Kita akan membedah sebuah buku yang berjudul Sebuah Seni untuk Bersikap Bodo Amat, karya Mark Manson. Buku ini terdengar nyeleneh, tapi justru bisa menjadi kunci untuk ketenangan batin dan kejelasan arah—terutama buat teman-teman yang sedang berada dalam fase pencarian.
Salah satu alasan kenapa “bodo amat” itu sulit adalah karena kita hidup di tengah mentalitas kerumunan. Banyak dari kita tanpa sadar hidup bukan sebagai diri sendiri, tapi sebagai salinan dari ekspektasi orang lain. Filsuf Arthur Schopenhauer pernah bilang, “Kita mengorbankan tiga perempat dari diri kita untuk menjadi seperti orang lain.” Kita memakai topeng supaya cocok dengan kelompok. Kita menahan pendapat supaya tidak dibilang aneh. Kita ikut tren supaya tidak merasa tertinggal. Inilah yang oleh para ahli disebut sebagai social proof dan konformitas.
Bahkan ketika kita tahu ada yang salah, tapi semua orang melakukannya, kita juga bisa ikut melakukannya. Eksperimen Solomon Asch membuktikan bahwa orang bisa mengubah jawabannya hanya karena takut berbeda sendiri. Dan di zaman digital, semua ini diperparah oleh FOMO, komentar netizen, dan algoritma yang membuat kita selalu mencari validasi.
Buat teman-teman yang sedang berjuang, tekanan ini terasa sangat nyata. Misalnya ketika teman-teman ingin resign dari kantor dan mulai usaha, tapi keluarga bilang, “Kamu terlalu nekat.” Atau kita ingin hidup lebih sederhana, tapi malah diledek karena dianggap tidak selevel lagi. Akhirnya hidup kita bukan lagi berdasarkan pilihan, tapi dalam tekanan.
Krishnamurti pernah mengingatkan, “Menyesuaikan diri dengan baik dalam masyarakat yang sakit bukanlah ukuran kesehatan.” Saya ulangi lagi: menyesuaikan diri dengan baik dalam masyarakat yang sakit bukanlah ukuran kesehatan. Pertanyaannya, apakah lingkungan kita saat ini sehat? Atau justru sedang membuat kita kehilangan diri sendiri?
Di sinilah buku Mark Manson ini jadi menarik. Sebab, “bodo amat” yang ia maksud bukan berarti tidak peduli sama sekali. Justru sebaliknya, ini adalah seni untuk peduli secara selektif. Kita hanya punya energi yang terbatas, jadi kita perlu bijak memilih: mau kita habiskan untuk mempertahankan gengsi, atau memperjuangkan nilai yang benar-benar penting? Manson bilang, kunci hidup yang tenang bukan sibuk peduli ke mana-mana, tapi bijak memilih apa yang layak dipedulikan.
Teman-teman, ini bukan ajakan untuk pasrah, loh ya, tapi ajakan untuk fokus. Fokus pada nilai yang bisa kita kendalikan. Fokus pada solusi, bukan pencitraan. Fokus pada tindakan, bukan validasi. Ia juga mengenalkan satu konsep menarik: The Backwards Law. Semakin kita mengejar pengalaman positif, semakin kita merasa kekurangan. Misalnya, semakin kita mengejar kekayaan, semakin kita merasa miskin. Tapi saat kita fokus memperbaiki hubungan, bekerja dengan jujur, dan hidup dengan sederhana, kebahagiaan justru datang sendiri.
Menarik Untuk Dibaca : Huawai Semakin Perkasa
Manson juga bilang bahwa kita ini tidak istimewa. Kedengarannya kasar, ya, tapi sebenarnya ini membebaskan. Karena di zaman digital ini, kita dibombardir pencapaian orang lain. Kita bisa merasa gagal hanya karena tidak viral, tidak terkenal, atau tidak luar biasa. Padahal, menjadi orang biasa yang hidup sesuai nilai itu justru luar biasa.
Jadi, teman-teman, enggak apa-apa kok jadi biasa, asal kita jujur dan bertanggung jawab atas hidup kita sendiri. Pertanyaannya sekarang: gimana sih caranya bisa belajar bodo amat dengan cara yang elegan dan bertanggung jawab? Bukan jadi masa bodoh, tapi jadi lebih jernih dan otentik. Mari kita uraikan satu per satu.
