Perjalanan Kisah Salmara Madu: Merangkai Asa dari Setiap Ujian
Kisah ini adalah tentang sebuah perjalanan, bukan hanya perjalanan bisnis, melainkan perjalanan menemukan diri, menaklukkan keraguan, dan merajut impian di tengah badai kegagalan. Ini adalah kisah Salma Raudyah, sosok di balik Salmara Madu, sebuah nama yang kini mulai dikenal sebagai jaminan keaslian dan kualitas Madu di Yogyakarta.
Perjalanan Salma bukanlah jalan tol mulus, melainkan labirin penuh tikungan tajam, jalan buntu, dan jembatan rapuh yang harus dilaluinya dengan tekad baja. Hingga akhirnya, langkahnya mantap, membawa Salmara Madu menjejakkan kaki di panggung Inkubasi Bisnis UMKM Naik Kelas 2025.
Namaku Salma Raudyah. Aku anak kedua dari tiga bersaudara, dibesarkan dalam lingkungan yang mungkin tak pernah terpikir aku akan terjun sedalam ini ke dunia usaha. Jauh sebelum Salmara Madu lahir, jauh sebelum aku memahami seluk-beluk lebah dan sarangnya, perjalananku dimulai pada tahun 2015. Saat itu, aku sakit typus dan dirawat di rumah sakit selama beberapa hari dan bertepatan dengan tanggal ulamg tahun ku kaka ku memberiku hadiah smartphone Smartfren dengan RAM 512Mb saat itu, dan setelah pulang dari rumah sakit kaka ku mengajak ku ikut menjual produk herbal sama sepeeti dia yang sudah lebih dulu berjuaan dan mendapatkan keuntungan banyak, tergiur dengan keuntungan nya akhirnnya aku mulai resmi bergabung sebagai distributor untuk sebuah perusahaan herbal ternama di Indonesia.
Awalnya, aku adalah orang yang sangat pemalu dan introvert. Berhadapan dengan orang baru, apalagi berbicara di depan umum, adalah mimpi buruk bagiku. Namun, di perusahaan herbal ini, aku di didik dan dipaksa harus berani berhadapan dengan orang baru. Aku dipaksa presentasi di depan calon member baru, menjelaskan detail produk dan sistem member di perusahaan tersebut.
Aku masih ingat dengan jelas pengalaman pertamaku. Aku ditinggal sendirian dengan klien pertamaku. Di sana, aku terbata-bata, gagu. Kata-kata yang sudah kuhafalkan dari buku seakan hilang begitu saja. Tentu saja presentasiku tidak akan goals, tidak akan berhasil. Bahkan klienku sudah kelihatan sangat bosan dan ingin cepat-cepat pergi dari hadapanku, haha. Itu adalah pengalaman pertama yang berharga, yang mengajariku bahwa teori saja tidak cukup tanpa keberanian dan praktik.
Sejak saat itu, aku selalu mengulangi mencoba presentasi terus-menerus, walau masih sering gagal. Setiap kegagalan adalah motivasi untuk mencoba lagi. Aku terus berlatih, mengulang materi, sampai akhirnya aku mulai menguasai dan memahami isi materi yang aku jelaskan. Aku tidak lagi terpaku pada buku, melainkan bisa lebih luwes menjelaskan dengan bahasaku sendiri yang mudah dipahami oleh orang lain. Pengalaman ini membentukku, mengubahku dari seorang yang sangat pemalu menjadi pribadi yang lebih berani dan mampu berkomunikasi, sebuah fondasi penting untuk perjalanan bisnisku di masa depan.
Aku belajar tentang khasiat rempah, tentang pentingnya kesehatan, dan perlahan, sebuah benih keinginan mulai tumbuh di hatiku: keinginan untuk memiliki usahaku sendiri, sebuah jejak yang murni hasil keringat dan pemikiranku.
Namun, seperti kebanyakan pebisnis pemula, jalanku bukanlah garis lurus menuju kesuksesan. Sebelum aku menemukan madu sebagai panggilanku, aku mencoba berbagai macam usaha, masing-masing dengan harapannya sendiri, dan sebagian besar berakhir dengan pelajaran berharga tentang kegagalan.
Masa pandemi COVID-19, bagi sebagian orang adalah krisis, bagiku adalah kesempatan untuk bereksplorasi. Aku melihat potensi besar dalam makanan kemasan, terutama sambal. Aku mengikuti pelatihan online, kursus memasak berbagai macam sambal yang bisa dijual sebagai produk kemasan. Dengan antusiasme membara, aku mempelajari setiap detail, dari resep, teknik pengolahan, hingga standar operasional prosedur (SOP) pengemasan. Setelah kursus selesai, tanganku langsung gatal untuk mempraktikkannya. Aku membuat batch pertama, mengemasnya sesuai SOP, menyegelnya dengan rapi (FYI : saat itu aku masih menyegel menggunakan UAP dari air mendidih yang keluar dari corong teko, tentu hasilnya jadi mengembun, aku belum tau ada alat praktis yang disebut hotgun), dan menyimpannya. Beberapa bulan berlalu, dan dengan deg-degan aku membuka kembali salah satu botol. Hasilnya? Luar biasa! Sambalnya masih enak, aromanya tetap harum, tidak berubah sedikit pun. Aku merasa di puncak dunia, merasa telah menemukan passion dan celah pasar. Tanpa buang waktu, aku langsung memesan 20 botol kosong untuk sambal beserta segel aluminium dan segel plastik shrink-nya.
Momen itu terasa seperti titik balik. Aku memantapkan diri, berbelanja kebutuhan bahan baku dalam jumlah besar. Dengan semangat membara, aku memasak satu wajan besar sambal, memperkirakan bisa menghasilkan sekitar 20 botol. Namun, realitas seringkali jauh dari ekspektasi. Hasilnya di luar dugaan: gagal. Rasa dan aromanya jauh dari sempurna, tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Saat kegagalan itu terjadi, aku merasa sedih dan marah. Begitu inginnya aku membuang semua sambal itu, tapi Mama mencegahku. “Eman-eman, Salma. Jangan dibuang,” katanya lembut. Kata-kata itu, diiringi tatapan penuh pengertian Mama, sedikit meredakan amarahku. Aku menyimpan sambal gagal itu, tidak mau melihat nya, tidak mau membahas nya, terserah mamah ku mau gunakan itu untuk apa. Dua puluh botol kosong dan perlengkapan lainnya hanya tersimpan rapi di lemari, menjadi saksi bisu dari kegagalan pertama yang begitu membekas.
