Semua bermula di sebuah kosan di Bandung pada tahun 2010. Tiga mahasiswa ITB, yaitu Ahmad Zaky, Nugroho Herucahyono, dan Fajrin Rasyid, mempunyai sebuah visi besar: membantu UMKM Indonesia go digital. Pada saat itu, jualan online masih terasa asing di Indonesia, dan mereka ingin membuat platform yang bisa memberdayakan pelaku UMKM. Bukalapak lahir sebagai marketplace yang lebih fokus pada pedagang kecil, berbeda dengan e-commerce besar lainnya yang lebih condong ke brand ternama. Target Bukalapak adalah warung, pengrajin, dan pebisnis rumahan.
Namun, perjalanan awal Bukalapak tidaklah mudah. Saat pertama kali diluncurkan, mereka kesulitan menarik perhatian pelaku UMKM dan pembeli karena budaya belanja online masih belum populer di Indonesia. Para founder Bukalapak sendiri harus door to door meyakinkan para pedagang kecil untuk bergabung. Di sisi lain, masalah teknis juga menjadi tantangan besar. Dengan tim yang kecil dan dana yang terbatas, mereka harus membangun sistem yang stabil, menangani transaksi, dan memastikan keamanan platform.
Perlahan tapi pasti, Bukalapak mulai dikenal dan semakin banyak UMKM yang bergabung. Masyarakat pun mulai percaya dengan konsep belanja online, dan dari sinilah Bukalapak mulai berkembang pesat. Di puncak kejayaannya, Bukalapak mencapai status unicorn dengan valuasi sekitar 7,5 miliar dolar setelah IPO pada tahun 2021. Investasi besar dari Ant Financial, GIC, dan berbagai investor lainnya semakin memperkuat posisi Bukalapak di pasar, membuatnya mampu bersaing ketat dengan Tokopedia dan Shopee.
Menarik Untuk Dibaca : Omset 100 Juta Moda AI
Keberhasilan ini didorong oleh berbagai inovasi seperti gratis ongkir, cashback, serta sistem pembayaran fleksibel yang menarik lebih banyak pengguna. Bukalapak juga meluncurkan fitur-fitur unggulan seperti BukaReksa untuk investasi reksa dana, BukaEmas untuk jual beli emas digital, serta BukaModal yang memberikan akses permodalan bagi pelaku UMKM. Selain itu, strategi pemasaran Bukalapak juga sangat agresif. Mereka aktif dalam iklan besar-besaran yang menarik perhatian masyarakat luas. Salah satu iklan paling ikonik di TV adalah lagu “Jadi Gila Jiwa Sakit” yang sukses viral dengan konsep unik dan berani. Iklan ini memperkuat citra Bukalapak sebagai e-commerce yang dekat dengan anak muda dan masyarakat luas.
Ekspansi Bukalapak juga tak terbatas pada marketplace. Mereka meluncurkan Mitra Bukalapak yang membantu warung-warung tradisional bertransformasi secara digital, memungkinkan mereka menjual pulsa, token listrik, hingga produk grosir secara online. Berbagai inovasi inilah yang menjadikan Bukalapak bukan hanya sekadar marketplace, tetapi juga ekosistem digital yang luas dan berpengaruh di Indonesia.
Namun, perjalanan Bukalapak tidak selamanya mulus. Masalah mulai muncul ketika persaingan semakin ketat. Shopee dengan strategi bakar duit serta promosi agresifnya makin menarik pengguna, sementara Tokopedia dengan dukungan Gojek semakin mendominasi pasar. Bukalapak kesulitan bertahan di tengah persaingan yang semakin sengit.
Kesalahan strategi juga menjadi faktor besar. Bukalapak terlalu fokus pada ekspansi dan inovasi produk finansial seperti BukaReksa dan BukaEmas, tetapi kurang memperhatikan pengalaman pengguna di marketplace utamanya. Banyak fitur yang dirilis tidak cukup menarik perhatian, sementara Shopee dan Tokopedia terus meningkatkan layanan dengan menambah variasi produk.
Masalah internal pun semakin memperburuk keadaan. Pergantian kepemimpinan pada 6 Januari 2020, dengan mundurnya Ahmad Zaky sebagai CEO, membuat arah strategi perusahaan menjadi kurang jelas. Kepercayaan investor menurun, berdampak pada harga saham Bukalapak setelah IPO. Akibatnya, Bukalapak semakin kesulitan bersaing dengan kompetitor yang memiliki pendanaan lebih stabil.
Akhirnya, meskipun memiliki berbagai inovasi, Bukalapak mulai kehilangan pangsa pasarnya. Pada 9 Februari 2025, Bukalapak secara resmi mengumumkan penutupan layanan marketplace produk fisik mereka. Keputusan ini mengejutkan banyak pihak, mengingat Bukalapak pernah menjadi salah satu pemain utama e-commerce di Indonesia.
Alasan di balik keputusan ini adalah persaingan yang semakin ketat. Shopee dengan strategi subsidi dan promosi besar-besaran berhasil menarik lebih banyak pengguna, sementara Tokopedia semakin kuat setelah merger dengan Gojek. Bukalapak kesulitan mempertahankan daya saingnya dalam ekosistem marketplace tradisional. Selain itu, model bisnis marketplace produk fisik dianggap tidak lagi menguntungkan bagi Bukalapak.
Mereka akhirnya memutuskan untuk fokus ke layanan digital seperti penjualan pulsa, token listrik, pembayaran tagihan, serta memperkuat ekosistem Mitra Bukalapak yang berorientasi pada digitalisasi warung dan UMKM. Dengan strategi ini, Bukalapak berharap dapat bertahan dan berkembang dalam lanskap bisnis digital yang terus berubah.
Kisah kejatuhan Bukalapak bisa menjadi pelajaran penting dalam dunia bisnis: inovasi dan strategi yang tepat adalah kunci bertahan. Jika tidak mampu beradaptasi, bahkan raksasa pun bisa tumbang. Jadi, apakah kamu pernah menggunakan Bukalapak untuk berbelanja atau berjualan?
Menarik Untuk Ditonton : Strategi Memberi Diskon Yang Ampuh
Mau Konsultasi?