Demikian pula pasar fashion seperti Tanah Abang, Mangga Dua, Pasar Baru, dan Cempaka Mas, yang tidak lagi seramai dulu. Meskipun masa depan bisnis ritel tradisional belum bisa dipastikan, jelas bahwa sektor ini menghadapi tantangan berat.
Untuk memahami kondisi ini, mari kita identifikasi tantangan utama yang dihadapi oleh peritel tradisional. Pertama, dari segi sifat bisnis, ritel memiliki tantangan unik.
Dalam episode sebelumnya, pernah dibahas bahwa ritel, khususnya grosir, memiliki kompleksitas yang sangat tinggi, dengan banyak detail yang harus diperhatikan.
Selain itu, produk yang dijual oleh ritel bukanlah produk milik mereka sendiri, sehingga sulit untuk menciptakan keunggulan dari segi produk. Misalnya, produk yang dibeli di toko A dan toko B mungkin sama, berasal dari pemasok yang sama, dan merek yang sama. Untuk membedakan diri, peritel harus membangun nilai lebih melalui aspek lain, seperti layanan, harga, atau distribusi.
Tantangan pertama adalah dari sisi harga. Offline retail tradisional cenderung kesulitan bersaing dalam hal harga, terutama dengan pemain online yang sangat kompetitif. Pemain online biasanya memiliki daya tawar yang kuat terhadap pemasok karena volume penjualannya yang besar.
Menarik Untuk DIbaca : Transformasi Bisnis IBM
Dengan volume tersebut, mereka bisa meminta dukungan promosi dari pemilik merek, yang biayanya seringkali ditanggung oleh pihak merek. Selain itu, biaya promosi dapat dibagi antar berbagai kategori produk yang dijual dalam platform tersebut. Volume ini juga memungkinkan mereka bekerja sama dengan mitra pembayaran untuk mendapatkan dukungan promosi. Hal ini sulit dilakukan oleh peritel tradisional dengan skala kecil.
Tantangan kedua adalah akses ke data konsumen. Pemain online memiliki data pembelian konsumen yang kaya, sehingga mereka bisa menganalisis kapan dan apa saja yang dibeli oleh konsumen.
Dengan data ini, mereka bisa melakukan subsidi silang antar transaksi, yang memungkinkan mereka menjual dengan harga lebih rendah pada transaksi awal dengan harapan konsumen akan kembali untuk pembelian selanjutnya. Hal ini sulit diakses oleh peritel tradisional yang umumnya belum memiliki infrastruktur pengelolaan data yang serupa.
Tantangan ketiga adalah traffic atau kunjungan. Platform online sangat mudah diakses kapan saja dan di mana saja, menawarkan kemudahan yang menarik bagi konsumen. Konsumen cenderung lebih memilih berbelanja online untuk pembelian berulang karena tidak perlu melakukan pengecekan ulang terhadap produk yang sudah pernah dibeli. Selain itu, bagi konsumen yang sibuk dan tidak punya waktu untuk berbelanja langsung, online menjadi pilihan yang lebih praktis.
Tantangan keempat adalah pengalaman belanja yang lebih menyeluruh dan terintegrasi secara online. Pengalaman belanja online tidak memiliki jeda perjalanan (broken journey), karena semua informasi produk, dari deskripsi hingga ulasan, tersedia di satu tempat.
Konsumen bisa mengecek informasi produk di Google, YouTube, atau platform lainnya, yang memungkinkan mereka untuk memiliki pemahaman lebih baik sebelum membeli. Hal ini sulit ditiru oleh peritel offline yang rentan dengan adanya jeda atau gangguan dalam perjalanan belanja konsumen.
Meski tantangan yang dihadapi ritel tradisional sangat besar, mereka dapat mencoba mengatasi hambatan ini dengan menciptakan pengalaman belanja yang lebih menarik dan membangun nilai tambah yang tidak dimiliki oleh peritel online.
