

Beberapa tahun belakangan ini, ekonomi Indonesia diduga mengalami perlambatan yang cukup signifikan. Kondisi ini membuat banyak pekerja di berbagai brand mengeluhkan menurunnya penjualan dan sulitnya mencapai target revenue. Dalam situasi seperti ini, perusahaan tentu harus memutar otak untuk mempertahankan profitabilitas agar tetap bertahan hingga kondisi ekonomi membaik. Namun, di tengah berbagai strategi efisiensi yang ditempuh, terdapat sejumlah langkah berisiko tinggi yang sebaiknya dihindari karena dapat merusak brand dalam jangka panjang.
Melambatnya ekonomi yang telah terjadi selama beberapa tahun terakhir bukanlah fenomena sementara yang mudah diatasi. Banyak brand yang kini mengeluhkan sepinya pembeli. Sejumlah pejabat pemerintah, seperti Menteri Keuangan maupun Ketua OJK, juga menegaskan bahwa kondisi ekonomi masyarakat tengah sulit.
Sebagai respons, banyak perusahaan mulai melakukan efisiensi, dan sering kali divisi marketing menjadi sasaran utama pemangkasan karena dianggap memiliki anggaran besar. Pemotongan anggaran pemasaran, pengurangan karyawan, hingga modifikasi produk dan strategi marketing mix menjadi langkah yang umum dilakukan. Namun, tidak semua strategi efisiensi aman bagi keberlangsungan brand. Beberapa justru dapat menimbulkan dampak jangka panjang yang merugikan.
Menarik Untuk Dibaca : Memulai Bisnis Dari Nol
Kesalahan pertama yang paling fatal adalah menurunkan kualitas atau kuantitas produk. Langkah ini sering diambil oleh brand yang panik menghadapi tekanan finansial. Ketika pendapatan tidak mampu menutupi biaya tetap seperti gaji karyawan dan sewa kantor, sebagian perusahaan kemudian memangkas biaya variabel, termasuk biaya produksi. Akibatnya, kualitas atau volume produk dikurangi.
Misalnya, sebuah brand kopi yang sebelumnya menjual produk seharga Rp50.000 dengan volume 300 ml dan cita rasa kuat, kemudian menurunkan intensitas rasa menjadi lebih lemah serta mengurangi volume menjadi 220 ml tanpa mengubah harga. Kondisi ini menimbulkan persepsi negatif karena konsumen merasa “produk sudah tidak seenak dulu”, bahkan merasa ditipu. Padahal, membangun persepsi merek membutuhkan waktu panjang, sementara menurunkannya bisa terjadi seketika.
Langkah yang lebih bijak adalah meluncurkan subbrand baru dengan positioning, kualitas, dan kuantitas yang lebih rendah, sementara brand utama tetap dipertahankan dengan standar yang sama. Dengan demikian, konsumen memiliki pilihan yang jelas tanpa merasa kehilangan kepercayaan terhadap brand utama.
Pendekatan ini pernah dilakukan oleh Philip Morris saat krisis ekonomi 1998. Alih-alih menurunkan kualitas Marlboro, mereka meluncurkan merek baru bernama Long Beach dengan harga lebih terjangkau, namun tetap menjaga kredibilitas Marlboro sebagai brand premium. Strategi semacam ini menjaga kepercayaan konsumen, yang sejatinya menjadi fondasi utama sebuah merek.
Kesalahan kedua yang sebaiknya dihindari adalah menggelembungkan harga sebelum memberikan diskon. Praktik ini kerap terjadi di sektor ritel, di mana harga dinaikkan terlebih dahulu sebelum ditampilkan seolah-olah sedang diberi potongan besar. Misalnya, produk seharga Rp100.000 dinaikkan menjadi Rp200.000, lalu diberi diskon 50% agar terlihat menarik padahal harga akhirnya tetap Rp100.000.
Praktik seperti ini merusak kepercayaan konsumen karena hubungan jual-beli hanya dapat bertahan di atas rasa saling percaya. Ketika konsumen merasa dimanipulasi, persepsi terhadap brand akan rusak, bahkan sulit diperbaiki. Oleh karena itu, bisnis perlu menghitung margin secara realistis sejak awal dan menyisakan ruang untuk promo atau diskon tanpa harus memanipulasi harga. Jika produk tetap tidak laku setelah berbagai strategi promosi diterapkan, sebaiknya dilakukan strategi bundling dengan produk lain yang masih memiliki margin sehat. Bila tetap tidak berhasil, maka saatnya melakukan cut loss agar reputasi brand tidak ikut tergerus.
Kesalahan ketiga yang kerap dilakukan adalah mengurangi brand presence secara drastis. Dalam masa sulit, pemangkasan anggaran marketing sering dianggap solusi mudah untuk menghemat biaya, padahal dampaknya bisa sangat serius. Brand presence memiliki peran penting dalam menjaga relevansi di benak konsumen. Ketika kehadiran brand berkurang, peluang untuk tetap dikenal dan diingat juga ikut menurun. Analogi sederhananya, seperti hubungan pertemanan setelah lulus sekolah: hanya teman yang masih memiliki relevansi atau interaksi rutin yang akan tetap diingat. Begitu pula dengan brand — tanpa kehadiran yang konsisten, hanya pelanggan yang sangat loyal yang akan bertahan.
Oleh sebab itu, sebesar apa pun pemotongan anggaran dilakukan, jangan pernah menghilangkan brand presence sepenuhnya. Fokuslah pada saluran komunikasi berbiaya rendah seperti media sosial, CRM, dan konten marketing yang relevan. Karena pada akhirnya, presence tanpa relevansi sama dengan tidak ada presence sama sekali.
Kesimpulannya, di tengah kondisi ekonomi yang menantang, perusahaan memang harus berhemat dan efisien. Namun, efisiensi tidak boleh mengorbankan kualitas produk, kejujuran harga, dan keberlangsungan brand presence. Tiga hal ini merupakan fondasi utama kepercayaan konsumen. Saat ekonomi membaik nanti, hanya brand yang mampu menjaga kepercayaan dan konsistensi yang akan benar-benar siap untuk bangkit kembali.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Membangun Branding UMKM
Mau Konsultasi?