari sebuah pekerjaan, maka ia otomatis bisa menjalankan bisnis di bidang tersebut. Padahal, jago dalam hal teknis tidak serta-merta berarti jago berbisnis.
Bayangkan seseorang yang sangat menyukai olahraga yoga. Karena kecintaannya, ia mengambil sertifikasi instruktur dan mulai bekerja di beberapa studio. Lama-kelamaan, ia berpikir, “Kalau saya buka studio yoga sendiri, pasti lebih menguntungkan.” Akhirnya ia membuka studionya sendiri, dan pada awalnya bisnis berjalan lancar karena banyak klien lamanya yang datang. Namun, beberapa bulan kemudian pendapatan stagnan. Tidak ada klien baru, biaya operasional membengkak, dan ia pun stres karena harus memikirkan banyak hal — mulai dari pajak, promosi, hingga administrasi yang rumit. Inilah contoh nyata bahwa keahlian teknis tidak menjamin kemampuan dalam mengelola bisnis.
Menarik Untuk Dibaca : Cara Naik Level
Dalam menjalankan bisnis, ada tiga peran utama yang perlu dipahami: eksekutor, manajer, dan visioner.
Pertama, eksekutor adalah orang teknis di lapangan, yang fokusnya pada penyelesaian tugas harian dengan hasil yang baik. Namun, mereka cenderung enggan mengurus aspek manajerial atau pengembangan bisnis, sehingga sering kali tanpa sadar hanya menciptakan pekerjaan untuk diri sendiri, bukan sistem bisnis yang berkembang.
Kedua, manajer berfokus pada keteraturan, efisiensi, dan sistem. Tapi bila terlalu kaku, mereka bisa menciptakan birokrasi yang menghambat inovasi.
Ketiga, visioner adalah sosok yang berorientasi pada masa depan dan peluang besar, namun sering kali lemah dalam eksekusi dan manajemen detail.
Sebagian besar pebisnis kecil memulai usahanya dengan komposisi yang tidak seimbang — misalnya 70% eksekutor, 20% manajer, dan hanya 10% visioner. Akibatnya, sang pemilik bisnis harus mengerjakan segalanya sendiri. Bisnis menjadi tidak efisien dan sulit berkembang. Di sisi lain, ada pula “pengusaha modal besar” yang terlalu visioner tanpa dukungan sistem yang kuat, sehingga bisnisnya berjalan tanpa arah meskipun memiliki dana yang melimpah.
Lalu, bagaimana cara keluar dari jebakan ini?
Kuncinya adalah berhenti berpikir seperti pekerja, dan mulai berpikir seperti pemilik bisnis. Artinya, jangan lagi hanya bekerja di dalam bisnis, tetapi mulailah bekerja untuk membangun bisnis. Fokuslah pada pembuatan sistem yang memungkinkan bisnis berjalan secara mandiri dan konsisten tanpa harus bergantung penuh pada pemiliknya.
Untuk menciptakan sistem tersebut, kini ada banyak teknologi yang mempermudah proses manajemen bisnis, salah satunya melalui platform ERP (Enterprise Resource Planning) seperti Odoo. ERP membantu menyatukan berbagai kebutuhan bisnis — mulai dari penjualan, keuangan, inventori, hingga manajemen pelanggan — ke dalam satu sistem terpadu. Odoo bahkan sudah dilengkapi teknologi AI yang dapat membantu otomatisasi berbagai proses, seperti pembuatan website, laporan keuangan, hingga manajemen proyek.
Sebagai contoh, bagi pemilik coffee shop, Odoo dapat digunakan untuk membuat website pemesanan online, mencatat transaksi kasir secara digital, memantau stok bahan baku, mencatat laporan keuangan otomatis, serta menyimpan data pelanggan untuk program loyalitas. Semuanya dapat dilakukan dalam satu platform dengan biaya yang jauh lebih efisien dibandingkan menggunakan berbagai aplikasi terpisah.
Pada akhirnya, membangun bisnis bukan sekadar menciptakan pekerjaan yang lebih sibuk untuk diri sendiri, melainkan membangun aset dan sistem yang bisa terus tumbuh bahkan tanpa kehadiran langsung pemiliknya.
Coba refleksikan, peran apa yang paling dominan dalam dirimu saat ini — eksekutor, manajer, atau visioner? Jika belum seimbang, itu bukan masalah besar. Kesadaran adalah langkah pertama. Selanjutnya, kamu bisa mulai menyeimbangkan kemampuan tersebut, atau mencari co-founder yang bisa melengkapi kekuranganmu.
Karena pada akhirnya, bisnis yang sukses bukanlah yang bergantung pada satu orang, melainkan yang ditopang oleh sistem yang bekerja dengan cerdas.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung BEP dan Target Omset
Mau Konsultasi?