Jika setiap kali perusahaan besar bermasalah dan selalu diselamatkan pemerintah, hal ini dapat menciptakan preseden buruk dan mengurangi efek jera.
Sritex didirikan oleh HM Lukminto, seorang pria keturunan Tionghoa kelahiran Nganjuk, Jawa Timur, pada 1 Juni 1946. Perjalanan hidupnya penuh liku, termasuk putus sekolah di bangku SMA. Lukminto memulai bisnis tekstil dengan modal Rp25.000 dari orang tuanya, membeli kain blacu dari Semarang dan Bandung untuk dijual kembali di Pasar Klewer Solo. Ketekunannya membuat Lukminto mampu membeli kios dan mendirikan pabrik tekstil di Semanggi, Solo, pada tahun 1972. Pada tahun 1982, ia mendirikan PT Sri Rezeki Isman, yang dikenal sebagai Sritex.
Pada 1992, pabrik Sritex di Sukoharjo diresmikan oleh Presiden Soeharto, yang menjadikan perusahaan ini pemasok utama seragam militer Indonesia, seragam instansi pemerintah, dan seragam batik KPRI. Sritex juga berhasil menembus pasar global dengan memasok seragam militer untuk negara-negara seperti Jerman, Austria, Swedia, dan bahkan NATO. Mereka juga menjadi pemasok bahan tekstil untuk merek fesyen global seperti Uniqlo, Zara, dan Timberland.
Pada 2013, Sritex melantai di Bursa Efek Indonesia dengan saham perdana seharga Rp240 per lembar. Performa finansial mereka sangat mengesankan. Pada 2019, laba bersih Sritex mencapai 87 juta USD, dengan ekspansi besar-besaran untuk memenuhi permintaan dari 30 negara.
Namun, kejatuhan Sritex dimulai pada tahun 2020 akibat pandemi COVID-19. Gangguan rantai pasokan global dan penurunan permintaan menyebabkan laba bersih turun menjadi 85,32 juta USD. Gaya hidup masyarakat berubah, di mana kebutuhan akan pakaian formal dan seragam menurun drastis karena banyak orang mulai bekerja dari rumah.
Selain pandemi, konflik geopolitik seperti perang Rusia-Ukraina turut memengaruhi pasar ekspor global, terutama di Eropa. Konsumen di Eropa mengalihkan prioritas mereka dari produk tekstil ke kebutuhan energi, sehingga permintaan menurun.
Pada 2021, penjualan Sritex anjlok hingga 33,93%, dan mereka mencatat kerugian sebesar 1,08 miliar USD (sekitar Rp15,66 triliun). Saham Sritex disuspensi oleh Bursa Efek Indonesia karena kondisi keuangan yang buruk, dan ancaman delisting mulai muncul. Perusahaan ini juga mengalami gugatan pailit pada tahun 2022, meskipun berhasil mencapai kesepakatan dengan kreditur untuk merestrukturisasi utang sebesar Rp2 triliun melalui proses PKPU.
Sayangnya, pada 2023, Sritex kembali kesulitan memenuhi kewajiban pembayaran, dengan total liabilitas membengkak menjadi 1,6 miliar USD (sekitar Rp24,4 triliun). Ekuitas perusahaan berada dalam posisi negatif, dan Sritex terpaksa melakukan PHK terhadap 3.000 karyawan. Jumlah karyawan yang tersisa kini hanya sekitar 10.000, jauh berkurang dari puncaknya yang mencapai 50.000 pada 2018.
Pada Agustus 2024, salah satu kreditur, PT Indo Bharat Rayon, mengajukan pembatalan kesepakatan PKPU. Pengadilan Negeri Niaga Semarang mengabulkan permohonan tersebut dan menyatakan Sritex pailit. Keputusan ini membuat industri tekstil heboh dan mendorong Presiden Prabowo untuk turun tangan.
Sritex adalah perusahaan dengan sejarah panjang dan kontribusi besar terhadap ekonomi nasional. Namun, penyelamatan perusahaan yang bermasalah akibat manajemen internal menimbulkan pertanyaan besar. Apakah tindakan pemerintah menyelamatkan Sritex adalah langkah yang bijak?
Menarik Untuk Dibaca : Bisnis F&B Tak Lekang Waktu
Tindakan bailout oleh pemerintah dapat menghindari PHK massal dan dampak sosial-ekonomi yang luas, tetapi berisiko menciptakan preseden buruk bagi perusahaan lain. Tanpa sanksi tegas terhadap manajemen yang lalai, hal ini bisa menjadi kebiasaan yang merugikan anggaran negara.
