Nah, buat kalian yang bertanya-tanya apakah ini indikasi bahwa bisnis rokok di Indonesia sedang tidak sehat, atau penasaran gimana nasib saham yang kalian pegang, jangan skip video ini. Let’s check!
Gudang Garam dikenal sebagai salah satu produsen rokok nomor satu di Indonesia. Rokoknya katanya enak, terutama yang GP Filter. Gua sendiri bukan perokok, tapi banyak yang bilang kalau rokok itu favorit banyak orang. Tapi akhir-akhir ini banyak dari mereka yang biasa merokok GP Filter mulai berpindah. Kok bisa? Kenapa? Apakah ini ada hubungannya dengan kondisi keuangan Gudang Garam?
Laba bersih Gudang Garam turun lebih dari 80%. Di tahun 2023, perusahaan ini masih mampu mencetak laba bersih lebih dari Rp5 triliun. Tapi di tahun 2024, saat tutup buku, laba bersihnya hanya tersisa sekitar Rp900 miliar. Ngeri, kan? Mereka memang masih profit, tapi penurunannya sangat tajam. Apa penyebabnya?
Salah satu alasan utamanya adalah kenaikan cukai rokok yang sangat drastis. Dalam lima tahun terakhir, cukai rokok naik hingga 67%, artinya rata-rata naik sekitar 12% per tahun. Bayangkan, bisnis apa yang bisa bertahan kalau setiap tahun biaya cukainya naik terus? Misalnya, dari satu bungkus rokok seharga Rp40.000, setengahnya adalah cukai. Kalau harga naik terus, otomatis daya beli masyarakat turun dan jumlah pembeli pun berkurang.
Tidak heran, jika dibandingkan dengan tahun sebelumnya, penjualan rokok Gudang Garam juga anjlok. Di tahun 2024, Gudang Garam hanya mampu menjual 53 miliar batang rokok, sedangkan di tahun 2023 mereka menjual lebih dari 61 miliar batang. Artinya ada penurunan lebih dari 8 miliar batang. Kalau satu batang rokok dihargai seribu rupiah saja, maka penurunan ini setara dengan potensi kehilangan omzet sebesar Rp8 triliun.
Menarik Untuk Dibaca : Intel Ditinggal Investor
Dengan penjualan yang anjlok, otomatis stok rokok di gudang menumpuk. Jika ini terus berlanjut, maka Gudang Garam tidak akan sanggup, bahkan tidak realistis, untuk membeli lebih banyak tembakau dari para petani. Ini yang menyebabkan banyak laporan dari pusat produksi tembakau di Jawa Tengah—terutama di Temanggung—yang mengatakan bahwa petani-petani tembakau gagal menjual hasil panennya ke Gudang Garam.
Biasanya, saat panen raya tembakau, banyak petani di daerah tersebut mendapat rezeki besar: mereka bisa ganti motor, beli kulkas, bahkan nambah istri. Tapi tahun ini berbeda. Justru mereka yang harus datang ke gudang membawa tembakau mereka, dan sayangnya seringkali ditolak. Alasannya jelas: stok di gudang sudah penuh karena rokok tidak laku di pasaran.
Sekadar info, Temanggung memproduksi sekitar 11.000 ton tembakau setiap tahunnya, dan sekitar 8.000 ton diserap oleh Gudang Garam. Jadi lebih dari 70% produksi mereka tergantung pada satu pabrik besar. Penolakan dari Gudang Garam tentu menciptakan efek domino. Petani kehilangan pasar, dan panen tembakau mereka akhirnya kembali membanjiri pasar bebas.
Harga tembakau pun makin anjlok. Dahulu harga tembakau bisa mencapai Rp100.000/kg, sekarang hanya tinggal sekitar Rp20.000/kg. Gudang Garam pun sedang menanggung risiko lain: mereka terlanjur menyimpan stok tembakau dengan harga yang tinggi, sementara harga pasar kini jatuh.
Dalam kondisi ini, muncul ancaman baru: rokok ilegal. Karena suplai tembakau di pasar menjadi banjir, harga menjadi murah. Ini justru menguntungkan pabrik-pabrik rokok kecil dan ilegal, yang bisa membeli bahan baku dengan harga sangat rendah dan tetap menjual dengan margin tinggi.
Jadi, bagi kalian yang berpikir bahwa perusahaan akan untung karena berhenti menyerap bahan baku, kenyataannya tidak sesederhana itu. Ini menciptakan lingkaran setan yang bisa merugikan banyak pihak—dari perusahaan, petani, sampai pemerintah yang kehilangan potensi pendapatan dari cukai.
