Cerita Bisnis ~ CEO Intel, Pat Gelsinger, mengundurkan diri pada 1 Desember 2024. Ia menyerah setelah hampir empat tahun berusaha membawa Intel kembali ke puncak kejayaan. Namun, usahanya gagal. Saham Intel justru anjlok 61% dalam setahun—penurunan terdalam sepanjang sejarah perusahaan. Ini bukan sekadar kisah CEO yang menyerah, melainkan kisah tentang penguasa industri yang kemudian menjadi pecundang.
Dulu, Intel adalah pemimpin industri semikonduktor. Mereka menjadi pusat gravitasi industri, standar mutu, dan pengarah inovasi. Perusahaan-perusahaan lain menyesuaikan diri terhadap standar Intel. Namun, kini mereka telah terpinggirkan. Dalam hal manufaktur, mereka tertinggal dari TSMC. Dalam teknologi kecerdasan buatan, mereka jauh di belakang Nvidia. Terakhir, para investor pun mulai meninggalkan mereka karena hilangnya kepercayaan. Dewan direksi pun goyah, hingga akhirnya sang CEO mundur.
Apa yang bisa menjamin sebuah perusahaan tidak bernasib seperti Intel? Jika Intel yang begitu besar dan kuat saja bisa runtuh, apa yang harus dilakukan perusahaan agar bisa bertahan? Sedikit banyak, jawabannya ada dalam kisah perjalanan Intel sendiri.
Kejatuhan Intel bermula dari serangkaian keputusan kecil yang berdampak besar di kemudian hari. Banyak kesempatan emas dilewatkan, investasi tertunda, dan ketidakmampuan membaca arah industri secara jernih. Titik awal kemunduran dimulai pada 2007. Saat itu, Apple berencana menggunakan chip Intel untuk iPhone pertama. Namun, negosiasi antara Apple dan CEO Intel saat itu, Paul Otellini, gagal karena perbedaan pandangan soal harga dan hak teknologi. Apple kemudian memilih chip dari Samsung, dan setahun kemudian membeli PA Semi, perusahaan yang membantu Apple merancang chip-nya sendiri.
Keputusan tersebut mengubah peta industri. Chip berbasis ARM, yang lebih hemat daya dibanding teknologi x86 milik Intel, mulai mendominasi pasar smartphone. Sementara itu, Apple menjauh dari Intel dan beralih ke TSMC. Intel pun gagal masuk ke pasar mobile dan menghentikan produksi prosesor Atom pada 2015. Puncaknya terjadi pada 2020, saat Apple benar-benar meninggalkan Intel dan memakai chip buatan sendiri untuk Mac.
Intel sebetulnya juga pernah memiliki peluang besar untuk menguasai industri AI. Pada 2005, CEO Paul Otellini mengusulkan akuisisi Nvidia seharga $20 miliar. Waktu itu, Nvidia belum terlalu dikenal dan hanya memproduksi chip grafis untuk komputer. Tapi dewan direksi menolak karena khawatir biaya akuisisi terlalu besar dan sulitnya integrasi ke bisnis Intel yang sudah mapan. Keputusan ini terbukti fatal. Nvidia berkembang pesat dalam AI, sementara Intel tetap bertahan dengan arsitektur x86 yang makin tertinggal.
Menarik Untuk Dibaca : Bisnis Handmade UMKM
Intel pernah mencoba mengejar Nvidia lewat proyek Larrabee, chip hybrid CPU-GPU, tapi proyek itu dihentikan pada 2009. Kemudian, mereka membeli startup AI seperti Nervana Systems (2016) dan Habana Labs (2019), tetapi hasilnya tidak signifikan. Ketika Intel akhirnya merilis chip AI seperti Gaudi 3, semuanya sudah terlambat. Para pemain besar sudah memilih Nvidia, karena ekosistem dan performa chip mereka jauh lebih unggul. Kini, nilai pasar Nvidia sudah lebih dari $3 triliun—30 kali lipat dari Intel.
Intel sempat menaruh harapan besar saat menarik kembali Pat Gelsinger sebagai CEO pada 2021. Ia adalah mantan Chief Technology Officer Intel dan pernah sukses memimpin VMware. Dewan direksi percaya, Gelsinger bisa membawa perubahan. Ia membuat strategi ambisius: mempercepat inovasi manufaktur dan mengembangkan bisnis foundry agar bisa menyaingi TSMC dan Samsung. Ia juga berharap mendapat pendanaan dari pemerintah AS lewat CHIPS and Science Act. Targetnya pun agresif: pendapatan $15 miliar dari foundry pada 2030.
