Pada tahun 1873, Charles Barnes membuka toko kecil di Illinois. Toko itu berkembang ketika William Barnes, sang anak, bermitra dengan G. Clifford Noble. Mereka membuka toko besar di New York dan berdirilah toko buku utama Barnes & Noble di Fifth Avenue pada tahun 1932. Tahun 1971, toko ini dibeli Leonard Riggio seharga 1,2 juta dolar AS. Lima tahun berselang, pendapatan toko naik dari 1 juta menjadi 10 juta dolar AS. Dengan melibatkan keluarganya, Riggio mendesain Barnes & Noble menjadi toko yang nyaman bagi pelanggan. Ia kemudian melakukan ekspansi besar-besaran dengan menarik investasi 18 juta dolar dari Anton Dreesmann, pengusaha ritel asal Belanda. Tahun 1987, Barnes & Noble menjadi jaringan toko buku terluas kedua di Amerika setelah mengakuisisi B. Dalton Bookseller, DoubleDay Bookshops, dan Bookstop. Pada 1993, Barnes & Noble melantai di bursa saham.
Menjelang akhir 1990-an, Barnes & Noble menguasai seperempat pasar buku Amerika. Dominasi mereka menciptakan persaingan sengit dan mengancam toko-toko kecil. Situasi ini menginspirasi film You’ve Got Mail yang rilis tahun 1998. Namun, seiring perubahan zaman, bisnis buku pun berubah. Borders, pesaing utama mereka, tumbang pada 2011 dan harus menutup ratusan toko serta merumahkan ribuan karyawan. Borders kemudian diakuisisi Barnes & Noble seharga 13,9 juta dolar AS. Dari toko kecil di Illinois, Barnes & Noble tumbuh menjadi raja industri buku dengan toko-toko yang menjadi tempat favorit para pecinta literasi.
Menarik Untuk Dibaca : Bukalapak Tutup !
Tapi saat dunia berubah, nasib mereka pun berubah. Amazon hadir dengan model bisnis yang lebih cepat, murah, dan praktis. Jeff Bezos mendirikan Amazon pada 1995 sebagai toko buku online kecil, namun dalam dua tahun omzetnya menembus 110 juta dolar AS per tahun. Barnes & Noble sempat mencoba melawan dengan merilis e-reader Nook pada 2009, namun kalah dari Kindle dan ekosistem Amazon. Memasuki era 2010-an, bisnis mereka memburuk. Harga saham anjlok, kepemimpinan bermasalah, dan toko ikonik di Fifth Avenue tutup pada 2014, disusul banyak cabang lain. Tahun 2018, mereka merumahkan 1.800 karyawan. Raja buku itu kini hanya menjadi bayang-bayang masa lalu.
Namun, pada 2019, titik terang muncul. Barnes & Noble diakuisisi oleh Elliott Management Corporation seharga 683 juta dolar AS. Elliott membawa James Daunt sebagai CEO baru. Daunt adalah tokoh di balik kebangkitan Waterstones, jaringan toko buku terbesar di Inggris. Ia langsung merombak strategi Barnes & Noble dengan pendekatan yang unik. Para manajer toko diberi kebebasan mengkurasi koleksi bukunya sendiri dan mengubah tata letak toko agar lebih personal. Perubahan ini membuka pintu kebangkitan. Tapi badai COVID-19 datang, menghantam industri buku. Banyak toko gulung tikar. Dalam situasi suram itu, Barnes & Noble bertahan dengan strategi unik: mengejar penjualan online sambil menyiapkan fisik toko untuk menyambut pelanggan kelak. Begitu pandemi mereda, strategi ini terbukti jitu.
Orang-orang rindu menyusuri rak buku dan memilih buku secara langsung, bukan lewat layar gadget. Itu menjadi titik balik Barnes & Noble. Tahun 2022, penjualan mereka mulai naik dan terus meningkat hingga 2024. Di tahun 2023, mereka membuka 30 toko baru. Setahun kemudian, mereka membuka 57 toko dalam satu tahun—rekor terbesar dalam sejarah perusahaan. Tahun 2025 ditargetkan 60 toko baru akan dibuka, membuat jumlah toko aktif menjadi lebih dari 600. Artinya, Barnes & Noble bukan hanya selamat dari krisis, tapi benar-benar bangkit.
Bagaimana bisa toko buku fisik seperti Barnes & Noble bangkit dan bahkan berkembang di tengah dominasi Amazon serta pandemi? Jawabannya simpel: mereka memberi pelanggan sesuatu yang tidak bisa diberikan Amazon, yaitu pengalaman. Ketika James Daunt memimpin, ia melihat satu masalah besar: jiwa setiap toko telah hilang. Semua toko tampil seragam, koleksi ditentukan oleh algoritma dan kontrak pemasaran, bukan oleh kurator yang paham kebutuhan komunitas. Toko-toko kehilangan karakter. Maka Daunt membebaskan manajer toko untuk menentukan sendiri koleksinya, menyesuaikan dengan selera pembaca lokal. Rak-rak diatur ulang agar sesuai dengan kebiasaan pengunjung masing-masing. Memang Barnes & Noble kehilangan pemasukan dari iklan, tapi Daunt punya alasan: toko buku bukan sekadar tempat transaksi, melainkan ruang yang hidup.