Pertama, ambil tanggung jawab penuh atas hidup kita. Banyak hal yang terjadi di luar kendali kita, tapi cara kita menanggapi itu sepenuhnya tanggung jawab kita. Kita mungkin tidak salah karena dilahirkan di keluarga sederhana atau gagal di bisnis pertama, tapi kita tetap bertanggung jawab atas langkah selanjutnya. Misalnya, Budi punya utang karena diajak bisnis oleh teman, tapi ternyata bermasalah. Dia bisa terus menyalahkan temannya, tapi apakah itu membantu? Yang bisa dia lakukan adalah mengambil alih hidupnya: mencatat semua utang, cari tambahan penghasilan, konsultasi dengan yang lebih paham. Tanggung jawab bukan soal menyalahkan diri, tapi soal merebut kembali kendali.
Kedua, berani menolak dan tidak ikut-ikutan. Dunia modern membuat kita takut kelihatan beda, takut dibilang “nggak update.” Padahal justru dalam keberanian menolak itulah kita bisa menemukan siapa diri kita. Misalnya, teman-teman tongkrongan Budi ngajak ikut arisan online berbunga. Tapi Budi bilang, “Maaf, saya lagi belajar menghindari sistem seperti itu.” Awalnya enggak enak, tapi dari situ Budi mulai dikenal punya prinsip. Bahkan salah satu temannya ikut tertarik belajar ekonomi syariah. Menolak bukan berarti menutup pintu sosial. Kadang justru bisa membuka ruang inspirasi.
Contoh lain, semua orang di medsos pamer gadget baru. Tapi Budi sadar itu bukan prioritasnya. Dia tetap pakai HP lamanya dan fokus melunasi utangnya. Jadi, enggak ikut flexing itu bukan kekalahan—justru kemenangan dalam diam.
Ketiga, prinsip lakukan saja. Banyak orang menunggu motivasi dulu untuk bertindak. Tapi Mark Manson bilang, aksi kecil melahirkan motivasi—bukan sebaliknya. Misalnya, Budi bingung mulai dari mana. Akhirnya dia mulai dari hal kecil: mencatat pengeluaran seminggu. Dari situ dia sadar ada tiga kebocoran yang bisa dihemat. Lalu, dia tawarkan skill desainnya ke grup WA alumni. Dapat orderan kecil, tapi cukup buat bayar listrik bulan itu. Aksi kecil itu seperti percikan api—bisa membakar semangat.
Keempat, renungkan kematian. Bukan untuk bikin sedih, tapi untuk menyadarkan bahwa hidup kita ini terbatas. Maka, apa sih yang sebenarnya penting? Contohnya, Budi biasanya gelisah karena belum punya rumah. Tapi sejak rutin ziarah ke makam ayahnya, dia sadar rumah sejati bukan yang berdinding bata—tapi kedamaian dalam hati dan hubungan yang baik dengan Allah serta keluarga. Sejak saat itu, hidupnya lebih tenang. Fokusnya bukan lagi pada bagaimana terlihat sukses, tapi bagaimana hidup dengan berkah. Renungan kematian ini membuat hal-hal sepele jadi tidak penting, dan hal-hal penting jadi sangat jelas.
Teman-teman, seni bodo amat ini bukan soal bersikap cuek. Tapi justru tentang berani mengambil tanggung jawab, punya nilai yang jelas, melangkah meski kecil, dan hidup dengan kesadaran bahwa waktu kita terbatas. Maka, jangan buang hidup kita untuk mengejar hal-hal yang tidak penting. Jangan habiskan energi untuk mencari validasi dari orang-orang yang bahkan tidak akan datang saat kita jatuh.
Di dunia yang penuh distraksi dan tekanan ini, seni bodo amat bukan tentang jadi acuh, tapi tentang menjaga hati agar tidak terkuras oleh hal-hal yang tidak layak. Dalam Islam, ada konsep yang sangat indah: zuhud. Ini bukan berarti anti dunia, tapi menaruh dunia di tangan, bukan di hati. Zuhud mengajarkan kita untuk tidak berlebihan mencintai yang fana, dan lebih mencurahkan pada apa yang abadi di sisi Allah.
Ini sejalan dengan pesan Mark Manson bahwa hidup akan jauh lebih jernih ketika kita tidak peduli terhadap hal-hal yang tidak penting, dan hanya memberi perhatian penuh pada yang bernilai hakiki. Fokuslah pada yang benar-benar penting: keluarga, keimanan, karya yang jujur, dan perjalanan yang mendekatkan kita kepada Allah. Karena kelak, bukan pendapat orang yang akan ditanya, tapi amal dan niat kita sendiri.
Enggak sendirian kok, teman-teman. Dan kita tidak harus sempurna untuk bisa berarti. Jadilah versi paling jujur dari diri teman-teman, karena itu lebih berharga daripada menjadi siapapun yang disukai semua orang.
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Mengembangkan Bisnis
Mau Konsultasi?