Saya diterima di STAN juga waktu itu, tapi akhirnya saya memilih untuk tidak sekolah dan bekerja. Saya mulai dari pelayan toko, jadi kasir, berpindah-pindah pekerjaan. Pernah gaji sebulan cuma Rp20.000, lalu naik jadi Rp35.000. Saya juga mengajar les matematika dan bahasa Inggris untuk anak-anak. Saya merasa karena saya tidak kuliah, saya perlu bekerja lebih keras daripada orang lain.
Saya pernah tinggal di Riau, kemudian menikah dan punya anak. Saya juga berusaha membuka berbagai usaha sebelum Dea Bakery. Pernah jualan ikan asin, mie ayam, hingga buah pinang di Medan. Banyak usaha yang kurang berhasil karena kurang ilmu, leadership yang buruk, dan akhirnya saya tutup usaha-usaha tersebut. Tahun 1998, usaha kredit barang rumah tangga saya bangkrut akibat krisis moneter, dan modal habis. Saat itu saya mulai berjualan kue, mengambil kue dari bakery dan ibu rumah tangga lain. Saya menawarkan kue-kue itu ke instansi dan sekolah-sekolah dengan membawa prislist.
Pesanan mulai dari 50 kotak, 100 kotak, hingga ribuan kotak. Saat itu saya belum bisa membuat kue, jadi saya mulai belajar membuatnya. Saya pernah menjadi single parent selama 5 tahun di Medan, berjuang sendiri untuk membesarkan tiga anak. Saya pernah bekerja menjadi sales yang jalan kaki, dengan gaji bulan pertama nol. Itu adalah perjalanan yang sangat sulit, tapi saya tetap berusaha.
Menarik Untuk Dibaca : Misteri Proyek Nimbus
Ketika pindah ke Kepanjen Malang, saya membuka toko bahan kue kecil di pasar dengan modal hanya Rp26 juta. Omzet pertama hanya Rp15.000 sehari, tapi saya tetap bertahan. Saya berbagi resep kue dengan pelanggan dan mulai menerima pesanan kue. Dari sana, usaha saya mulai berkembang, dan saya berani membuka bakery sendiri dengan enam orang karyawan pada tahun 2009. Usaha ini saya jalani seperti merawat bayi, bekerja keras siang malam, bahkan hingga pulang pagi.
Alhamdulillah, saya menemukan passion saya di dunia kue. Saya senang melihat roti mengembang di dalam oven. Saya ingin menjadi tukang kue yang bisa memuaskan pelanggan. Berkat dukungan pelanggan dan saudara-saudara, usaha saya semakin berkembang. Pada tahun 2010, saya mulai membuka cabang dan sekarang kami memiliki 36 cabang dengan ratusan karyawan.
Di Dea, kami memiliki identitas sebagai pejuang keluarga, pembelajar, dan pencinta Al-Qur’an. Setiap karyawan diajak untuk selalu belajar dan mengembangkan diri. Kami juga memiliki program ngaji setiap hari di Dea. Filosofi kami adalah “tiga pemenang”: pemenang pertama adalah customer, pemenang kedua adalah mitra kerja, dan pemenang ketiga adalah diri kita sendiri. Kami selalu berusaha memberikan produk berkualitas dengan harga yang terjangkau, serta memperhatikan kesejahteraan karyawan.
Ketika pandemi datang, kami khawatir bagaimana nasib usaha kami, tapi alhamdulillah, kami tetap buka dan tidak memecat satu pun karyawan. Bahkan ketika saya terkena Covid-19 dan harus dirawat, omzet tetap meningkat. Allah menunjukkan bahwa segala sesuatu terjadi karena izin-Nya.
Saya juga bangga bahwa di Dea, kami membangun program spiritual, seperti Al-Qur’an camp untuk karyawan. Kami ingin tidak hanya sukses di dunia, tetapi juga di akhirat. Kami juga memiliki program umrah untuk karyawan yang sudah bekerja selama 5 tahun dan hafal Juz Amma.
Di masa depan, kami ingin membangun lebih banyak cabang dan memberikan lebih banyak manfaat bagi masyarakat. Misi kami adalah syiar makanan halal dan thayib, serta menciptakan kesejahteraan bagi karyawan kami. Kami sadar bahwa hasil yang kami peroleh harus dibagikan kepada yang lain.
Saya sangat bersyukur dengan perjalanan ini, yang tentu tidak selalu manis. Saya berharap Allah selalu meridhoi perjalanan kami, dan kami bisa meninggalkan jejak yang baik bagi anak-anak dan masyarakat. Terima kasih banyak.
Semoga dengan cerita owner Dea Bakry ini menjadi pemantik semangat kita dalam berusaha. Terus memikirkan agar bisnis bisa berkembang. Salam Satoeasa untuk Indonesia
Menarik Untuk Ditonton : Pentingnya Memiliki Goal Dalam Bisnis
sumber : pecah telur
Mau Konsultasi?