Langkah penyelamatan apa pun perlu mempertimbangkan restrukturisasi manajemen dan pengawasan yang lebih ketat agar masalah serupa tidak terulang di masa depan. Pemerintah harus mencari solusi terbaik dengan mempertimbangkan dampak ekonomi, sosial, dan stabilitas nasional.
Indonesia memiliki pasar domestik yang besar, namun sayangnya industri tekstil nasional masih menghadapi tantangan berat. Salah satu penyebabnya adalah membanjirnya produk impor murah yang harganya hingga 50% lebih rendah daripada produk lokal. Kondisi ini membuat permintaan terhadap tekstil lokal menurun drastis. Komisaris Utama Sritex, Iwan Setiawan, menyebut bahwa revisi Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 8 Tahun 2024 menjadi salah satu penyebab utama. Revisi ini menghapuskan persyaratan pertimbangan teknis (Pertek) dari Kementerian Perindustrian, sehingga produk impor masuk dengan lebih mudah. Akibatnya, industri tekstil dalam negeri mengalami tekanan berat, hingga November 2024, sudah ada 30 perusahaan tekstil yang bangkrut.
Meski demikian, Menteri Ketenagakerjaan RI, Yasiely, berpendapat bahwa akar masalah kebangkrutan Sritex justru terletak pada kelalaian manajemen dalam memitigasi risiko keuangan, terutama dalam pengelolaan utang. Ia menyoroti kasus PT Indo Bharat Rayon, kreditur kecil dengan piutang Rp100 miliar, yang memicu kepailitan karena kewajiban tersebut tidak segera dilunasi. Ekonom Universitas Indonesia, Fitra Faisal Hastiadi, menambahkan bahwa tekanan terhadap industri tekstil nasional telah berlangsung lebih dari satu dekade. Ia menilai kendala utama adalah tingginya biaya produksi akibat kenaikan upah tenaga kerja yang tidak sebanding dengan produktivitas serta sulitnya akses bahan baku murah karena regulasi impor yang ketat.
Di tengah kondisi ini, Sritex tetap beroperasi dengan jajaran manajemen, karyawan pabrik, hingga pedagang kompak mengenakan pita hitam bertuliskan “Selamatkan Sritex.” Langkah hukum juga ditempuh dengan mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, yang mendapat dukungan dari Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal. Ia mendesak agar kasasi dikabulkan untuk membatalkan status pailit Sritex.
Sementara itu, pemerintah terus memantau kondisi Sritex. Bea Cukai memastikan bahwa aktivitas ekspor-impor perusahaan tetap berjalan, sementara Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Airlangga Hartarto, menyatakan bahwa pemerintah akan berkoordinasi dengan kurator untuk mencari solusi. Salah satu opsi yang dipertimbangkan adalah pemberian pinjaman atau bailout untuk membantu melunasi utang Sritex. Namun, Said Iqbal menolak opsi ini dan menyarankan agar Sritex melanjutkan kesepakatan homologasi dengan kreditur. Ia juga meminta pemerintah bersikap adil terhadap semua perusahaan yang menghadapi kesulitan keuangan.
Kasus Sritex menjadi pelajaran penting bagi industri tekstil. Skala bisnis besar saja tidak cukup menjamin keberlangsungan usaha. Pemerintah mungkin dapat memberikan solusi jangka pendek, tetapi secara fundamental, perusahaan perlu berbenah. Manajemen keuangan yang buruk, ketergantungan pada pasar tertentu, dan kurangnya diversifikasi menjadi kelemahan yang harus segera diatasi.
Beberapa langkah yang bisa diambil oleh pelaku industri tekstil antara lain:
Memperkuat manajemen keuangan, termasuk pengelolaan utang dengan perencanaan risiko yang matang.
Diversifikasi produk dan pasar, menjajaki produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar saat ini dan mencari peluang baru, baik domestik maupun internasional.
Meningkatkan efisiensi operasional dengan adopsi teknologi industri 4.0, otomatisasi, dan data analitik untuk memangkas biaya dan meningkatkan produktivitas. Investasi pada keterampilan karyawan, sehingga perusahaan lebih siap beradaptasi dengan perubahan.
Dengan langkah-langkah ini, ditambah dukungan kebijakan pemerintah yang seimbang, industri tekstil dapat memiliki daya tahan yang lebih baik. Para pelaku industri harus lebih peka terhadap perubahan pasar dan berinovasi untuk tetap relevan. Jangan menunggu badai datang, mulailah bertransformasi agar tidak hanya bertahan, tetapi juga mampu berkembang dan memenangkan persaingan.
Menarik Untuk Ditonton : KEnapa HArus Jualan di TikTok ?
Mau Konsultasi?