Banyak brand owner selalu punya keinginan agar logonya terlihat lebih menonjol. Kalau kita berbicara dengan desainer grafis atau art director, mereka pasti sering mengalami perdebatan dengan brand owner atau manajemen pemasaran yang meminta agar logonya diperbesar dan lebih terlihat. Secara teori, ini masuk akal—jika ingin menjual produk, logonya harus terlihat agar produk mudah dikenali dan lebih gampang ditemukan di rak belanja. Bahkan bagi mereka yang belum mengenal logo, logo yang prominen membantu meningkatkan brand awareness karena eksposur yang lebih besar.
Namun, hal ini tidak berlaku untuk Sprite. Alih-alih memperbesar logo, Sprite malah memilih untuk menanggalkan label plastik di mana logonya tertulis. Hasilnya, Sprite hanya terlihat sebagai botol bening tanpa label, yang pasti lebih sulit dikenali. Memang ada logo dalam bentuk emboss di packaging-nya, tetapi tampilannya jauh dari kesan *stand out*. Jadi, mengapa Sprite melakukan ini?
Pertama, mereka mendukung program *less plastic waste* atau pengurangan sampah plastik. Meskipun sebagian besar botol PET yang digunakan oleh produsen minuman bisa didaur ulang, label plastik sering kali terlepas dari botolnya dan menjadi sampah yang sulit didaur ulang. Label plastik juga membuat proses daur ulang lebih sulit karena perlu dipisahkan terlebih dahulu.
Menarik Untuk Dibaca : Merumuskan Sasaran Target
Kepedulian Sprite terhadap isu lingkungan ini sangat relevan dengan generasi Z, yang menjadi segmen besar bagi produk Sprite. Generasi Z sangat peduli dengan isu lingkungan dan memiliki literasi yang tinggi terhadap dampak polusi. Kombinasi antara pengetahuan yang kaya dan kepedulian sosial membuat mereka lebih tertarik dengan brand yang mendukung isu lingkungan.
Selain isu lingkungan, langkah Sprite ini juga menjadi strategi untuk menguji keterkenalan brand mereka. Marketing VP Coca-Cola Eropa menyatakan bahwa ini adalah cara untuk melihat seberapa baik konsumen bisa mengenali Sprite tanpa logo dan label yang jelas. Meskipun tanpa label, di rak-rak supermarket, Sprite tetap bisa terlihat berbeda karena botolnya yang bening tanpa label memberikan kontras dibandingkan produk minuman lainnya.
Kita juga harus memahami bagaimana konsumen memproses informasi. Ada dua jenis perhatian: *top-down attention* dan *bottom-up attention*. Konsumen yang memang sudah mencari Sprite menggunakan *top-down attention*, di mana otak sudah memiliki gambaran tentang produk yang dicari, seperti botol putih bening dan label hijau hitam. Konsumen akan memindai rak dengan cepat untuk menemukan produk yang sesuai dengan gambaran tersebut.
Sementara itu, konsumen yang impulsif atau *window shoppers* menggunakan *bottom-up attention*, di mana mereka membiarkan otak memutuskan berdasarkan pemicu yang ditangkap tanpa gambaran spesifik. Botol Sprite tanpa label mungkin akan mencuri perhatian mereka karena kontrasnya dengan produk lain di rak.
Sprite berharap konsumen yang mencari produk mereka akan memiliki *wow factor* ketika menemukan produk tersebut meskipun tanpa label. Otak kita selalu mencoba memprediksi sesuatu, dan ketika prediksi tersebut dikejutkan dengan sesuatu yang tidak terduga (seperti botol Sprite tanpa label), perhatian akan meningkat. Akhirnya, konsumen mengingat pengalaman tersebut dan menjadi lebih terkesan.
Ada pelajaran penting yang bisa kita ambil dari pendekatan ini. Banyak brand membangun kesadaran merek mereka secara eksplisit dengan memperbesar logo atau headline. Namun, ada juga cara-cara implisit untuk membangun brand, seperti melalui warna, gaya desain, atau gaya fotografi. Contoh yang bagus adalah iklan-iklan IKEA atau Apple, di mana gaya fotografi dan desainnya memiliki kesamaan yang konsisten tanpa perlu logo besar.
Pendekatan branding yang implisit sering kali lebih kuat karena melibatkan lebih banyak indra, sehingga pesan brand dapat diproses dan dirasakan secara lebih mendalam. Ini mirip dengan mendefinisikan “flamboyan” atau “cool.” Meskipun sulit untuk mendeskripsikan secara konkret, kita bisa memberikan contoh orang seperti George Clooney atau Keanu Reeves untuk menunjukkan arti dari kata-kata tersebut.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Action Plan Bisnis
Dengan membangun brand secara implisit, produk atau brand bisa dikenali tanpa harus mengandalkan simbol-simbol yang eksplisit. Inilah yang dilakukan Sprite dengan menghilangkan label mereka. Brand Sprite tetap bisa dikenali, bahkan tanpa logo yang besar atau label yang mencolok, karena aset brand implisitnya sudah terbangun.
Namun, jika aset brand implisit tidak terbangun, akan sulit untuk mencapai pengenalan instan seperti yang diinginkan. Kita harus menunggu dan melihat apakah kampanye ini akan berhasil atau malah menjadi blunder.
Semoga kita bisa mengambil pelajaran penting dari cerita brand Sprite. Salam sukses, salam Satoeasa untuk Indonesia.
sumber : marketers tv
Mau Konsultasi?