Tips Bisnis ~ Banyak yang bertanya kepada saya apakah saya anti-marketplace? Tergantung dari definisi anti yang dimaksud, baik itu sebagai konsumen maupun penjual. Perusahaan e-commerce seperti Shopee dan Lazada kini siap menyalip Tokopedia untuk menguasai pasar. Silakan tonton video lama saya berjudul Berselancar di Punggung Hiu untuk memahami lebih dalam. Mengapa marketplace berperilaku seperti itu? Pada dasarnya, kita harus melihat dulu model bisnisnya.
Sebagai penjual, prinsip utamanya adalah jangan bergantung pada satu sumber traffic lebih dari 20% pendapatan atau omzet Anda, apalagi jika Anda tidak memiliki database pelanggan. Marketplace dan aplikasi ojol food biasanya menyembunyikan data pelanggan seperti nomor HP atau WhatsApp sehingga kita tidak bisa membangun hubungan langsung, promosi CRM, atau transaksi di luar aplikasi tersebut.
Lalu, apakah kita harus meninggalkan marketplace? Saat ini sudah agak terlambat untuk “menyerang” langsung karena mereka telah menguasai mayoritas traffic penjualan online. Pilihan penjualan online selain marketplace hanya di media sosial, dan bahkan TikTok kini sudah berkoalisi dengan marketplace melalui TikTok Shop. Lompat sedikit ke video saya soal boikot Israel, banyak yang bertanya mengapa masih menggunakan platform seperti Facebook, Instagram, atau YouTube. Penjelasannya sederhana: jika ada pengganti yang layak, kita bisa beralih. Prinsipnya adalah menggunakan strategi perang, termasuk “memanfaatkan senjata lawan” jika kita kekurangan amunisi.
Marketplace harus diperlakukan sebagai taktik, bukan strategi. Strateginya adalah memanfaatkan marketplace sambil membangun database mandiri. Ada lima langkah yang perlu dilakukan: (1) Pilih produk penetrasi sebagai umpan, (2) Pancing traffic dari marketplace menggunakan iklan atau promosi, (3) Pindahkan traffic tersebut ke kolam kita, seperti website, aplikasi, atau WhatsApp, (4) Berikan asupan berupa konten menarik, informasi, dan promosi untuk membangun CRM, dan (5) Panen dari database tersebut melalui penjualan langsung. Marketplace dan media sosial hanya bagian dari taktik, bukan strategi utama. Bedakan antara memanfaatkan dan dimanfaatkan: kita harus tetap waspada sambil mengumpulkan amunisi dalam bentuk database.
Menarik Untuk Dibaca : Strategi Dalam Harga
Bagaimana caranya mengumpulkan database jika marketplace memblokir data pelanggan? Sederhana. Pada saat produk terjual, sisipkan gimik dalam setiap pengiriman agar pelanggan menghubungi Anda langsung. Gimik tersebut bisa berupa kupon diskon, cashback, undian, atau tebus murah. Semua traffic yang diarahkan ke database kita harus difokuskan ke pembelian di platform kita, bukan ke marketplace.
Idealnya, kita memerlukan marketplace “merah putih”. Memang sudah ada contoh seperti I-Peken yang digagas oleh Bu Risma di Surabaya dan Padi UMKM dari Kementerian BUMN di skala nasional. Namun, pengelolaannya perlu lebih profesional, terutama dalam proses kurasi produk. Produk yang masuk harus benar-benar berkualitas agar marketplace merah putih memiliki daya saing. Jangan sampai produk dimasukkan hanya karena “kasihan” pada pelaku UMKM.
Agar lebih kompetitif, marketplace merah putih juga memerlukan adanya kompetitor. Jangan hanya satu platform seperti I-Peken. Bisa juga dihadirkan marketplace lain yang dikembangkan oleh dinas atau pihak swasta, namun tetap harus “merah putih” dan bukan yang dikendalikan oleh venture capital asing. Misalnya, program CSR dari BUMN dapat diarahkan untuk membangun marketplace lokal secara profesional. Jika marketplace merah putih memiliki beberapa kompetitor, inovasi akan tumbuh dan kualitasnya akan semakin baik.
Regulasi bisa menjadi traffic generator pengganti praktik “bakar duit” marketplace asing. Contoh yang bagus adalah kebijakan di Surabaya, di mana belanja ASN diarahkan ke I-Peken. Kategorinya dibagi: staf wajib belanja Rp500.000 per bulan, kasi atau ketua tim Rp1 juta, kepala bidang Rp1,5 juta, dan kepala dinas serta setingkatnya Rp2 juta per bulan. Jika kita hitung, dengan rata-rata belanja Rp1 juta per bulan dan jumlah ASN di Indonesia pada 2023 sebanyak 4,28 juta, potensi belanja mencapai Rp4,28 triliun per bulan atau Rp51,36 triliun per tahun.
Sebagai perbandingan, total belanja online warga Indonesia sepanjang 2022 adalah Rp851 triliun. Namun, dari angka tersebut, produk lokal hanya menyumbang sekitar 10%, sementara produk impor mendominasi. Artinya, pembelian melalui marketplace asing sudah menggerus lebih dari setengah porsi belanja produk lokal. Dengan dukungan belanja ASN saja, tidak mustahil marketplace merah putih bisa bertumbuh signifikan. Ini pun belum termasuk potensi belanja instansi pemerintah maupun dari pihak lain yang nasionalis.
Kesimpulannya, marketplace bisa kita manfaatkan sebagai bagian dari taktik, bukan strategi utama. Fokus utama tetap pada membangun database dan mempersiapkan ekosistem mandiri. Marketplace merah putih bisa menjadi solusi jangka panjang jika dikelola dengan profesional dan didukung oleh regulasi yang tepat. Dengan strategi yang terarah, kita bisa memastikan pertumbuhan UMKM lokal tanpa harus bergantung sepenuhnya pada marketplace asing.
Menarik Untuk Ditonton : Pentingnya Memissahkan Uang Usaha dan Pribadi
Mau Konsultasi?