

Banyak dari kita mungkin pernah bertemu seseorang yang hidupnya tampak biasa-biasa saja. Mereka tidak pernah pamer, menggunakan barang yang sederhana, namun hidupnya terlihat tenang. Mereka bisa berlibur kapan saja, membantu orang tua tanpa ragu, dan tidak pernah panik soal uang. Pada awalnya, saya sering bertanya-tanya: mereka bekerja di mana, berapa gajinya? Namun semakin lama, saya menyadari bahwa persoalannya bukan dari mana mereka mendapatkan uang, melainkan bagaimana mereka mengelolanya.
Saya bukan orang yang boros, tetapi juga tidak bisa dikatakan hemat. Ketika menerima gaji, saya sempat merasa senang, namun dua minggu kemudian kondisi keuangan mulai menipis, sementara barang-barang yang saya beli sering kali bahkan tidak saya ingat. Dulu saya merasa hal itu wajar karena bekerja memang untuk dinikmati. Namun pada titik tertentu, saya mulai merasa janggal. Saya bekerja keras, tetapi mengapa saya tidak pernah merasa cukup?
Hingga suatu hari saya bertemu dengan sebuah konsep sederhana yang mengubah cara pandang saya terhadap uang, yakni frugal living. Ini bukan hidup pelit atau menolak kesenangan, melainkan seni untuk tidak menghabiskan tenaga, waktu, dan uang pada hal-hal yang tidak memberikan nilai jangka panjang. Dari sinilah saya mulai memahami bahwa kekayaan tidak selalu datang dari seberapa keras kita mengejar, tetapi dari seberapa sadar kita berhenti membuang.
Menarik Untuk Dibaca : Kenapa Investasi Membuat Miskin ?
Dulu saya mengira kekayaan merupakan soal angka di rekening. Namun perlahan saya menyadari banyak orang yang terlihat kaya tetapi hidupnya sempit—memiliki mobil tetapi khawatir biaya bensin, memiliki rumah tetapi terbebani cicilan, memiliki banyak barang tetapi sedikit ketenangan. Kini, definisi kaya bagi saya berubah. Kaya adalah ketika seseorang bisa tidur nyenyak tanpa memikirkan tagihan. Kaya adalah ketika seseorang dapat menolak pekerjaan yang tidak sesuai tanpa takut tidak makan esok hari. Kaya adalah ketika seseorang bisa membantu orang tua tanpa harus menghitung saldo terlebih dahulu. Kekayaan bukan berarti memiliki segalanya, tetapi memiliki pilihan.
Permasalahan banyak orang, termasuk saya dulu, adalah hidup berdasarkan validasi. Kita membeli barang-barang yang tidak dibutuhkan dengan uang yang belum tentu dimiliki, demi kesan yang bahkan tidak penting bagi orang lain. Setiap kali saya merasa tidak aman, saya mencari pelarian melalui belanja atau makan enak agar terlihat baik-baik saja. Namun semua itu tidak pernah mendatangkan ketenangan. Yang sebenarnya saya cari bukanlah barang, melainkan rasa aman. Dan rasa aman bukan datang dari memiliki banyak, tetapi dari memahami arti cukup.
Dari sini saya belajar bahwa yang perlu kita kejar bukan hanya kekayaan finansial, tetapi kekayaan kesadaran—kesadaran untuk membedakan mana yang penting dan mana yang hanya terlihat penting. Karena ketika kita memahami perbedaannya, kita sudah setengah perjalanan menuju kebebasan finansial.
Saya juga menyadari bahwa masalah saya bukan terletak pada jumlah uang, tetapi cara berpikir tentang uang. Dengan mindset yang keliru, berapa pun besar penghasilan akan tetap berakhir sama: habis tanpa arah. Frugal living tidak hanya tentang menghitung pengeluaran, tetapi memahami alasan di balik setiap pengeluaran. Apakah sesuatu benar-benar dibutuhkan, atau hanya untuk terlihat cukup di mata orang lain?
Salah satu konsep penting dalam frugal living adalah delayed gratification—menunda kesenangan kecil demi hasil yang lebih besar di masa depan. Dulu saya tidak sabaran; setiap stres saya belanja dan menyebutnya sebagai “self reward”. Padahal kenyataannya, itu hanya pelarian sesaat. Kini setiap ingin membeli sesuatu, saya bertanya pada diri sendiri apakah saya benar-benar membutuhkannya atau hanya ingin merasa lebih baik. Jika jawabannya yang kedua, saya menahan diri. Dan sering kali dorongan itu hilang dengan sendirinya.
Perubahan-perubahan ini membawa dampak bukan hanya pada dompet, tetapi juga ketenangan pikiran. Saya menjadi lebih sulit tergoda, tidak lagi iri pada pencapaian orang lain, dan lebih memahami apa yang saya bangun. Frugal living akhirnya bukan hanya tentang uang, tetapi tentang menata ulang hubungan dengan keinginan. Ketika kita mampu membedakan antara ingin dan butuh, kita mendekati kebebasan—baik finansial maupun mental.
Untuk memulai frugal living, saya mengambil lima langkah sederhana:
Mengidentifikasi kebocoran kecil. Saya melacak ke mana uang sebenarnya pergi dan menemukan bahwa pengeluaran kecil seperti langganan digital, kopi harian, dan ongkir makanan ternyata sangat besar jika diakumulasikan. Saya tidak menghentikannya secara total, tetapi memilah mana yang benar-benar penting.
Memprioritaskan hal yang berdampak jangka panjang. Saya mengalihkan dana dari kebocoran kecil ke pos lebih penting seperti dana darurat dan investasi kecil yang dilakukan secara rutin. Saya juga berinvestasi pada pengembangan keterampilan, karena kemampuan adalah aset yang tidak tergerus inflasi.
Menerapkan mindful spending. Setiap akan membeli sesuatu, saya mengajukan tiga pertanyaan: apakah saya membutuhkan, apakah ada alternatif yang lebih hemat, dan apakah memberikan manfaat jangka panjang. Jika tidak lolos, pembelian dibatalkan.
Menggunakan sistem keuangan. Saya memakai aplikasi pencatat keuangan sederhana dan membagi pengeluaran menjadi kebutuhan, tabungan, dan hiburan. Kadang saya menggunakan metode amplop untuk menjaga disiplin. Sistem ini membantu saya tetap jujur dan konsisten tanpa tekanan.
Naik kelas secara bertahap. Saya tetap ingin hidup nyaman, tetapi saya menetapkan aturan bahwa peningkatan gaya hidup hanya boleh dilakukan ketika penghasilan pasif meningkat, bukan melalui utang. Kini saya lebih memilih meng-upgrade sistem kerja atau peralatan produktif daripada membeli barang viral yang cepat rusak.
Setelah menjalani gaya hidup ini selama beberapa tahun, saya memahami bahwa frugal living bukan perjalanan menahan diri, tetapi perjalanan mengenal diri. Setiap keputusan finansial adalah cermin yang memperlihatkan apa yang kita takuti, kejar, dan anggap cukup. Ketika kita mampu berdamai dengan hal-hal tersebut, uang tidak lagi menjadi sumber stres, tetapi menjadi alat untuk mencapai kebebasan.
Saya belum sepenuhnya sempurna; terkadang masih tergoda dan impulsif. Namun kini saya jauh lebih sadar, dan kesadaran itulah yang jauh lebih berharga daripada sekadar angka di rekening.
Menarik Untuk Ditonton : Peluang Bisnis rempah Jogja
Mau Konsultasi?