Tapi semangatku tak sepenuhnya padam. Keluargaku sangat menyukai cireng kemasan yang dijual di supermarket. Rasa penasaran mendorongku untuk mencari pelatihan pembuatan cireng produk kemasan. Aku rela membayar sejumlah uang untuk mengikuti pelatihan ini. Namun, lagi-lagi, ekspektasi tak sejalan dengan realita. Pelatihannya ternyata sangat standar, hanya berupa video non-premium yang tidak menjelaskan detail-detail penting. Aku mencoba mempraktikkan, berulang kali, namun hasilnya selalu gagal. Cireng buatanku tak pernah bisa menyerupai tekstur dan rasa cireng kemasan supermarket yang renyah dan gurih. Akhirnya, aku menyerah lagi. Cireng pun menyusul sambal, hanya menjadi pengalaman.
Aku mencoba peruntungan lain. Aku mencoba menjadi reseller makanan. Aku bersemangat mengiklankan produk di berbagai platform media sosial. Setiap postingan kubuat dengan harapan, namun tak ada satupun pesanan yang masuk. Sepi. Nol.
Kemudian, ide baju tidur muncul. Aku membeli lima setel baju tidur dengan niat untuk sesi foto dan iklan. Aku membayangkan potensi pasar yang besar. Namun, hasilnya sama saja. Tak ada yang bertanya, tak ada yang laku. Kelima setelan itu akhirnya hanya menjadi koleksi pribadi.
Berkali-kali gagal, semakin lama rasanya semakin “ya sudahlah, mau bagaimana lagi.” Ada titik di mana rasa marah dan sedih perlahan digantikan oleh penerimaan. “Toh aku sudah mencoba melakukan yang terbaik sebisaku, semampuku,” batinku. Aku mulai berpikir, “Sepertinya memang aku tidak pernah berjodoh dengan dunia kuliner maupun fashion.” Setiap kegagalan ini, meskipun menyakitkan, adalah sebuah batu bata yang membangun fondasi pemahamanku tentang dunia bisnis: bahwa ide saja tidak cukup, modal saja tidak cukup, dan semangat saja seringkali tidak cukup tanpa strategi dan eksekusi yang tepat. Aku mulai menyadari bahwa aku perlu menemukan sesuatu yang benar-benar cocok, yang tidak hanya mengandalkan tren sesaat atau passion yang belum teruji.
Sebelum berbagai pameran itu datang, dan sebelum madu menjadi fokus utamaku, aku pernah mencoba satu lagi petualangan kuliner, kali ini dengan teman baikku. Kami memutuskan untuk berbisnis jus botolan, bukan dengan stand permanen, melainkan dengan konsep menjajakan keliling. Ide ini terasa segar dan menjanjikan. Kami menyiapkan dua resep utama. Yang pertama, jus wortel campur tomat, yang dikenal kaya manfaat dan sering direkomendasikan untuk kesehatan mata dan kulit. Yang kedua, jus mangga, minuman yang selalu populer dengan rasa manis dan segarnya.
Dengan semangat membara, di suatu malam, aku dan temanku mengendarai motor, menyusuri jalanan Yogyakarta menuju Pasar Giwangan. Suasana pasar malam itu begitu hidup, dengan hiruk pikuk pedagang dan pembeli yang sibuk bertransaksi di bawah cahaya remang-remang. Kami berbelanja beberapa kilogram buah sekaligus—wortel segar, tomat merah ranum, dan mangga harum manis pilihan. Setelah berbelanja, kami langsung pulang dan tanpa menunda, kami mencuci semua buah yang sudah kami beli dan langsung mengeksekusinya. Dapurku berubah menjadi medan perang buah-buahan.
Aku memanfaatkan blender chopper yang dulu sempat kubeli saat ada sales yang menawarkannya di arisan dasawisma di kampungku. Dengan bangga, aku menyalakannya. Namun, baru dipakai setengah jalan untuk menghaluskan buah, chopper tersebut sudah panas dan konslet, mengeluarkan bau gosong yang menusuk hidung! Haha, sungguh ironi. Alat yang diharapkan mempermudah, justru menambah masalah. Untungnya, kami masih punya blender seadanya di rumah. Kami pun melanjutkan prosesnya menggunakan alat yang terbatas. Prosesnya sangat lama sekali, sampai hampir tengah malam. Kami harus menyaring jus dengan alat seadanya dan memasukkan ke botol satu per satu dengan hati-hati. Kami sudah membeli botol kale 500ml yang cantik, tas box aluminium untuk menjaga jus tetap dingin, box ice, serta stiker transparan berdesain minimalis untuk branding agar terlihat lebih profesional.
Setelah semua jus selesai dimasukkan ke botol, kami menyimpannya di dalam kulkas. Di sinilah tantangan lain muncul: aku harus mengosongkan sebagian besar isi kulkasku karena tidak muat untuk menyimpan semua jus yang ada. Kulkas penuh sesak dengan botol-botol jus beraneka warna. Selain jus, kami juga membuat infused water dari daun mint, biji selasih, stroberi, dan lain-lain, yang juga kami kemas dalam botol-botol kecil. Tak lupa, kami membuat air lemon murni yang kami peras tanpa tambahan apapun, untuk pilihan yang lebih sehat dan alami.
Keesokan paginya, dengan tas box jus yang sudah terisi penuh dan sangat beraat sekali—sampai rasanya tidak sanggup membawa kalau hanya sendirian—kami mencari tempat untuk menjajakan jus keliling. Kami memutuskan untuk pertama kali datang ke depan trotoar Ambarukmo Plaza, salah satu mall paling ikonik di Yogyakarta. Begitu tiba di sana, rasanya sangat malu sekali dan bingung bagaimana cara menawarkan ke orang-orang. Aku dan temanku saling dorong-dorongan, “Kamu aja, kamu aja,” bisik kami sambil menahan tawa gugup. Rasa canggung begitu kuat menyelimuti. Tapi kalau terus seperti ini, kami akan semakin lama diam di sana tanpa kejelasan.
