Dalam talk show Emergence episode 4 lalu, chat room penuh dengan curhatan: bos yang pasif, tak memberi arah, atau bahkan suka menyuruh tanpa tahu apa yang sedang disuruh. Tapi yang lebih mengejutkan sebenarnya bukanlah bos-bos itu, melainkan betapa banyak dari kita yang berhenti bertumbuh hanya karena bos kita tidak menumbuhkan kita. Kita mengaitkan nasib karir pada satu sosok, yaitu atasan. Padahal hidup, karir, dan masa depan seharusnya tidak ditentukan oleh satu orang pun, kecuali diri kita sendiri.
Mari kita akui, lingkungan kerja tidak selalu ideal. Ada tempat yang penuh mentoring dan kesempatan bertumbuh, tapi lebih banyak tempat yang sepi arah dan miskin tantangan. Apakah itu berarti kita harus ikut stagnan? Sayangnya, banyak dari kita terjebak pada kebiasaan lama: menunggu. Menunggu dikasih pelatihan, menunggu diajak, menunggu disuruh. Kita pikir selama loyal dan rajin bekerja, semuanya akan otomatis berkembang. Padahal dunia tidak bergerak dengan hukum otomatis. Dunia bergerak dengan hukum kesadaran. Stagnasi sesungguhnya adalah alarm, bukan kutukan—tanda bahwa sudah waktunya kita mengubah arah, meng-upgrade sistem operasi dalam diri, bukan menunggu sistem luar berubah lebih dulu.
Menarik Untuk Dibaca : UMKM gagal Masuk Marketplace ?
Banyak orang hidup seperti hamster di roda: berputar terus, tapi tidak pernah ke mana-mana. Mereka bekerja mengejar target, tapi kehilangan makna. Dan yang paling fatal, mereka tidak sadar bahwa bisa saja melompat keluar dari roda itu. Kenapa? Karena merasa tidak punya pilihan. Padahal selalu ada pilihan. Pilihan untuk bertanya, belajar, bertumbuh, dan menciptakan panggung sendiri ketika panggung tidak diberikan.
Untuk itu, kita perlu mengaktifkan dua core engine dari seorang high-performing individual: akal yang terjaga dan jiwa yang menyala. Akal yang terjaga membuat kita sadar bahwa sistem di luar tidak selalu ideal, tetapi kita bisa tetap melangkah dengan logika jernih. Kita mulai berpikir kritis: apa yang bisa saya pelajari dari atasan saya, bahkan dari kekurangannya? Mungkin dia pasif, tapi justru itu melatih kita untuk proaktif. Mungkin dia tidak memberi arahan, tapi itu ladang latihan untuk membangun arah kita sendiri.
Penelitian Jeffrey Crant (2000) menyebutkan bahwa perilaku proaktif dalam organisasi merupakan prediktor kuat dari promosi dan pencapaian kerja jangka panjang. Mereka yang proaktif, yang secara sadar mencari tantangan dan mengambil inisiatif untuk bertumbuh, memiliki peluang karir jauh lebih tinggi dibandingkan mereka yang menunggu perintah.
Lalu tentang jiwa yang menyala—ini adalah soal keberanian. Tentang gairah yang tak padam meski tak ada yang memuji. Tentang semangat belajar yang tak menunggu instruksi. Karena kita sadar, kita diciptakan bukan untuk menjadi tukang suruh berdasi, melainkan untuk menjadi manusia utuh yang bertumbuh setiap hari. Dorongan dari dalam diri untuk berkembang jauh lebih kuat dan bertahan lama dibandingkan motivasi dari luar seperti pujian, bonus, atau perintah atasan. Inilah kesimpulan penelitian C.N. Ryan (1991). Artinya, kendali perkembangan Anda tidak pernah benar-benar ada di tangan atasan, melainkan di tangan Anda sendiri.
Sahabat, seorang inovator tidak menunggu diberikan panggung, karena ia tahu panggung tidak selalu tersedia bagi mereka yang hanya menanti giliran. Ia menciptakan panggungnya sendiri—dari ide, keberanian, dan ketekunan. Ia hadir bukan sekadar pengikut arus, tapi pembuka jalan.
Seorang kawan pernah bercerita, ia bekerja bertahun-tahun di bawah atasan yang jarang bicara, tak pernah memberi evaluasi apalagi apresiasi. Awalnya ia frustrasi, tapi suatu hari ia memutuskan berhenti mengutuk situasi dan mulai mengubah pendekatannya. Ia mempelajari pola kerja tim, mencatat masalah yang muncul setiap minggu, lalu mencari solusinya sendiri. Ia mendokumentasikan semua proses belajarnya hingga akhirnya, dalam evaluasi tahunan, justru ia yang diangkat menjadi project leader karena dinilai mampu menyelesaikan masalah tanpa menunggu aba-aba. Satu langkah kecil menjadi titik balik besar. Bukan karena bosnya berubah, melainkan karena ia mengubah dirinya sendiri.
Pertanyaannya, berapa banyak dari kita yang berani memulai langkah itu? Berapa banyak yang siap keluar dari mentalitas disuapi menuju mentalitas mencari makan sendiri? Sadari bahwa karir naik bukan karena waktu, tapi karena kapasitas. Bukan karena senioritas, tapi karena kontribusi. Dan kontribusi lahir bukan dari kerja keras semata, melainkan dari kerja sadar, dari proses belajar yang terus-menerus.
Lihatlah tempat kerja seperti gym. Setiap hari adalah latihan: bos yang sulit adalah latihan kesabaran, proyek yang ambigu latihan kreativitas, anak buah yang keras kepala latihan leadership. Dan dalam gym ini, kita bisa saja mendapat pelatih yang galak atau acuh-acuh. Tapi yang terpenting, kita tetap berlatih. Karena tujuan akhir kita bukan menyenangkan pelatih, melainkan membentuk otot mental kita sendiri.
Saya percaya bahwa setiap tantangan adalah tanda, setiap hambatan adalah isyarat. Bahwa di balik semua keluhan, ada peluang pertumbuhan yang sedang disiapkan Tuhan jika kita mau membacanya. Nah, di sinilah akal dan jiwa kita diuji: apakah kita akan menunggu semuanya sempurna, atau mulai bertumbuh dalam ketidaksempurnaan? Rasulullah sendiri lahir dan tumbuh dalam lingkungan yang jauh dari ideal. Tapi justru dari keterbatasan itulah beliau menciptakan perubahan besar yang masih kita rasakan hingga hari ini.
Lalu siapa kita sampai harus menunggu semuanya ideal untuk mulai melangkah? Sahabat, jangan menunggu bos berubah. Jangan menunggu sistem memberi ruang. Ciptakan ruangmu sendiri. Bentuk panggungmu sendiri. Tumbuhkan versi terbaik dirimu hari ini, bukan esok.
Maka mulai sekarang, jangan tunggu panggung—jadilah panggung. Jangan tunggu undangan—hadirkan dirimu. Karena yang bertumbuh akan selalu dicari, dan yang bersinar akan tetap terlihat bahkan di ruangan yang gelap. Mari kita jadi seorang high-performing individual dan mulailah dari keberanian untuk belajar meski tak ada yang mengajar, dari semangat untuk bertumbuh meski tak ada yang memupuk. Karena karir bukan soal naik jabatan, melainkan soal naik kelas—menjadi manusia yang dibutuhkan di mana pun kita berada.
Menarik Untuk Ditonton : Cara Menghitung BEP dan Target Omset
Mau Konsultasi?