Over Supply dan Lingkaran Setan Tembakau
Over supply tembakau di pasar menciptakan dampak yang serius. Hukum ekonomi sederhana: semakin banyak supply, harga akan turun. Sekarang, banyak produsen rokok kecil dan pabrik-pabrik rokok ilegal yang justru berpesta pora karena mereka bisa mendapatkan bahan baku dengan harga yang jauh lebih murah. Ini menciptakan lingkaran setan. Kenapa? Karena Gudang Garam sudah terlanjur belanja tembakau dengan harga mahal, berharap bisa menjual rokok di harga yang tinggi. Tapi kenyataannya, pasar justru dibanjiri produk rokok dari pabrikan kecil yang jauh lebih murah. Akibatnya, produk Gudang Garam jadi tidak kompetitif.
Aksi Gudang Garam yang menolak membeli tembakau dari petani justru memperburuk keadaan. Stok tembakau di pasar makin menumpuk, dan harga tambah nyungsep. Harga tembakau yang dulu bisa mencapai Rp100.000 per kg, sekarang tinggal Rp20.000. Petani kecil jadi korban utama dari sistem ini. Dan ketika pabrik besar seperti Gudang Garam mulai me-reject hasil panen petani, harga tembakau otomatis makin jatuh.
Kenapa Gudang Garam Bisa Sampai Separah Ini?
Pertanyaan besar pun muncul: kenapa Gudang Garam bisa sampai separah ini? Sebelumnya kita sudah bahas kasus serupa di video tentang saham Sampoerna. Saat itu, saya bilang harga sahamnya bisa jatuh dari Rp3.000 ke Rp900, bahkan bisa sampai Rp600. Banyak yang tidak percaya, tapi sekarang sudah terbukti. Sahamnya sempat menyentuh Rp900, lalu naik sedikit ke Rp1.000 karena berbagai isu yang digoreng. Tapi faktanya tetap sama. Menurut saya, bahkan saya dulu masih terlalu optimis. Sampoerna bisa jatuh lebih dalam lagi, ke Rp600. Dan saya yakin itu akan terjadi pada 2025, yang tinggal beberapa bulan lagi.
Video ini akan jadi catatan perjalanan investasi Benix. Saya sudah meramal kejatuhan Sampoerna dari Rp4.000 ke Rp900. Sekarang saya bilang lagi: saham ini kemahalan. Hanya orang yang tidak paham saja yang masih beli di harga sekarang. Prediksi saya: akan jatuh lagi ke Rp600. Kita buktikan nanti.
Krisis Global dan Ancaman Ekonomi Dunia
Guys, tunggu dulu. Ada berita yang sangat gawat. Dunia sedang tidak baik-baik saja. Perang di Yaman dan Selat Hormuz berpotensi mengganggu jalur energi global. Iran perang dengan Israel, dan konflik Rusia-Ukraina juga belum selesai. Di saat yang sama, negara-negara juga sedang dilanda krisis ekonomi. Inflasi tinggi terjadi di mana-mana. Kebijakan fiskal Amerika Serikat juga makin tidak jelas. Di Indonesia, utang negara makin besar, bukan makin kecil. Harga minyak pun diprediksi naik tinggi, dan ini bisa menekan nilai tukar rupiah.
Dengan kondisi seperti ini, sebagai investor cerdas, kita harus mengambil keputusan yang tepat. Jangan biarkan uangmu habis dimakan inflasi. Jadilah investor yang tahu arah dan punya pegangan.
Evolusi Bisnis Rokok Konvensional
Faktanya, bisnis rokok konvensional sedang mengalami evolusi. Dulu orang ramai merokok kretek racikan manual yang mahal. Sekarang sudah berubah. Rokok buatan mesin mengambil alih. Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi pilihan karena efisiensi tenaga kerja. Tapi, bahkan model ini pun sekarang tertekan karena perubahan tren pasar, regulasi cukai, dan tekanan kompetitor—baik legal maupun ilegal.
Evolusi Industri Rokok dan Tantangan Baru
Itulah evolusi berikutnya dari bisnis rokok. Tapi sekarang, sudah muncul evolusi selanjutnya. Banyak orang mulai beralih ke vape karena dianggap lebih murah dan kabarnya lebih sehat. Selain itu, karena harga rokok semakin mahal, sebagian orang memilih untuk tidak membeli rokok bermerek. Mereka mulai melinting sendiri alias rokok tingwe (ngelinting dewe). Lahirnya generasi rokok tingwe ini menjadi tren baru. Tak hanya itu, muncul juga rokok-rokok murah yang semakin menjamur dengan harga mulai dari Rp2.000 hingga Rp16.000. Persaingannya pun sangat brutal.