Akhirnya, aku memilih duduk di salah satu bangku di depan mall, menjaga tas box jus yang berat itu. Temanku yang lebih berani mengambil dua jus dan nekat membawanya ke depan sepasang muda-mudi yang sedang duduk berdua. Dia menawarkan minuman itu dengan sedikit senyum-senyum kikuk. Mungkin karena masih baru pacaran, jadi dua muda-mudi itu pun masih malu-malu dan sepertinya terpaksa membeli jus yang temanku bawa, haha. Setidaknya sudah laku 2 botol, tapi masih tersisa banyak sekali.
Karena dirasa saat itu waktu mulai siang dan terik, kami memutuskan untuk berpindah tempat ke Jogja City Mall. Di sana, lagi ada event yang ramai sekali. Kami sekalian janjian bertemu dengan Bu Reni (teman dekat dari lingkungan distributor herbal kami) di sana. Bu Reni yang baik hati membantu kami membawa tas jus yang berat itu menaiki anak tangga ke bagian depan Jogja City Mall. Di tangga itu, banyak orang yang duduk-duduk santai.
Di sana, kami sudah berusaha menawarkan jus ke beberapa orang dengan perasaan yang lumayan menahan malu. Kami mencoba senyum, menjelaskan produk, tapi tidak ada yang mau. Rasanya seperti kami adalah pengganggu di tengah keramaian itu. Sampai pada akhirnya yang membeli adalah mertuanya Bu Reni! Ahaha, sebuah “penjualan” yang mengharukan sekaligus menggelikan yang membuat kami sedikit tersenyum pahit. Akhirnya, kami pun pulang membawa jus yang tidak laku, dengan hati yang berat. Sedihnya tak terkira, dan hanya mendapatkan rasa lelah yang luar biasa serta pastinya rugi karena jus itu tidak bisa disimpan terlalu lama.
Dari pengalaman pahit ini, aku berpikir lebih baik tetap anteng menjual produk dari perusahaan suplier herbal yang tinggal duduk manis di rumah, memainkan media sosial, dan langsung mendapatkan keuntungan yang lumayan tanpa harus panas-panasan dan berkeringat. Tapi dari pengalaman ini juga, aku jadi menyadari betapa sulitnya perjuangan orang yang mencari nafkah di luaran sana. Ini adalah pelajaran tentang empati, tentang kerasnya hidup, dan tentang nilai setiap rupiah yang dihasilkan dengan keringat. Aku belajar bahwa bisnis offline dan penjualan langsung memiliki tantangan tersendiri yang jauh berbeda dengan bisnis online yang kugeluti sebelumnya.
Suatu hari, saat scrolling Instagram, sebuah iklan menarik perhatianku: “Franchise Minuman Kekinian” dengan tagline harga jual Rp 8.000. Itu adalah minuman cendol dengan aneka rasa, sebuah konsep yang unik dan harga yang sangat terjangkau. Aku tertarik. Dengan keputusan yang masih sangat “mentah” dan tanpa riset mendalam, aku memutuskan untuk membeli franchise tersebut. Total biaya yang aku keluarkan lumayan besar, kurang lebih 5 juta rupiah. Dari investasi itu, aku mendapatkan seperangkat alat lengkap untuk membuat cendol, jumbo cooler untuk es batu, beberapa toples, perlengkapan penjualan, meja portable, gelas plastik, celemek, dan semua yang kubutuhkan untuk langsung berjualan. Intinya, tinggal cari tempat.
Aku mencoba membuat cendolnya sendiri di rumah, dan memang rasanya enak. Tapi kemudian muncul masalah: harga jual Rp 8.000 itu ternyata hanya untuk cendol biasa atau umum. Untuk cendol dengan aneka rasa, harganya berkisar antara Rp 14.000 hingga Rp 18.000 per gelas. Aku merasa harga jual itu terlalu tinggi untuk segelas cendol jika dijual di pinggir jalan, di daerah Yogyakarta ini. Jika dijual di mall, mungkin masih masuk akal, tapi di pinggir jalan? Rasanya tidak mungkin bersaing. Dengan berat hati, aku tidak melanjutkan. Lagi-lagi, investasi dan harapan harus kubuang jauh-jauh sama seperti alat-alat dan stand portable cendol itu yang aku buang jauh-jauh ke rumah simbah di Kulonprogo.
Semua pengalaman ini adalah serangkaian pelajaran mahal. Aku belajar bahwa passion harus didukung oleh riset, bahwa ide yang menarik harus realistis secara finansial, dan bahwa setiap langkah harus dipikirkan matang-matang, tidak hanya berdasarkan emosi sesaat. Aku merasa seperti seorang pengembara yang terus mencari peta, tersesat di setiap persimpangan, namun tak pernah berhenti melangkah. Aku masih mencari “apa” yang harus aku jual, “apa” yang benar-benar bisa bertahan, dan “apa” yang bisa menjadi pijakan kokoh untuk membangun impian bisnisku.
Dengan kegagalan-kegagalan yang ada, aku mengambil pelajaran untuk melangkah ke depan. Aku merasa menjadi pribadi yang lebih kuat dari sebelumnya, lebih tenang dari sebelumnya ketika mengalami kegagalan. Ya, walaupun belum bisa sepenuhnya benar-benar tenang, tapi setidaknya tidak setantrum dulu, hehe. Aku belajar untuk menerima, menganalisis, dan bergerak maju, alih-alih tenggelam dalam penyesalan.
Titik balik itu datang di akhir tahun 2023, dari arah yang sama sekali tidak kuduga. Ayahku, yang tinggal di Jambi, mengirimkan satu jerigen besar berisi 50 kilogram madu jenis Akasia. Ternyata, di kampung kami di Jambi, banyak warga yang kini menjadi petani madu. Awalnya, madu itu hanya untuk konsumsi pribadi keluargaku. Kami membagikannya kepada saudara-saudara menggunakan botol mineral 600 ml. Tapi jumlahnya sangat banyak, hingga kami merasa “blenger” saking tidak habis-habisnya.
