Strategi Membangun Social Media Presence untuk Brand: Belajar dari Content Creator Tanpa Menjiplak Mentah-Mentah
Setiap brand owner pasti ingin agar brand mereka memiliki social media presence yang kuat. Follower banyak, konten sering masuk FYP di TikTok, trending di Twitter, dan viral di berbagai platform sosial media. Tidak heran jika banyak brand mencoba meniru strategi content creator sukses, bahkan sampai meng-hire mereka untuk bekerja secara internal dalam tim brand. Namun, apakah semudah itu?
Hadirnya sosial media dengan traction yang luar biasa membuat brand tidak bisa mengabaikan keberadaannya. Meskipun atribusi langsung ke penjualan sulit diukur, tetap saja, hampir semua brand berusaha membangun kehadiran di sosial media. Mereka mengalokasikan tim khusus dan anggaran besar untuk membuat konten dan menarik perhatian audiens.
Namun, sekadar meniru strategi content creator bukanlah jaminan keberhasilan. Bahkan, ada banyak kasus di mana brand yang meniru atau merekrut content creator sukses tetap gagal dalam membangun social media presence mereka. Kenapa? Berikut adalah beberapa faktor yang membuat strategi content creator tidak bisa diterapkan secara langsung ke dalam brand.
Salah satu alasan utama sebuah konten bisa viral adalah relevansi dengan audiensnya. Content creator memiliki kebebasan dalam menciptakan konten yang relevan, bahkan terkadang konten yang tidak memiliki makna mendalam pun bisa viral.
Sebagai contoh, ada seorang content creator terkenal yang menunjukkan salah satu videonya yang mencapai jutaan views di TikTok. Isi videonya? Hanya dia yang sedang makan bekal dari rumah. Makanan biasa, tidak ada hal spesial, hanya sekadar ditampilkan dan dikunyah di depan kamera.
Sekarang, bayangkan jika brand mencoba membuat konten seperti itu. Apakah brand bisa memposting video seseorang yang hanya makan bekal?
Kemungkinan besar akan ditolak oleh atasan.
Akan muncul pertanyaan: “Apa hubungannya dengan brand kita?”
Audiens akan bingung: “Brand ini ngapain sih bikin konten kayak gini?”
Dengan kata lain, content creator memiliki keleluasaan lebih besar dalam menentukan relevansi, sedangkan brand harus lebih selektif. Brand bukan hanya harus relevan dengan tren, tetapi juga harus tetap sesuai dengan identitas dan nilai brand mereka.
Content creator bisa membuat konten dengan posisi netral karena mereka tidak menjual produk langsung. Audiens tidak memiliki mekanisme pertahanan (defense mechanism) terhadap mereka, sehingga lebih mudah menerima kontennya.
Namun, brand selalu dianggap memiliki tujuan terselubung, yaitu menjual produk. Ini membuat audiens secara alami lebih skeptis dan defensif ketika melihat konten dari brand. Sejak awal, mereka sudah sadar bahwa brand pasti ada maunya.
Kita bisa melihat bagaimana content creator yang awalnya netral dan jujur, lalu berubah menjadi endorse berbagai produk tanpa filter, akhirnya kehilangan kepercayaan dari audiens mereka. Sama halnya dengan brand. Jika brand terlalu mementingkan promosi tanpa membangun kepercayaan terlebih dahulu, audiens akan menjauh.
Menarik Untuk DIbaca : Pentingnya Riset Pasar
Rumus utama dalam membangun brand adalah konsistensi. Content creator memang perlu membangun personal brand, tetapi mereka memiliki ruang gerak yang lebih fleksibel dibandingkan brand.
Sebagai contoh, banyak content creator yang menggunakan strategi “quantity over quality”. Mereka membuat banyak konten terlebih dahulu, melihat mana yang berhasil (viral), lalu memperbanyak jenis konten tersebut.
Namun, brand tidak bisa melakukan hal yang sama.