Lebih gila lagi, di tengah persaingan ini, beredar pula rokok-rokok ilegal yang sama sekali tidak membayar cukai. Perlu diingat, meskipun rokok tingwe dan rokok murah masih membayar cukai, rokok ilegal benar-benar tidak bayar pajak sama sekali. Otomatis, harganya jauh lebih kompetitif. Ini menjadi salah satu faktor utama yang memengaruhi turunnya penjualan Gudang Garam.
Penurunan Omzet dan Dampak Sistemik
Fakta lainnya, bukan cuma profit Gudang Garam yang anjlok dari belasan triliun ke 800-an miliar, tapi juga omzet mereka ikut turun. Biasanya omzet Gudang Garam berada di atas Rp100 triliun, bahkan sempat mencapai Rp118 triliun. Kini tersisa hanya Rp98 triliun. Kalau omzet berkurang, wajar jika profit juga ikut berkurang. Kondisi ini menciptakan ancaman sistemik. Jika makin banyak pabrik besar kolaps, maka makin banyak petani tembakau yang menderita karena tidak punya pilihan pembeli lain. Mereka terpaksa menjual ke tengkulak atau pabrik kecil yang menawar dengan harga sangat murah. Alhasil, harga tembakau makin anjlok dan ini justru merugikan pabrik besar seperti Gudang Garam sendiri.
Perubahan Perilaku Konsumen yang Tak Terbaca
Tapi bukan hanya soal harga atau persaingan pasar. Ada satu hal yang gagal dibaca oleh manajemen Gudang Garam—sesuatu yang justru sudah lama disadari oleh kompetitor mereka seperti Sampoerna dan Djarum. Yaitu: kebiasaan orang merokok telah bergeser. Mengapa orang merokok? Karena mereka mencari rasa nyaman dan rileks. Secara saintifik, rokok menghasilkan hormon kebahagiaan seperti endorfin dan dopamin. Dulu, hormon ini sulit didapat. Tapi sekarang? Di era digital, orang bisa mendapatkan “dopamin kick” dari media sosial, game online, dan hiburan di layar ponsel. Dengan biaya jauh lebih murah dibanding beli rokok, orang bisa mendapatkan candu serupa dari TikTok, Instagram, YouTube, atau Mobile Legends.
Rokok vs Gadget: Siapa yang Menang?
Ini adalah realitas baru. Kompetitor utama industri rokok hari ini bukan lagi sesama produsen rokok, tapi perusahaan teknologi dan media digital. Anak muda sekarang makin sadar akan kesehatan. Kalau pun mereka masih merokok, besar kemungkinan bukan lagi rokok konvensional, melainkan smokeless tobacco seperti vape. Saya sering diundang mengisi kelas di kampus-kampus di berbagai wilayah Indonesia. Saat saya tanya: “Siapa yang masih merokok di sini?”, hampir tak ada yang angkat tangan. Generasi muda sudah tidak melihat rokok sebagai kebutuhan seperti generasi sebelumnya.
Strategi Kompetitor: Djarum dan Sampoerna Baca Arah Zaman
Djarum bisa dibilang sangat jenius. Jauh sebelum industri rokok kolaps, mereka sudah berinvestasi di berbagai sektor. Mereka masuk ke media seperti Kaskus, Mola TV, bahkan ke e-commerce seperti Blibli dan Tiket.com. Mereka juga punya layanan kesehatan digital seperti Halodoc, hingga sektor perbankan lewat BCA. Bahkan infrastruktur seperti menara telekomunikasi pun mereka miliki melalui Sarana Menara Nusantara. Mereka sadar, jika orang butuh dopamin murah, maka bisnis yang menyediakan koneksi data dan hiburan visual akan jadi pemenangnya. Mereka mempersiapkan diri lebih awal.
Sampoerna juga demikian. Mereka menjual kepemilikan bisnis rokoknya ke Philip Morris dan melakukan diversifikasi. Mereka punya Sampoerna Strategic Square (properti), Sampoerna Agro (perkebunan), Sampoerna Foundation (pendidikan dan sosial), hingga Sampoerna Sahabat Foundation (keuangan). Bahkan, konon, mereka juga memiliki saham di bisnis judi online besar di Eropa.
Gudang Garam: Tertinggal dalam Diversifikasi
Lalu, bagaimana dengan Gudang Garam? Sayangnya, diversifikasi bisnis mereka jauh tertinggal. Ketika yang lain merambah ke sektor digital dan global, Gudang Garam malah membangun bandara. Bandara Dhoho di Kediri yang digadang-gadang mampu menampung 1,7 juta penumpang per tahun, ternyata hanya dikunjungi sekitar 14.000 penumpang per tahun. Sebuah investasi besar yang sayangnya sepi dan belum menunjukkan hasil maksimal.