Momen pencerahan datang dari salah satu wali murid atau bunda dari teman anakku di SD. Ia menyarankan aku untuk menjual madu tersebut. Awalnya aku ragu, “Apakah bisa laku?” pikirku. Madu? Rasanya terlalu sederhana dibandingkan ide-ide bisnisku sebelumnya yang “kekinian”. Namun, rasa penasaran mengalahkan keraguan. Aku mencoba menjual madu menggunakan botol mineral, dan tak disangka, beberapa orang tertarik dan membeli.
Dari situ, aku mulai melihat potensi. Tapi ada masalah: botol mineral terasa kurang cantik dan terlalu tipis sebagai kemasan madu. Aku mencoba menggunakan sisa botol sambal yang belum terpakai dari kegagalan masa lalu. Aku isi penuh. Namun, masalah baru muncul: segel aluminiumnya selalu rembes. Madu, dengan konsistensinya yang cair namun kental, sangat sensitif terhadap pengemasan.
Aku tidak menyerah. Aku membeli botol kale 250 ml, mengisi penuh, dan mendesain label seadanya menggunakan kertas stiker chromo. Desain pertamaku sangat sederhana, hanya nama merek dan sedikit informasi, font-nya pun standar. Ini memang terlihat lebih baik dari kemasan sebelumnya, tapi masalah bocor dan rembes tetap ada. Aku mulai mencari tahu, belajar dari internet dan bertanya kepada orang yang lebih berpengalaman, dan akhirnya menemukan jawabannya: botol tidak boleh diisi penuh, harus disisakan ruang udara agar madu memiliki ruang untuk “bernapas” dan tidak bocor karena tekanan. Ini adalah pelajaran kecil namun krusial dalam dunia pengemasan produk.
Dari berbagai pengalaman trial and error ini, aku mulai memperbaiki kemasan botol yang kupakai, menemukan cara menuang madu yang baik dan benar, dan terus-menerus memperbaiki desain label. Berulang kali revisi, dari desain yang sangat polos hingga mencoba beberapa variasi warna dan font, sampai akhirnya aku mendapatkan kemasan dan label madu seperti yang kugunakan saat ini yang lebih profesional dan menarik. Proses ini bukan hanya tentang estetika, tetapi tentang fungsionalitas dan keamanan produk.
Ketika madu mulai menemukan jalannya, aku sadar aku butuh lebih dari sekadar menjual. Aku perlu jaringan, dukungan, dan ilmu. Aku mencari tahu bagaimana caranya agar aku bisa mengikuti kegiatan-kegiatan UMKM di kota ini, Yogyakarta. Aku pergi ke balai kota, bertanya sana-sini, hingga akhirnya aku diberitahu jika ingin mendaftar, aku harus menemui ketua UMKM saat itu, Ibu Tuliswati. Tanpa ragu, aku langsung pergi ke rumahnya dan memohon untuk bergabung. Alhamdulillah, aku diterima langsung. Beberapa bulan setelah aku bergabung, aku menyadari betapa beruntungnya aku. Banyak yang ingin masuk, tetapi tidak semudah itu karena kuota anggota sudah terlalu banyak dan harus mengantre.
Meskipun sudah bergabung, aku belum sepenuhnya fokus menjalankan bisnis madu ini. Aku merasa bingung dan tidak punya pembimbing yang spesifik. Aku memikirkan segalanya sendirian. Segala macam pelatihan yang ada selalu aku ikuti untuk menambah wawasan dan ilmu yang barangkali kubutuhkan. Penjualanku saat itu masih sangat-sangat sedikit, bahkan bisa dihitung jari per bulannya. Sama sekali tidak pantas disebut bisnis karena omsetnya masih sangat, sangat, sangat kecil sekali. Namun, aku tetap menjalankan ini.
Pelatihan-pelatihan yang kuikuti, meskipun menambah ilmu, seringkali hanya “selesai” saat pelatihan itu berlangsung. Setelahnya, aku kembali menjalani rutinitas seperti biasa, tanpa implementasi nyata yang signifikan. Hingga akhirnya, aku mengikuti pelatihan HBC (Home Business Camp). Di sana, aku bersyukur bertemu dengan Mas Bio Hadiksema, mentorku di HBC. Dialah yang mengajarkan aku berbagai hal hingga saat ini, bukan hanya tentang bisnis tapi tentang cara pandang hidup, tentang pembentukan diri tentang makna diri dan menggali potensi dalam diriku. Mau tau seberapa tulus nya beliau ke anak didiknya? Aku terharu saat beliau ibadah ke tanah suci pun beliau masih memikirkan anak didiknya, dan menyempatkan memvideo dan mem-foto produk-produk madu yang ada disana. Dan dari beliaulah aku bisa menemukan komunitas madu di Indonesia dan bergabung menjadi anggota resminya. Ini adalah sebuah anugerah, karena aku bisa mempelajari lebih banyak lagi tentang lebah dan madu asli dari sumber yang terpercaya, langsung dari para ahli dan praktisi.
Nama usahaku saat ini adalah Salmara Madu, diambil dari singkatan namaku sendiri, Salma Raudyah. Sebelum ini, aku sempat menggunakan nama Zuper Madu. Namun, ketika hendak mendaftarkan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), aku dianjurkan untuk menggantinya karena menyerupai kata “super” dan tidak diperbolehkan. Waktu itu sangat mepet, karena aku ingin mengikuti fasilitas HKI gratis dari dinas. Aku berpikir cepat, mencari nama merek dan logo baru. Atas saran beberapa orang, aku mencoba menggunakan nama Japhe Mete yang aku ambil dari Google, konon dari bahasa Jawa. Nama itu berhasil didaftarkan. Tapi, pada akhirnya aku tidak pernah menggunakannya. Aku kurang puas dengan namanya dan logo yang kubuat terburu-buru tanpa konsep yang matang. Aku menyadari, sebuah merek haruslah memiliki makna, identitas, dan rasa bangga. Itulah mengapa Salmara Madu terasa begitu personal dan pas di hati.