Jika brand hanya fokus membuat banyak konten tanpa menjaga kualitas, brand image dan konsistensi pesan akan hancur.
Konsumen tidak akan memiliki gambaran jelas tentang brand tersebut.
Akhirnya, memori audiens tentang brand menjadi lemah.
Ketika brand ingin memahami keinginan konsumen, mereka tidak bisa hanya melakukan trial and error dengan membuat banyak konten secara acak. Cara terbaik adalah dengan melakukan riset lebih dulu, bukan sekadar mencoba-coba dan melihat mana yang viral.
Karena content creator bersifat netral dan tidak memiliki agenda menjual, semakin sering mereka memposting konten, semakin banyak pilihan bagi audiens. Makin banyak konten yang mereka buat, makin baik.
Namun, brand tidak bisa menerapkan strategi ini.
Jika brand terlalu sering muncul di feed sosial media, audiens akan merasa brand ini terlalu agresif dan hanya ingin jualan.
Ini bisa membuat audiens merasa terganggu dan akhirnya unfollow atau unsubscribe.
Algoritma sosial media juga bisa menurunkan prioritas konten brand jika dianggap terlalu sering muncul tanpa engagement yang cukup.
Jadi, brand harus mencari keseimbangan antara frekuensi posting dan relevansi konten. Semakin relevan dan menarik konten yang dibuat, semakin besar kemungkinan audiens tetap terlibat tanpa merasa terganggu.
Banyak brand masih terlalu brand-centric, hanya fokus pada apa yang mereka jual. Padahal, brand harus lebih memahami konsumen dan mencari angle yang relevan dari perspektif mereka.
Seperti kata pepatah, “Brand story is not a story about the brand, but a story about the consumer in their best version, with the brand as an enabler.”
Jadi, brand bukan sekadar menceritakan tentang dirinya sendiri, tetapi harus menunjukkan bagaimana brand bisa membantu konsumen mencapai versi terbaik dari diri mereka.
Karena brand tidak bisa netral, maka cara terbaik untuk mengurangi skeptisisme adalah dengan membangun relevansi.
Audiens tidak bermasalah dengan iklan atau penawaran brand, asalkan mereka merasa brand benar-benar memberikan nilai. Yang membuat mereka terganggu adalah ketika brand memaksakan promosi tanpa relevansi.
Repetisi adalah kunci dalam membangun brand memori. Namun, repetisi harus dilakukan secara konsisten dan tidak berantakan.
Jika ingin memahami keinginan konsumen, jangan asal mencoba konten secara acak. Lakukan riset dan pahami arah brand image yang ingin dibangun, lalu buat konten yang sesuai dengan arah tersebut.
Jika brand sudah menemukan relevansi dan membangun kepercayaan, maka intensitas posting tidak lagi menjadi masalah.
Audiens tidak akan merasa terganggu dengan konten yang sering muncul jika kontennya benar-benar relevan dan bernilai bagi mereka.
Kita bisa banyak belajar dari content creator dalam hal membangun audiens dan engagement di sosial media. Namun, strategi mereka tidak bisa langsung diterapkan ke brand karena perbedaan mendasar dalam tujuan dan persepsi audiens.
Content creator hanya ingin viral dan mendapatkan follower.
Brand ingin membangun citra dan meningkatkan penjualan.
Viral bisa menjadi jalan untuk mencapai penjualan, tetapi bukan tujuan utama. Bahkan, banyak kasus di mana sebuah brand bisa sukses tanpa viral, dan sebaliknya, viral tetapi tidak meningkatkan penjualan.
Jadi, bagi brand owner, penting untuk menyesuaikan strategi sosial media dengan karakter brand. Memahami relevansi, membangun kepercayaan, menjaga konsistensi, dan menyeimbangkan intensitas adalah kunci dalam menciptakan social media presence yang sukses dan berkelanjutan.
Menarik Untuk Ditonton : Afirmasi Magnet Uang
Mau Konsultasi?