Tips Marketing ~ Ekonomi dunia saat ini sedang gonjang-ganjing dan tidak dalam kondisi yang baik. Risiko terhadap daya beli konsumen dan peningkatan persaingan akibat perang dagang makin terasa. Salah satu pemicu utamanya adalah kebijakan Presiden Amerika, Donald Trump, yang mengumumkan kenaikan tarif pajak masuk terhadap banyak negara yang ingin mengekspor ke Amerika. Meski secara volume ekspor Indonesia ke Amerika tidak terlalu besar, efek domino yang muncul tetap bisa membahayakan. Salah satunya adalah menurunnya daya saing harga ekspor Indonesia karena tarif lebih mahal, dan yang tak kalah penting adalah efek dari meningkatnya persaingan di dalam negeri. Negara-negara yang terdampak oleh tarif ini akan mencari pasar baru, dan Indonesia dengan populasinya yang besar pasti menjadi target utama.
Bagi pemilik brand lokal di Indonesia, ini adalah kabar kurang menyenangkan. Karena persaingan yang sudah ketat akan makin berat. Padahal sebelum perang dagang ini pun kondisi ekonomi sudah melambat dan banyak perusahaan yang kesulitan mempertahankan performa. Lalu, sebagai marketer atau pemilik brand, apa yang harus dilakukan? Saya tidak ingin membahas solusi jangka pendek seperti efisiensi, penghematan, atau fokus ke aktivitas yang punya dampak langsung ke sales—karena saya yakin Anda sudah paham itu. Saya ingin berbagi hal yang lebih bersifat jangka panjang. Sesuatu yang sering terlupakan, namun justru penting untuk memperkuat fondasi agar ketika krisis seperti ini datang lagi, kita berada dalam posisi yang lebih siap.
Hal pertama yang perlu dilakukan adalah membangun brand. Ini mungkin terdengar klise dan normatif, apalagi di saat krisis. Banyak yang berpikir, “Ngapain bangun brand? Lagi susah, mending selamatin cash flow dulu.” Anggapan bahwa membangun brand hanya buang-buang uang memang tidak sepenuhnya salah, karena membangun brand memang butuh waktu dan biaya. Tapi masalahnya, yang berpikir seperti itu biasanya juga tidak membangun brand di masa normal. Jadi ini sebenarnya soal mindset—apakah Anda melihat brand sebagai investasi penting atau tidak?
Menarik Untuk Dibaca : 5 Tangga Bisnis
Lalu apa pentingnya brand saat kondisi sulit? Mari kita lihat kasus Bluebird ketika diserbu oleh Grab dan Gojek. Banyak yang mengira Bluebird akan hancur karena kalah harga dan kalah teknologi. Namun faktanya, Bluebird tetap bertahan. Reputasi dan nama besar Bluebird membuat mereka tetap menjadi standar bagi banyak konsumen. Bahkan meskipun layanan ride-hailing menawarkan tarif murah, konsumen tetap membandingkannya dengan Bluebird. Dalam benak mereka: “Kalau selisih harga tipis, mendingan naik Bluebird.” Di sisi lain, banyak perusahaan taksi lain yang harganya lebih murah justru tumbang karena tidak punya brand yang kuat.
Artinya, brand adalah pengungkit harga. Brand yang kuat bisa menentukan harga yang lebih tinggi, karena konsumen percaya pada reputasinya. Sebaliknya, brand yang lemah terpaksa bersaing di harga, dan ketika tekanan pasar makin besar, mereka yang akan lebih dulu tumbang. Sementara brand besar masih punya pilihan dan ruang untuk manuver, termasuk menurunkan harga jika perlu. Jadi justru di saat ekonomi sulit, brand besar lebih punya daya tahan dibandingkan brand kecil yang hanya mengandalkan harga.
Krisis juga selalu membawa peluang. Contohnya di industri perbankan. Dulu sulit sekali bagi bank baru untuk masuk ke pasar karena dominasi pemain lama. Tapi lihat Bank Mega, yang di masa krisis moneter 1998 justru gencar beriklan saat semua bank lain menahan diri. Hasilnya, mereka naik kelas dengan cepat. Ketika brand lain tarik rem, biaya iklan pun turun. Sehingga dengan biaya kecil, pesan kita terdengar lebih besar karena tidak banyak kompetitor yang bersuara. Ibarat pasar saham yang crash—ketika orang panik menjual, investor cerdas justru membeli karena tahu harga sedang diskon.