Ketika ditanya, “Apa keunggulan produkmu?”, aku selalu kesulitan menjawab. Bagiku, madu ya madu, sama saja dengan madu yang lain. Sampai akhirnya aku tergabung ke komunitas lebah madu tersebut. Di sanalah mataku terbuka. Aku baru mengetahui bahwa keunggulan produkku adalah aku berani menjamin bahwa madu yang aku jual ini adalah asli, bukan madu sirupan. Banyak pecinta madu yang was-was atau bingung mau membeli madu di mana karena tidak tahu apakah madunya asli atau tidak. Dan aku berani menjamin bahwa maduku benar-benar asli sebab tidak diambil dari sembarang petani. Madu ini diambil dari petani yang sudah diinvestigasi secara ketat, memastikan kualitas dan keasliannya. Ini adalah Unique Selling Proposition (USP) yang kuat, yang selama ini luput dari perhatianku.
Modal awal usahaku sangat sederhana, berawal dari stok madu yang diberikan ayahku. Madu itu aku jual, lalu keuntungannya aku putar kembali, ditambah sedikit dari tabunganku pribadi untuk menambah stok. Ini adalah model bisnis yang sangat organik, tumbuh dari apa yang tersedia dan dimaksimalkan dengan semangat.
Tantangan terbesarku adalah kurangnya ilmu pengetahuan tentang produk yang kujual secara mendalam, dan yang lebih penting, kurangnya pengalaman dalam hal bisnis yang mencakup segala aspek seperti pembukuan keuangan, pemasaran, dan cara mendapatkan pelanggan. Untungnya, pengalamanku sebagai distributor produk herbal sejak 2016 sedikit banyak membantuku. Aku sudah memiliki sedikit database pelanggan di bidang herbal yang bisa menjadi titik awal.
Awalnya, aku banyak memberikan sampel. Penjualan datang dari pelanggan-pelanggan lama, dari komunitas UMKM, dan dari pameran-pameran kecil. Respons pelanggan terhadap madu yang aku jual sangat baik, dan beberapa di antaranya melakukan repeat order. Ini memberiku keyakinan bahwa aku berada di jalur yang benar.
Di tengah-tengah perjalanan usaha madu yang masih merangkak, penjualan tidak selalu stabil karena aku belum punya basis pelanggan yang besar. Ayahku kembali memberikan ide cemerlang. Beliau menyarankan aku untuk membuat fermentasi madu dengan bawang lanang. Aku mencoba membuatnya, dan ternyata lumayan laku saat itu. Merasa madu bawang lanang ini menjanjikan, aku langsung berinvestasi. Aku membeli dua toples kaca besar, masing-masing harganya hampir Rp 200.000, dan beberapa kilogram bawang lanang. Aku langsung membuat fermentasi sebanyak dua toples kaca besar dengan total modal kurang lebih satu jutaan, aku membuat dengan penuh harapan.
Namun, roda bisnis kadang berputar tak terduga. Aku belum tau bagaimana memasarkannya secara luas, penjualan madu bawang lanang ternyata menurun drastis setelah euphoria awal. Untungnya, fermentasi ini bisa bertahan lama, bahkan semakin enak rasanya jika semakin lama difermentasi. Aku tidak membuang madunya, melainkan menyimpannya. Aku belajar lagi bahwa antusiasme harus dibarengi dengan analisis pasar yang berkelanjutan.
Orang tuaku kemudian menyarankan ide lain: membuat bawang hitam atau black garlic. Aku mencoba membuatnya, namun hasilnya masih belum bisa sempurna seperti keinginanku. Aku tidak menyerah. Hasil black garlic yang belum sempurna itu justru memberiku ide untuk memanfaatkannya: aku menggunakannya untuk membuat fermentasi madu bawang hitam. Dan tak disangka, banyak yang suka dan merasa terbantu dalam hal kesehatan. Banyak yang merasakan khasiatnya setelah mengonsumsi madu bawang hitam, sehingga aku memutuskan untuk melanjutkan produksi madu bawang lanang hitam. Ini adalah bukti bahwa terkadang, kegagalan dalam satu produk bisa menjadi bahan baku untuk inovasi produk lain.
Momentum berikutnya datang saat aku mengikuti pameran di Mall Malioboro, salah satu mall terkenal di Yogyakarta. Beberapa pengunjung menanyakan mengapa aku tidak menjual black garlic-nya saja, tanpa madu. Mereka ingin mengonsumsi black garlic murni, tanpa campuran madu. Dari sana, aku mulai berpikir, “Bagaimana ya caranya?” Sebuah pertanyaan sederhana dari pelanggan, membuka pintu inovasi baru.
Aku kembali berjibaku dengan eksperimen di dapur. Aku mencoba membuat black garlic agar hasilnya bagus dan konsisten. Ini bukan hal mudah. Seringkali hasilnya tidak stabil. Aku tidak tahu di mana letak kesalahannya. Terkadang bagus, terkadang kurang baik dari segi tekstur atau rasa. Proses ini memakan waktu dan modal yang tidak sedikit. Aku menghabiskan banyak sekali uang untuk uji coba, trial and error. Setiap kegagalan adalah biaya, tetapi juga pelajaran. Setelah beberapa kali percobaan, aku akhirnya menemukan waktu yang tepat untuk memfermentasi agar hasilnya baik dan konsisten.
Dengan temuan ini, aku memberanikan diri untuk menjual black garlic tanpa madu. Dan Alhamdulillah, banyak yang membeli. Ini adalah validasi bahwa mendengarkan konsumen adalah kunci inovasi. Produk yang tidak terpikirkan sebelumnya, kini menjadi salah satu flagship produk Salmara Madu.
Namun, seiring dengan meningkatnya pesanan, tantangan baru muncul: kapasitas produksi. Kapasitasku masih sangat kecil. Aku memutuskan untuk berinvestasi lagi, membeli alat elektronik yang lebih besar dengan harga hampir 2 juta rupiah, yang diharapkan bisa meningkatkan produksi hingga tiga kali lipat. Namun, di luar dugaan, alat itu tidak sesuai dengan yang aku harapkan. Hasilnya tidak optimal. Aku harus berpikir ulang bagaimana caranya agar alat yang sudah kubeli ini tetap bisa terpakai dan berguna. Ini masih menjadi tantangan yang aku hadapi hingga saat ini, terutama karena selera konsumen terhadap tekstur black garlic ini berbeda-beda.