Namun, realitas industri bergerak lebih cepat dari rencana. Intel mempercepat proses 18A, tapi ironisnya tetap harus mengandalkan TSMC untuk memproduksi chip terbaru. Ketergantungan ini menunjukkan bahwa pabrik Intel belum cukup kompetitif. Sementara itu, Nvidia dan AMD melesat dengan chip yang lebih efisien dan manufaktur yang fleksibel. Saham Intel terus merosot, dan pada 2024 turun 61%. Kuartal terakhir tahun itu, Intel mencatatkan kerugian terbesar dalam sejarah 56 tahunnya. Nilai pasarnya turun 80% dari puncaknya di tahun 2000, kini bahkan lebih kecil dari Qualcomm, Broadcom, Texas Instruments, dan AMD.
Pada 1 Desember 2024, Gelsinger mundur di tengah tekanan dewan direksi dan menurunnya kepercayaan pasar. Ia meninggalkan Intel dalam keadaan lebih rapuh dari sebelumnya. Kejatuhan ini bukan karena satu kesalahan, tetapi rangkaian keputusan strategis keliru, kepemimpinan yang kurang tajam, dan kegagalan beradaptasi dengan perubahan industri. Salah satu kegagalan terbesar adalah tidak melihat potensi chip hemat daya untuk perangkat mobile. Penjualan XScale ke Marvell pada 2006 membuat Intel kehilangan pijakan di pasar yang akhirnya dikuasai ARM dan TSMC.
Intel juga menolak bekerja sama dengan Apple untuk iPhone pertama, dan memilih Nokia. Keputusan ini terbukti keliru. Dalam hal manufaktur, Intel bertahan dengan metode produksi lama yang rumit dan kurang efisien, sementara TSMC dan Samsung berinvestasi besar pada teknologi litografi EUV. Intel bahkan menunda produksi chip 7nm, membuat Apple beralih ke TSMC dengan chip M1-nya, yang sekaligus mengakhiri dominasi manufaktur Intel.
Di bidang AI, Intel melewatkan kesempatan mengakuisisi Nvidia. Investasi mereka di Nervana dan Habana pun tak signifikan. Strategi tidak jelas, daya saing menurun. Sementara itu, pesaing terus menciptakan standar baru dalam AI. Faktor internal juga berkontribusi—rasa terlalu percaya diri membuat mereka lambat berubah. Intel lebih sibuk mempertahankan status quo ketimbang berinvestasi dalam inovasi jangka panjang.
Gelsinger datang dengan rencana besar, tetapi ekspektasi terlalu tinggi. Strategi ekspansinya agresif, tapi bisnis utama Intel justru makin melemah. Akhirnya, pemutusan hubungan kerja dilakukan secara besar-besaran, yang menurunkan moral karyawan. Kini, Intel tak lagi dilihat sebagai pemimpin industri semikonduktor, tapi sebagai perusahaan yang sedang berjuang bertahan di tengah gelombang industri yang kian ganas.
Masa depan Intel kini bergantung pada siapa pemimpinnya. David Zinsner dan Michelle Johnston Holthaus ditunjuk sebagai co-CEO sementara, tapi keduanya bukan pemimpin teknis. Zinsner kuat di bidang keuangan, dan Holthaus di strategi bisnis. Nama lain seperti Lip-Bu Tan mulai disebut-sebut, meskipun belum pasti. Yang jelas, Intel butuh pemimpin dari luar dengan perspektif segar, yang mampu membawa perubahan nyata, bukan sekadar mempertahankan kelangsungan hidup.
Dari perjalanan ini, ada tiga pelajaran penting. Pertama, strategic myopia atau pandangan strategis yang terlalu sempit. Keberhasilan masa lalu sering membuat perusahaan terlambat melihat perubahan. Kedua, inovasi yang lemah. Perusahaan besar sering enggan mengadopsi teknologi baru karena takut mengganggu bisnis utama. Intel lebih memilih mempertahankan margin tinggi dari bisnis PC, padahal punya semua sumber daya untuk bersaing di mobile dan AI. Ketiga, strategic leadership—visi besar tidak akan berarti jika tidak dieksekusi cepat dan konsisten. Kepemimpinan bukan hanya soal melihat peluang, tetapi juga berani bertindak sebelum pesaing melakukannya lebih dulu.
Bertahannya perusahaan tidak hanya bergantung pada pemimpin yang paham industri, tetapi juga pemimpin yang mampu mengarahkan organisasi menuju perubahan yang diperlukan. Intel membuktikan bahwa inovasi yang terlambat sama buruknya dengan tidak berinovasi. Maka, untuk perusahaan di Indonesia, saatnya bertanya: apakah kita masih mengandalkan model lama, atau sudah mulai bersiap mengikuti arah industri? Karena dalam dunia bisnis, waktu terbaik untuk berubah bukan saat sudah terdesak—melainkan sebelum yang lain berubah lebih dulu.
Menarik Untuk Ditonton : 5 Kesalahan Dalam Membuat Desain Kemasan
Mau Konsultasi?