Tips Bisnis ~ Community marketing kini dipercaya sebagai strategi ampuh untuk mempertahankan eksistensi sekaligus meningkatkan performa brand. Banyak yang menyadari pentingnya strategi ini, namun tidak semua mampu menjalankannya dengan baik sehingga hasilnya sering kali tidak sesuai harapan.
Di tengah perubahan teknologi yang mengubah cara kita beriklan, memilih channel, hingga mengevaluasi strategi marketing, ada satu hal mendasar yang tetap tidak berubah: bentuk marketing paling kuat adalah word of mouth alias rekomendasi dari mulut ke mulut. Mengapa? Karena kita percaya orang yang memberi rekomendasi tidak punya kepentingan menjual produk tersebut, dan biasanya mereka berada di posisi yang sama dengan kita—sama-sama konsumen. Terlebih jika yang memberi referensi adalah orang yang kita kenal baik, maka kepercayaannya jauh lebih tinggi.
Dari sinilah community marketing berangkat. Strategi ini menciptakan wadah di mana referensi atau rekomendasi bisa tersebar secara alami di antara anggota komunitas. Dampaknya jauh lebih efisien dibandingkan sekadar dorongan referral one-on-one, karena penyebarannya bersifat kolektif. Selain itu, kekuatan community marketing juga terletak pada social factor—produk yang digunakan dan direkomendasikan oleh beberapa orang dalam komunitas menjadi social proof bagi anggota lainnya. Solidaritas kelompok membuat pengaruh tersebut bahkan bisa berubah menjadi social pressure: jika satu-dua orang menggunakan produk tertentu dan puas, maka anggota lain cenderung ikut menggunakannya.
Sayangnya, banyak brand terjebak dalam pemahaman normatif bahwa mengetahui pentingnya community marketing berarti bisa menjalankannya dengan baik. Padahal tidak sesederhana itu. Banyak kesalahan umum yang justru membuat strategi ini gagal. Kesalahan pertama adalah berpikir jangka pendek (short term). Banyak yang percaya community marketing bisa berhasil hanya dengan memberikan dukungan jangka pendek, misalnya mengundang komunitas mencoba produk dan membuat konten di media sosial. Padahal ini bukan community marketing, melainkan influencer marketing terselubung. Community marketing sejatinya berbasis pada trust—kepercayaan yang butuh waktu untuk dibangun. Ketika brand masuk ke komunitas, ada kecurigaan alami bahwa tujuannya untuk jualan. Maka, strategi yang terlalu singkat hanya menghasilkan efek “hit and run” tanpa membangun hubungan jangka panjang.
Kesalahan kedua adalah menjadi “bohir”—terlalu royal dengan uang. Memang, uang bisa membuka pintu untuk membangun hubungan dengan komunitas, tapi jika berlebihan, hubungan yang tercipta menjadi transaksional. Bukannya kepercayaan yang terbentuk, malah rasa “utang budi”. Akhirnya, brand hanya menjadi “mesin sponsor” yang sulit mendapatkan ROI yang masuk akal, sementara komunitasnya cenderung “memanfaatkan” kedermawanan brand. Hubungan yang dibangun di atas uang tidak akan bertahan lama.
Kesalahan ketiga adalah berpikir bahwa semua brand bisa membangun komunitasnya sendiri. Padahal, terbentuknya komunitas didasari oleh kesamaan tujuan dan pengalaman yang relevan. Komunitas motor, misalnya, terbentuk karena anggotanya sama-sama ingin menikmati aktivitas bermotor. Komunitas fotografi ada karena anggotanya sama-sama ingin mengembangkan hobi fotografi. Tapi apakah brand sabun mandi bisa membentuk komunitas yang relevan dengan pengalaman “mandi yang menyenangkan”? Tentu tidak. Tidak semua brand bisa menjadi pusat komunitas (brand-driven community).
Menarik Untuk Dibaca : Strategi Bakar Uang
Ada dua tipe utama komunitas. Pertama, brand-driven community, yaitu komunitas yang memang bisa dibangun oleh brand karena karakter produknya cocok: high involvement, pengalaman penggunaannya tangible, dan ada fanatisme terhadap brand. Contohnya komunitas motor (Yamaha, Honda), kamera (Canon, Nikon, Sony, Fuji), atau kolektor tas mewah seperti Victoria’s Secret Collectors. Sebaliknya, produk dengan low involvement dan tidak menimbulkan rasa bangga sulit membentuk komunitas semacam ini—contohnya obat sakit kepala atau pakaian dalam, karena tidak ada kebanggaan atau pengalaman sadar yang dibagi di sana.
Kedua, tap-in community, yaitu brand yang tidak bisa membentuk komunitas sendiri tapi bisa “menumpang” ke komunitas lain yang relevan. Contohnya Pokari Sweat yang masuk ke komunitas pelari, atau Samsung yang berkolaborasi dengan komunitas gaming. Produk mereka tidak menjadi subjek utama, tapi fungsinya relevan bagi komunitas tersebut. Strategi ini efektif selama brand bisa hadir secara natural tanpa memaksa diri menjadi pusat perhatian.
Agar community marketing berhasil dan berumur panjang, ada empat prinsip utama yang harus dijaga. Pertama, kolektivitas—komunitas harus dibangun atas visi dan tujuan bersama. Brand (jika menjadi bagian dari komunitas) tidak boleh terlalu dominan dan harus memberi ruang bagi anggota untuk berkontribusi aktif. Kedua, coolness atau rasa bangga—anggota harus merasa keren menjadi bagian dari komunitas tersebut. Tanpa rasa bangga, komunitas akan cepat kehilangan daya tarik. Ketiga, konsistensi—baik komunitas maupun brand yang mendukungnya harus konsisten mengadakan aktivitas dan membangun hubungan jangka panjang. Konsistensi inilah yang menjadi bukti nyata kepercayaan. Terakhir, community property—elemen visual atau simbol yang bisa menunjukkan identitas komunitas seperti jaket, stiker, bendera, atau logo. Properti ini membantu anggota mengekspresikan rasa bangga mereka secara nyata.
Kesimpulannya, community marketing bukan sekadar jargon. Tidak semua brand bisa membuat komunitas sendiri, tapi semua brand punya peluang untuk tap in ke komunitas yang relevan. Kuncinya ada pada pemahaman yang benar, strategi yang jangka panjang, serta kemampuan menjaga kepercayaan dan kebanggaan komunitas. Jika dijalankan dengan prinsip-prinsip ini, community marketing bisa menjadi kekuatan yang luar biasa untuk membangun loyalitas sekaligus memperkuat performa brand.
Menarik Untuk Ditonton : Belajar Mengembangkan Bisnis
Mau Konsultasi?