Aku juga pernah gagal membuat black garlic karena mencoba ukuran yang berbeda. Biasanya aku membuat dengan ukuran sedang dan saat itu aku mencoba membuat dengan ukuran besar karena stok ukuran sedang nya habis. Dan ternyata hasilnya tidak sesuai, karena rasanya tidak manis dan agak pahit. Lagi-lagi, pelajaran tentang konsistensi dan standar kualitas.
Semua trial and error ini, meskipun menghabiskan banyak modal, adalah investasi dalam ilmu dan pengalaman. Setiap kegagalan adalah laboratorium. Aku tidak melihatnya sebagai kerugian, melainkan sebagai proses pendewasaan bisnis. Aku belajar tentang Research & Development (R&D) dengan cara yang paling praktis dan personal.
Perjalananku di dunia UMKM tak lengkap tanpa cerita pameran. Inilah medan tempur sesungguhnya, tempat aku berinteraksi langsung dengan calon pelanggan, menguji strategi, dan melihat langsung kompetitor.
Dulu setiap kali aku melihat pameran atau stand produk UMKM di Mall aku selalu membatin “Gimana ya caranya bisa jadi seperti mereka, suatu saat aku juga pengen kayak mereka bisa buka stand di Mall” dan ajaibnya beberapa tahun kemudian hal itu jadi kenyataan.
Pameran pertama yang aku ikuti adalah dari program TikTok Jalin Nusantara, yang eksekusi akhirnya mengadakan pameran di Jogja City Mall (JCM) di Jalan Magelang. Suasana di JCM saat itu ramai, tapi tidak terlalu padat. Stand-stand berjejer rapi, dengan banner megah dan dekorasi menarik dari peserta lain. Aku datang dengan persiapan yang masih sangat sederhana, jauh tertinggal dibandingkan yang lain.
Saat itu, demi mendapatkan sebuah daftar nama, aku rela memberikan sampel madu gratis 60 ml untuk siapapun yang mau mengisi nama dan nomor handphone di buku yang aku siapkan dan berfoto di depan stand-ku. Aku berharap data ini bisa menjadi modal untuk follow-up penjualan di kemudian hari. Ada beberapa orang yang membeli, dan aku beri bonus gratis dengan syarat tersebut.
Namun, ada satu cerita lucu yang cukup mengena. Datang dua laki-laki, mereka juga meminta sampel gratis. Aku beri asalkan mereka menjalankan syaratnya, dan benar, mereka menjalankan syaratnya. Tapi ternyata, mereka itu teman dari stand sebelah-sebelahku, bukan pelanggan yang memang mau membeli maduku. “Ya ampun, sepertinya aku salah sasaran dan perlu memperbaiki kembali sistem yang aku terapkan ini,” batinku. Pelajaran berharga: validasi data itu penting, dan taktik harus lebih terarah agar tidak membuang sumber daya. Meskipun begitu, dari pengalaman ini, aku mulai berani untuk mengikuti kurasi-kurasi pameran yang lainnya. Rasa malu di awal perlahan digantikan oleh semangat untuk terus belajar dan berbenah.
Lalu pameran selanjutnya aku mengikuti pameran di Lippo Plaza Jogja, itu pun tanpa sengaja. Ternyata, ada temannya temanku yang sudah terlanjur membayar stand pameran selama tiga hari di Lippo Plaza, tetapi tidak bisa hadir sebab harus ke Jakarta. Dia kemudian menawarkan kepada temanku, sebut saja Bu Reni. (Sebagai informasi, Aku, Bu Reni, dan Mahanani adalah teman dekat dari lingkungan perusahaan herbal, kami sesama member distributor herbal tersebut). Karena Bu Reni tahu aku dan Mahanani suka ikut pameran, akhirnya mereka menawarkan pada Mahanani, dan Mahanani memberitahuku. Dengan senang hati aku menerima dan akhirnya kami berdua memberanikan diri membuka pameran di situ.
Saat itu, aku menjual madu Akasia dan untuk menarik customer, aku membuka praktik untuk cek darah dengan harga yang murah guna mengetahui kadar glukosa, kolesterol, asam urat, dan oksigen darah. Strategi ini cukup berhasil. Alhamdulillah, lumayan banyak yang datang dan beberapa sekalian membeli maduku. Ini menunjukkan bahwa nilai tambah dan pelayanan kesehatan bisa menjadi daya tarik yang efektif.
Setelah itu, aku mengikuti pameran di Lippo Plaza itu selama satu minggu, dari jam 09.00 pagi sampai jam 10.00 malam. Minggu-minggu pertama pameran ini penuh dengan tantangan. Hari-hari weekday stand-ku sepi, pengunjung yang datang sangat sedikit. Aku merasa bosan dan mengantuk ketika menunggu stand yang sepi. Ada juga sedikit rasa malu ketika melihat stand yang lain lebih ramai setiap hari dibandingkan stand-ku. Aku bertanya-tanya, apakah ada yang salah dengan produkku? Atau strategi promosiku? Namun, aku berusaha untuk tetap bertahan, menjaga semangat, dan sesekali melihat bagaimana stand lain berinteraksi dengan pengunjung. Tapi alhamdulillahnya, ketika weekend tiba, stand-ku mulai banyak yang mendatangi dan membeli produkku. Setidaknya ada yang membeli, ini melegakan. Aku belajar bahwa dinamika pengunjung weekday dan weekend itu berbeda jauh, dan strategi harus disesuaikan.
Aku juga mengikuti pameran di gedung GIK UGM selama tiga hari. Di sini produkku masih hanya madu Akasia saja, masih dengan dominasi warna hitam , Madu nya hitam, Taplak meja nya hitam, serba hitam yang sempat membuatku merasa seperti “dukun” haha. Tapi saat itu, aku menambahkan varian baru, yaitu permen jeli madu yang aku buat sendiri. Sebuah inovasi kecil yang aku harapkan bisa menarik segmen konsumen yang berbeda, terutama anak-anak. Permen jeli itu laku beberapa pcs dan beberapa lainnya aku bawa pulang lagi. Untuk madunya, alhamdulillah juga laku lumayan banyak, termasuk madu murni dan juga madu bawang hitamnya. Ini adalah langkah maju, menunjukkan bahwa diversifikasi produk mulai membuahkan hasil.