Lalu ada hal penting lainnya: Commercial Marketing. Ini topik besar yang bahkan bisa dibahas dalam satu episode tersendiri. Intinya, marketing hari ini harus lebih berpikir secara komersial. Tidak bisa lagi hanya sibuk bikin event, iklan, atau konten yang tidak bisa dijustifikasi hasilnya. Sudah tidak cukup hanya bilang, “Ini kan bangun awareness.” Sekarang, marketer harus bisa menjelaskan dampak konkret dari aktivitas mereka terhadap revenue.
Contohnya, jika kita bikin event senilai 5 miliar, tapi sales-nya cuma 1 miliar, apakah sisanya bisa dibenarkan hanya dengan alasan awareness? Apakah setelah event itu ada follow-up yang membuat awareness tersebut berkembang menjadi sesuatu yang lebih berdampak? Apakah ada plan lanjutan? Kalau tidak, berarti anggaran tersebut tidak efektif. Sama halnya ketika produksi konten atau iklan menghabiskan Rp500 juta, tapi budget placement hanya Rp200 juta. Ini seperti beli mobil sport miliaran rupiah hanya untuk ke warung ujung gang. Tidak sebanding antara alat dan penggunaannya.
Kesalahan umum lain dalam marketing adalah terlalu jatuh cinta pada solusi. Kita begitu semangat menjalankan satu ide, tanpa mengevaluasi apakah solusi ini benar-benar menjawab masalah yang ada. Misalnya, marketer dengan budget tahunan 12 miliar menghabiskan sepertiganya hanya untuk membayar satu KOL selama sebulan. Padahal tidak ada jaminan aktivitas itu akan memberikan dampak selama 3 bulan ke depan.
Marketing sekarang tidak bisa lagi sekadar bicara tentang spending dan output. Harus ada perhitungan komersial di dalamnya. Awareness tetap penting, tetapi semua aktivitas perlu diseimbangkan antara yang kuantitatif dan kualitatif. Dan itu hanya bisa dilakukan jika marketer punya pemahaman mendalam tentang marketing, bukan sekadar learning by doing. Kalau ilmunya matang, maka keputusan akan lebih bijak.
Selanjutnya adalah pemahaman tentang consumer behavior melalui data. Ini hal yang sering disebut tapi jarang dilakukan secara serius. Padahal, ini bagian dari cara mengurangi ketidakpastian. Kalau kita tahu siapa konsumen kita, seberapa sering mereka beli, apa yang mereka beli, dan apa yang bisa ditawarkan ke mereka lagi, maka kita bisa menyusun strategi yang lebih presisi.
Saya pernah mengalami kondisi ekstrem ketika bekerja di perusahaan yang harus memangkas budget marketing sebesar 92% dalam waktu enam bulan, tapi tetap ditargetkan menaikkan revenue dua digit tiap bulan. Caranya? Hanya dengan mengandalkan data konsumen yang dimiliki. Kami susun ulang strategi berdasarkan customer lifecycle, dan dorong mereka untuk belanja lebih sering, lebih banyak, dan bahkan ajak teman mereka. Semua dilakukan dengan biaya minim, tapi dengan pendekatan berbasis data yang tepat.
Kesimpulannya, jalankan bisnis seperti Anda menjalankan hidup. Kita diajarkan untuk punya dana darurat untuk menghadapi masa-masa sulit seperti sakit atau kehilangan pekerjaan. Begitu pula dalam bisnis, kita harus punya antisipasi. Seperti olahraga angkat beban yang bukan hanya untuk membentuk otot, tapi juga menyimpan energi untuk hari tua—brand dan data konsumen adalah tabungan kita untuk masa-masa krisis.
Tiga hal utama yang perlu dilakukan marketer dan brand owner untuk jangka panjang adalah: bangun brand, berpikir secara komersial, dan pahami konsumen melalui data. Mungkin ketiganya tidak menyelesaikan krisis hari ini, tapi mereka akan menyelamatkan Anda saat krisis berikutnya datang.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung BEP dan Target Omset
Mau Konsultasi?