Strategi ini membuahkan hasil. Sejak 2019, kunjungan pelanggan naik 7% (menurut Placer.ai). Ini adalah awal kebangkitan industri buku. Bahkan Amazon mencoba menyaingi dengan membuka toko buku fisik berbasis data. Tapi karena tidak dikurasi manusia, toko Amazon justru gagal dan ditutup semua pada 2022. Sementara itu, Barnes & Noble berkembang.
Faktor lain yang mempercepat kebangkitan mereka adalah BookTok—komunitas pembaca di TikTok yang sejak 2020 mengubah wajah industri buku. Hashtag #booktok telah digunakan lebih dari 40 juta kali, dan dampaknya luar biasa. Barnes & Noble merespons cepat dengan fleksibilitas tinggi. Rak khusus BookTok muncul di banyak toko, berisi buku-buku viral dari Colleen Hoover hingga Sarah J. Maas. BookTok bukan cuma membuat orang ingin membeli buku, tapi juga datang ke toko untuk merasakan tren, berburu hype, bahkan sekadar berfoto di depan rak. Kebiasaan ini mengingatkan kita pada era keemasan Harry Potter.
Bagi James Daunt, yang mematikan toko buku bukanlah e-reader atau Amazon, tapi pengalaman belanja yang membosankan. Menurutnya, justru semakin banyak orang membaca digital, semakin besar peluang mereka kembali mencari versi fisik. Buku fisik punya daya tarik unik: bisa dipegang, dibolak-balik, dinikmati dengan pancaindra. Toko buku harus bisa menawarkan pengalaman itu. Toko buku yang bisa bertahan adalah toko yang tak sekadar menjual buku, tapi menciptakan pengalaman yang menyenangkan. Toko bisa menjadi “ruang ketiga”—tempat berkumpul di luar rumah dan kantor untuk berdiskusi atau mencari inspirasi. Di tengah dunia digital yang pengap oleh algoritma, tempat seperti ini sangat dibutuhkan.
Barnes & Noble menerapkan semua itu. Toko-toko mereka kini hidup kembali dengan sudut baca nyaman, kafe kecil untuk ngobrol santai, dan acara komunitas yang menggairahkan. Barnes & Noble bukan lagi sekadar toko, melainkan tempat interaksi, berbagi cerita, dan merayakan keajaiban membaca.
Kebangkitan Barnes & Noble bisa menginspirasi toko-toko buku di Indonesia, baik yang masih bertahan maupun yang ingin bangkit kembali. Inilah saatnya industri buku Indonesia untuk bangkit. Contohnya sudah ada. Barnes & Noble menemukan jalannya: tidak hanya menjual buku, tapi menghadirkan pengalaman. Mereka menciptakan suasana yang membuat orang betah—dengan ruang baca, tempat komunitas berkumpul, dan acara yang menghidupkan literasi. Pengunjung datang bukan hanya untuk membeli buku, tapi juga untuk merasakan sesuatu yang tak bisa didapat secara online—koneksi dengan buku dan sesama pencinta literasi.
Tantangan di Indonesia tentu berbeda. Pembajakan masih marak, apresiasi terhadap penulis perlu ditingkatkan agar ekosistem buku sehat. Tapi Indonesia punya modal kuat. Amerika punya BookTok, kita punya komunitas pembaca dan selebgram literasi yang aktif. Mereka suka berbagi rekomendasi, membangun antusiasme, dan membuat buku kembali menarik. Itu peluang besar. Toko buku bisa menjadi hub bagi komunitas untuk berkumpul, berdiskusi, dan berkolaborasi atas dasar minat yang sama.
Di era ketika konten viral seringkali dangkal, kehadiran buku jadi penting. Buku melatih berpikir mendalam, memahami ide kompleks, dan menyusun argumen. Buku memberikan kedalaman dan perspektif, bukan hanya informasi instan. Saat kebenaran makin kabur oleh berita cepat dan judul bombastis, buku adalah pelindung nalar. Toko buku, dalam hal ini, adalah pilar penting masyarakat berwawasan.
Dengan komunitas pencinta buku yang aktif, pengaruh selebgram literasi, dan minat terhadap diskusi intelektual yang mulai meningkat, tradisi membaca buku belum mati di Indonesia. Ia hanya butuh iklim yang tepat untuk tumbuh. Kita butuh toko buku berkualitas sebagai tempat menyemai pengetahuan. Buku yang baik menjadikan pembacanya mampu bernalar, menyusun argumen, dan melihat persoalan dari berbagai sudut. Dengan strategi yang tepat, bukan mustahil toko-toko buku di Indonesia bisa kembali bersinar.
Menarik Untuk Ditonton : Mengenal Program Desa Preneur
Mau Konsultasi?