Tak hanya itu, aku juga mengikuti pameran selama 3 hari di perumahannya Bu Reni yang termasuk perumahan elit. Lingkungan yang berbeda, target pasar yang lebih spesifik. Dari pameran ini, lumayan selama 3 hari tersebut aku mendapatkan omset kurang lebih Rp 700.000. Sebuah angka yang cukup signifikan untuk pameran skala kecil, menunjukkan potensi dari networking dan target pasar yang tepat.
Di tahun 2025, tepatnya di akhir bulan Februari, sekitar 2,5 bulan sebelum aku tahu kalau aku diterima menjadi salah satu peserta inkubasi bisnis ini, ada sebuah episode penting dalam hidupku. Aku sempat memutuskan untuk melamar pekerjaan di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang online. Kala itu, aku merasa bisnisku sedang sangat menurun. Penjualan madu dan black garlic belum stabil, dan aku merasa harus mencari kesibukan lain untuk mengisi waktu yang bisa menghasilkan uang secara lebih pasti.
Tadinya, mereka meminta aku untuk bekerja 6 jam per hari sebagai host live streaming, tetapi aku menolak dan hanya sanggup untuk shift 3 jam per hari. Mungkin karena mereka sedang kekurangan host live, jadi mereka menerima tawaranku.
Jadi, dua hari setelah wawancara online itu, aku langsung masuk bekerja menjadi seorang host live di platform TikTok dan Shopee. Awalnya di sana masih baru ada dua brand: brand kosmetik skin care dan brand jam tangan digital. Hari pertama aku kerja, aku ditempatkan di brand jam tangan itu. Seminggu setelahnya barulah aku ditempatkan di brand skin care. Awalnya aku takut, sih, karena skin care ini banyak sekali jenisnya dan aku khawatir kalau ada yang tanya, aku tidak bisa menjelaskan. Namun, ternyata setelah dua minggu aku bekerja, Aku lebih menyukai di brand skin care ini. (Sebagai informasi, di brand skin care ini, aku bekerja sebagai affiliate, jadi lebih santai karena target tidak seketat jika menggunakan akun perusahaan, yang performa live-nya sangat dipantau).
Lalu, mulailah muncul tiga brand lain: brand tas, brand skin care Korea untuk kalangan tinggi, dan brand furniture. Aku mulai keteteran menyesuaikan jam kerja karena tuntutan jam kerja yang sangat banyak sekali dengan jumlah host yang terbatas, sampai-sampai banyak host yang jam kerjanya double-double. Ya, walaupun dibayarnya double, tapi aku tetap tidak mau kerja double. Kerja 3 jam per hari dengan sorot lampu yang terang benderang dari dua box lampu di depanku, ditambah mata yang full menatap layar komputer, itu sudah membuatku pusing. Apalagi aku punya mata minus dan silinder. Aku sangat tidak cocok dengan pekerjaan ini karena aku merasa energiku jadi mudah terkuras habis dan mudah migrain.
Tapi mau tidak mau, aku harus selesaikan sampai habis dua bulan kontrak di pertengahan bulan April. Sambil menunggu waktu resign, aku mempelajari apa saja yang digunakan untuk live, bagaimana caranya, bagaimana sistemnya, barangkali ada informasi yang berguna untukku ke depannya. Dan disini juga aku jadi tahu mic bluetooth apa yang bagus kualitasnya untuk host live, hehe.
Lalu, tiba di awal April, aku masih fifty-fifty antara mau resign atau tidak. Namun, karena semakin banyak peraturan yang menekan dan tidak masuk akal bagiku, apalagi aku tipekal orang yang nggak terlalu suka kerja sama orang, pada akhirnya aku memutuskan untuk resign. Aku juga mempertimbangkan bagaimana kalau nanti aku ternyata diterima di inkubasi itu—yang saat itu proses seleksinya masih berjalan. Kalau aku masih kerja, pasti aku tidak akan bisa fokus mengikuti inkubasi. Jadi, aku memutuskan resign untuk berjaga-jaga barangkali aku diterima. Lagipula, aku juga sudah lelah bekerja di sana. Sekalian aku mau fokus ke bisnisku lagi. Dan ternyata benar, aku Alhamdulillah diterima ikut program inkubasi bisnis naik kelas 2025! Sebuah keputusan yang tepat, yang terasa seperti sebuah dorongan semesta.
Saat itu, aku masuk ke dalam 75 besar peserta yang katanya sudah diseleksi ketat dari 125 pendaftar. Aku merasa sangat bersyukur sekali. Sebuah pengakuan kecil atas kerja kerasku selama ini. Sampai akhirnya, aku mengikuti inkubasi bisnis tahap pertama. Di sanalah aku merasa sangat terkesan dengan materi yang dibawakan. Terutama materi keuangan, yang selama ini aku cari-cari dan tidak pernah aku pahami. Materi ini sering menjadi momok bagiku, begitu rumit dan membingungkan, penuh istilah yang asing. Namun, di inkubasi bisnis ini, aku mendapatkan materi tersebut dan bisa aku pahami dengan mudah. Cara penyampaian mentor yang sederhana dan contoh-contoh praktis membuat konsep seperti HPP, BEP, laporan laba rugi atau arus kas menjadi jelas. Ini adalah sebuah pencerahan, sebuah missing piece yang selama ini aku cari untuk menjalankan bisnis dengan lebih profesional. Aku mulai bisa memisahkan keuangan pribadi dan bisnis, membuat pencatatan yang lebih rapi, dan memahami pentingnya analisis keuangan untuk pengambilan keputusan.
Namun, perjalanan di inkubasi ini pun tidak lepas dari tantangan. Tantangan terbesarku adalah mood-ku sendiri. Terkadang, tekanan tugas, tuntutan waktu, dan masalah internal bisnis bisa menguras energi dan semangat. Ditambah lagi, di saat-saat minggu terakhir pengumpulan tugas, aku mendapatkan pengalaman tidak menyenangkan tentang alat produksi black garlic yang baru kubeli. Alat itu lagi-lagi bermasalah. Aku merasa gagal menggunakannya secara optimal. Hasilnya tidak konsisten, ada yang lembek, ada yang keras. Rasanya aku hampir menyerah, bukan karena kegagalannya, tapi karena merasa tidak enak hati. Ada banyak pesanan yang harus aku cancel padahal pelanggan sudah menunggu sangat lama untuk pre-order. Aku khawatir mengecewakan pelanggan dan reseller sehingga membuat mereka kehilangan kepercayaan kepadaku.