Bandara Sepi dan Sindiran untuk Manajemen Gudang Garam
Lebih ramai Terminal Kampung Rambutan, Guys, dibanding bandara yang dibangun oleh Gudang Garam. Ini sesuatu yang ironis dan menghibur—bahkan mungkin bisa dibilang kualitas hiburannya kalah sama Sri Mulat jika dibandingkan dengan kualitas manajemen Gudang Garam. Bisa-bisanya membangun bandara dengan kapasitas besar tapi sepi bak kuburan. Luar biasa. Tapi ya sudahlah. Video ini bukan untuk merekomendasikan beli atau jual saham Gudang Garam.
Cukai, Negara, dan Dilema Moral Bisnis Rokok
Satu hal yang harus kita cermati adalah, bisnis rokok itu bisnis besar. Pemerintah mendapatkan pendapatan sangat besar dari sana. Tapi pertanyaannya: lu sendiri mendukung atau tidak bisnis rokok? Setuju enggak sih kalau cukai rokok terus dinaikkan? Karena dampaknya sangat terasa—banyak pabrik rokok goyang karena market mereka hilang, penjualan menurun, laba ikut anjlok.
Sebagian orang mungkin senang dengan kondisi itu, sebagian lagi merasa kasihan. Tapi perlu diingat, meskipun cukai menghasilkan pemasukan besar—pada tahun 2024 mencapai Rp230 triliun—negara juga harus menanggung kerugian besar akibat dampak kesehatan dari rokok. Biaya pengobatan penyakit yang berhubungan langsung dengan rokok, seperti kanker paru, stroke, dan penyakit jantung, ditanggung BPJS dan mencapai Rp600 triliun per tahun. Ini belum termasuk kerugian produktivitas karena kehilangan sumber daya manusia yang masih muda dan potensial.
Rokok: Akses Dopamin Murah untuk Orang Miskin
Fakta lainnya, mayoritas konsumen rokok berasal dari kalangan menengah ke bawah. Mereka tidak punya uang untuk berlibur ke luar negeri atau nonton bioskop, tapi mereka masih bisa beli rokok seharga Rp500 atau Rp1.000. Di situlah rokok menjadi sumber dopamin murah. Namun, pada saat yang sama, kita harus memikirkan dampaknya terhadap keuangan negara dan kesehatan masyarakat. Jadi, apakah benar negara untung dari rokok? Tidak. Secara fiskal dan sosial, negara justru rugi besar.
Saham Gudang Garam: Ramalan dan Realitas
Sekarang, kita masuk ke saham Gudang Garam. Hari ini harganya Rp9.000. Prediksi saya, dalam satu tahun ke depan, harganya bisa jatuh ke Rp6.000. Kenapa? Karena mereka sudah overstock. Mereka membeli tembakau dalam jumlah besar saat harga masih tinggi—bahkan sampai Rp100.000 per kg. Padahal sekarang harga tembakau ada yang hanya Rp10.000 per kg. Artinya, mereka akan terpaksa menjual produk dengan harga tidak kompetitif. Satu-satunya yang bisa menyelamatkan hanyalah konsumen yang sangat loyal terhadap rasa rokok Gudang Garam.
Strategi Bertahan: Diversifikasi dan Produk Murah
Kalau Gudang Garam mau bertahan, mereka harus melakukan diversifikasi seperti yang dilakukan Djarum dan Sampoerna. Atau, kalau tetap ingin main di bisnis rokok, mereka harus berani bersaing di pasar rokok murah. Keluarkan produk rokok di bawah Rp15.000 dengan kualitas sebaik GP Filter. Tanpa itu, mereka akan kesulitan bertahan menghadapi kompetitor dan pasar yang terus berubah.
Rekam Jejak Prediksi dan Tantangan Ke Depan
Dulu saya pernah memprediksi harga Unilever akan jatuh di bawah Rp3.000, dan hari ini terbukti—sekarang harganya di kisaran Rp1.000-an. Saya juga sempat bilang harga HMSP akan jatuh dari Rp3.000 ke bawah Rp900, dan hari ini sudah di angka Rp600. Sekarang pertanyaannya: apakah prediksi saya tentang saham Gudang Garam akan jadi kenyataan? Apakah harga Rp6.000 itu masih terlalu mahal?
Pada akhirnya, semua bergantung pada keputusan manajemen Gudang Garam. Apakah mereka bisa membuat keputusan yang logis dan adaptif? Atau justru mereka tetap stagnan, tidak melihat perubahan zaman, dan gagal bersaing di pasar yang terus bergerak?
Menarik Untuk Ditonton : Mendesain Model Bisnis
Mau Konsultasi?