Online retail memiliki keunggulan dalam seamless journey, di mana konsumen bisa langsung melihat informasi produk, mempertimbangkannya, dan melakukan transaksi dalam satu platform yang sama. Dari sisi ini, proses dari tahap pertimbangan (consideration) hingga pembelian (purchase) menjadi lebih lancar dibandingkan offline, terutama karena pengaruh informasi produk yang lebih komprehensif tersedia.
Tantangan utama bagi peritel tradisional adalah menyediakan informasi produk (product knowledge) yang memadai untuk memengaruhi keputusan konsumen, yang biasanya jarang ditemukan dalam offline retail.
Kemudian, tantangan lain adalah jaringan dan brand. Konsumen modern cenderung mencari solusi yang praktis. Mereka semakin sibuk, sehingga semakin tidak ingin repot membandingkan opsi satu per satu. Ini terlihat dari dominasi bengkel resmi, serta ritel besar seperti Indomaret dan Alfamart, yang lebih dipercaya dibandingkan toko kecil atau kelontong.
Konsumen lebih memilih tempat yang sudah memiliki brand atau jaringan yang mapan, seperti Erafone dan Samsung untuk produk gadget, yang menawarkan jaminan standar kualitas. Di sisi lain, peritel tradisional yang tidak memiliki brand ternama lebih sulit bersaing, terutama karena nama mereka tidak membawa makna atau reputasi yang kuat di mata konsumen.
Selain itu, ada faktor keamanan. Online retail memiliki sistem escrow, di mana uang konsumen ditahan oleh platform sampai barang diterima dengan baik. Sistem ini mengurangi risiko penipuan dan meningkatkan kepercayaan. Di offline retail, meskipun ada interaksi tatap muka dan produk bisa dicek langsung, masih banyak kasus di mana konsumen merasa tertipu tanpa adanya garansi atau jaminan pengembalian uang.
Transparansi juga menjadi tantangan besar bagi peritel offline. Di platform online, harga yang ditawarkan umumnya sudah final, tanpa tawar-menawar, sehingga cenderung lebih kompetitif. Sebaliknya, peritel offline sering kali memberikan harga yang bisa ditawar, namun terkadang cenderung melebihkan harga awal, berharap konsumen kurang mengetahui harga pasar.
Namun, di era digital ini, konsumen bisa dengan mudah membandingkan harga di gadget mereka dan jika menemukan harga yang lebih murah secara online, konsumen kemungkinan besar akan memilih berbelanja di sana. Ini membuat praktik harga berlebihan menjadi hal yang fatal bagi peritel offline.
Kendala lain adalah ulasan atau review. Di platform online, review produk dari konsumen lain bisa sangat membantu dan dipercaya karena berasal dari konsumen sesungguhnya tanpa kepentingan tersembunyi.
Pedagang offline yang tidak memerhatikan kualitas produk atau mendorong penjualan barang dengan margin tinggi (meski kurang berkualitas) bisa kehilangan kepercayaan konsumen karena lebih mementingkan keuntungan daripada kepuasan pembeli.
Untuk menghadapi tantangan ini, peritel tradisional perlu berinovasi agar tetap kompetitif. Pertama, mereka perlu menemukan keunggulan kompetitif, baik dalam produk, layanan, atau pengalaman belanja.
Kedua, penting untuk memberikan penjelasan produk secara menyeluruh, misalnya dengan bantuan multimedia atau konten informatif yang bisa memudahkan konsumen memahami produk yang ditawarkan. Ketiga, membangun brand yang lebih dari sekadar nama dan logo.
Brand harus bermakna dan diingat oleh konsumen. Keamanan transaksi juga perlu diperhatikan agar konsumen merasa aman dan nyaman. Terakhir, peritel offline sebaiknya menghindari taktik harga yang menipu.
Transparansi harga sangat penting di era informasi yang mudah diakses; jika konsumen merasa dikecewakan, mereka akan kapok dan enggan berbelanja kembali. Semoga usaha kita terus berkembang dan bisa bermanfaat untuk orang lain.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membuat Action Plan
Mau Konsultasi?