Kala itu, deadline pengumpulan tugas adalah jam 12.00 malam. Aku masih berkutat dengan kekecewaan dan tugas yang belum selesai. Dua jam terakhir sebelum deadline, aku membaca di grup obrolan peserta, ada yang mengatakan, “Tidak peduli bagaimana hasilnya, yang penting sudah menyelesaikan tanggung jawab sebagai peserta.” Kata-kata itu menohokku, menyadarkanku. Tugas ini adalah tanggung jawabku sebagai peserta. Kalau aku tidak mengumpulkan, sama saja aku tidak bertanggung jawab dan tidak bersyukur sudah sampai di tahap ini. Rasa bersyukur itu mengalahkan rasa putus asa. Aku langsung mengerjakan kekurangan tugas yang belum kuselesaikan, fokus pada apa yang bisa kulakukan di sisa waktu. Tepat di menit-menit terakhir sebelum jam 12.00 malam, aku berhasil mengirimkan tugas tersebut. Sebuah kemenangan kecil atas diri sendiri, sebuah bukti bahwa ketekunan dan tanggung jawab adalah kunci.
Dari program inilah aku juga merasakan punya teman seperjuangan sehingga bisa menjadi lebih semangat lagi. Aku juga menjadi lebih terbuka bahwa berbisnis itu banyak sekali dokumen-dokumen, file laporan, dan administrasi yang memang seharusnya ada. Bisnis bukan hanya sekadar berjualan, tetapi sebuah ekosistem yang membutuhkan manajemen yang profesional. Aku bersyukur mendapatkan kelompok yang sangat-sangat supportive satu dengan yang lainnya, dan juga pembimbing di kelompok kecil yang sangat effort membimbing kami. Mereka tidak hanya sekadar memberikan arahan, tetapi juga menjadi tempat berbagi keluh kesah dan mencari solusi bersama. Aku juga senang mendapatkan banyak relasi teman-teman UMKM yang bisa saling berbagi cerita pengalaman berbisnis. Ini menambah wawasan dan membuatku belajar dari pengalaman mereka, baik suka maupun duka.
Dapatkan materi dan cerita INKUBASI BISNIS 2025 di sini!
Program Inkubasi Bisnis UMKM Naik Kelas 2025 ini adalah booster yang sangat aku butuhkan. Materi-materi yang diberikan, terutama tentang keuangan dan manajemen, telah membuka wawasanku tentang bagaimana menjalankan bisnis yang sesungguhnya, bukan hanya sekadar jualan. Aku belajar tentang pentingnya pencatatan, analisis, dan perencanaan.
Setelah program ini, aku memiliki target yang lebih jelas. Jangka pendek, aku ingin memastikan konsistensi kualitas black garlic agar selalu sempurna, dan juga memperluas varian madu Salmara Madu agar bisa memenuhi kebutuhan pasar yang beragam. Aku juga akan fokus pada digital marketing yang lebih terarah, menggunakan ilmu yang kudapat dari inkubasi untuk menjangkau pasar yang lebih luas di luar jangkauan pameran fisik. Aku ingin mengoptimalkan platform penjualan online dan membangun brand awareness Salmara Madu secara daring.
Jangka panjang, aku bercita-cita untuk meningkatkan kapasitas produksi secara signifikan, dengan mencari solusi atas kendala alat produksi black garlic yang belum optimal. Aku ingin membangun workshop kecil yang representatif, memiliki tim yang solid dan profesional, serta memperkuat rantai pasokan dengan petani madu yang terpercaya. Visi utamaku adalah menjadikan Salmara Madu sebagai merek madu asli terkemuka yang terpercaya di Indonesia, bahkan memiliki potensi untuk ekspor. Aku juga ingin bisa memberdayakan lebih banyak petani madu lokal, memastikan mereka mendapatkan harga yang adil dan berkelanjutan untuk hasil panen mereka.
Pelajaran paling berharga yang kudapatkan dari seluruh perjalanan ini, khususnya dari program inkubasi, adalah pentingnya ilmu, jejaring, dan ketekunan. Bisnis bukanlah sekadar menjual produk, melainkan sebuah ekosistem yang membutuhkan pemahaman mendalam tentang setiap aspeknya: produksi, keuangan, pemasaran, branding, legalitas, hingga sumber daya manusia. Jejaring dan mentor adalah kompas di tengah lautan ketidakpastian. Mereka adalah support system yang tak ternilai harganya. Dan yang paling penting, ketekunan adalah bahan bakar utama. Kegagalan adalah guru terbaik, asalkan kita mau belajar darinya dan tidak menyerah.
Untuk UMKM lain yang sedang berjuang atau yang ingin “naik kelas”, pesanku adalah:
Aku berharap Salmara Madu tidak hanya menjadi cerita sukses pribadiku kelak, tetapi juga dapat berkontribusi pada ekonomi lokal dan nasional. Dengan mengutamakan madu asli dari petani lokal yang terinvestigasi ketat, aku ingin membantu meningkatkan kesejahteraan petani madu. Aku ingin menciptakan lebih banyak lapangan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, dari proses produksi hingga distribusi. Aku juga berharap bisa mengedukasi masyarakat tentang pentingnya mengonsumsi madu asli dan manfaatnya bagi kesehatan, serta mengangkat citra produk UMKM Indonesia agar semakin dihargai di kancah nasional maupun internasional.
Perjalanan Salmara Madu, dari sebuah jerigen madu tak terduga hingga menjadi bagian dari program UMKM Naik Kelas 2025, adalah bukti bahwa setiap asa, sekecil apapun, bisa tumbuh menjadi pohon rindang asalkan disirami dengan semangat pantang menyerah, ilmu, dan keyakinan. Ini baru permulaan, dan aku siap untuk babak selanjutnya dalam perjalanan Salmara Madu, perjalanan menuju kelas yang lebih tinggi, dan kontribusi yang lebih besar.
Mau Konsultasi?