Hidup Enak, Tapi Tidak Tahu Arah
Kalau ada satu kata yang paling cocok buat mendeskripsikan aku dulu, mungkin santai. Atau… ya, jujur aja, manja juga bisa.
Namaku Chairunnisa Rifda Az Zahra, tapi orang-orang biasanya panggil aku Ara. Aku lahir di Bantul, 12 Juni 2001. Dari kecil sampai remaja, hidupku tuh ya biasa aja, tidak terlalu suka mikir berat, tidak punya ambisi besar, dan jujur aja, aku lebih sering mikirin cara ngabisin duit orang tua daripada cari duit sendiri.
Aku tumbuh di lingkungan yang nyaman. Semuanya serba ada. Dan karena itu, aku tidak pernah merasa harus capek-capek mikirin masa depan banget. Sekolah ya sekolah aja. Ngerjain tugas, ya kalau perlu. Ikut lomba, kalau disuruh. Pokoknya hidupku tuh ngalir aja, kayak air.
Aku bukan tipe anak yang dari kecil udah punya cita-cita tinggi. Tidak pernah mimpi jadi dokter, guru, apalagi pengusaha. Kalau ditanya mau jadi apa, jawabanku sering berubah-ubah tergantung mood. Kadang pengen kerja di kantor keren yang ada coffee corner-nya. Kadang mau jadi content creator. Pokoknya yang kelihatan stylish dan nggak ribet.
Dulu pas SMA, aku sempat beberapa kali bantu-bantu ibu ikut pameran. Tapi waktu itu bukan karena aku suka bisnis. Serius, sama sekali bukan. Aku ikut cuma karena… ada bayaran. Bisa dapet uang jajan tambahan buat beli skincare, makan enak, atau sekedar jajan di mall tiap minggu. Itu aja udah cukup buatku waktu itu.
Aku tidak pernah merasa itu sebagai bekal. Tidak pernah berpikir juga kalau itu bakal jadi sesuatu yang penting buat hidupku nanti. Yang aku tahu, aku cuma ingin lulus SMA, lanjut kuliah, lalu mencari kerja yang “oke”. That’s it.
Tahun 2019, aku kuliah di Hubungan Internasional UII Jogja. Dan hidupku masih kurang lebih sama, ikut kegiatan kalau menarik, nongkrong tiap hari, dan fokus kuliah secukupnya aja. Aku nggak punya bayangan jelas tentang apa yang pengen aku bangun di masa depan. Tapi aku punya satu angan-angan, mau kerja di Jakarta.
Kerja di kota besar, dandan rapi tiap hari, berangkat pagi naik MRT, pulang malam sambil bawa totebag yang isinya laptop dan tumbler. Kayaknya seru banget.
Kerja di Shopee, TikTok, BUMN, atau pokoknya yang startup-ish tapi mapan. Itu harapanku waktu itu. Hidupku pun aku arahkan ke sana. Lulus tahun 2023, aku mulai apply kerja ke sana-sini. Tapi… ya gitu. Belum ada yang nyantol.
Ikut tes CPNS juga, tapi belum lolos. Lama-lama, aku mulai ngerasa “Sebenarnya aku mau apa sih?”. Karena saat orang-orang di sekelilingku udah mulai punya ritme hidup masing-masing, aku masih diem di tempat. Nggak jelas, nggak pasti.
Tapi ternyata, justru dari titik paling nggak jelas itulah semua mulai berubah.
Titik di mana aku ngerasa kosong, bingung, dan akhirnya… mulai nyoba hal baru. Hal yang awalnya aku kira cuma “cadangan”, ternyata malah jadi jalan utama.
Dan di situlah, semuanya pelan-pelan dimulai.
Dari Ibu, Aku Belajar Kerajinan
Sejak kecil, aku sudah terbiasa melihat ibuku bekerja, menjahit, atau menata aksesoris handmade dengan telaten. Rumah kami selalu dipenuhi barang-barang kecil yang dibuat dengan tangan: tas batik, dompet, boneka, sampai gantungan kunci lucu dari batik. Semua itu adalah hasil karya ibu, yang sejak dulu memang menekuni dunia kerajinan tangan atau craft. Ibu memiliki usaha di bidang craft namanya Nena Collection, dan meskipun saat itu aku belum terlalu paham apa yang dikerjakannya, aku tahu dari cara beliau bekerja, ada cinta dan kesabaran yang selalu disisipkan dalam setiap karyanya.
Dulu aku pikir ibu hanya iseng atau sekadar punya hobi yang unik. Tapi makin besar, aku mulai melihat betapa serius dan konsistennya beliau dalam membangun usahanya. Ibu mengikuti banyak pameran, jadi narasumber sampai keluar pulau, mengajar pelatihan. rajin bereksperimen dengan bahan baru, bahkan ikut pelatihan keterampilan supaya bisa terus mengembangkan produk.
Dari ibu, aku belajar banyak hal, bukan hanya tentang teknik membuat sesuatu dengan tangan, tapi juga tentang nilai-nilai di balik proses itu: kesabaran, ketelitian, dan ketulusan. Ibu selalu bilang, “Kalau kamu bikin sesuatu dengan niat baik dan hati yang senang, hasilnya akan sampai ke orang yang menerimanya.”
Waktu kecil, aku sering diminta untuk membantu ibu, meskipun hanya membantu hal-hal kecil atau sekedar menemani ibu saat lembur bikin produk pesanan. Tapi ternyata, itu semua jadi awal yang membentuk caraku memandang kerja dan usaha. Tanpa aku sadari, benih kecil itu tertanam dari lama.
Ikut Pameran Demi Bayaran, Bukan Cinta Bisnis
Dari sana, sedikit demi sedikit aku mulai terlibat. Awalnya hanya membantu sepele seperti menempelkan label, mengemas produk, atau ikut mengantarkan produk ke customer. Namun saat SMA, aku mulai sering diajak ibu untuk ikut pameran. Biasanya aku bantu jaga booth, menata produk, dan kadang bantu jawab pertanyaan pengunjung. Tapi jujur saja, saat itu aku ikut bukan karena cinta pada dunia usaha, aku ikut karena ingin dapat uang saku tambahan. Bayarannya tidak seberapa, kadang cuma uang lelah atau dikasih upah harian. Tapi buat anak SMA, itu rasanya udah keren banget. Bisa pegang uang sendiri, bisa jajan pakai hasil sendiri, dan bisa bilang ke teman, “Aku bantu jualan di pameran, lho!”. Siapa sangka, dari niat yang sederhana itu, justru aku pelan-pelan belajar banyak hal yang kelak menjadi bekalku sekarang.
Tapi lucunya, dari ikut-ikut itu, aku mulai belajar lebih banyak. Mulai bisa bedain batik, tipe-tipe pengunjung, tahu cara ngelayanin pembeli yang cerewet, dan belajar baca suasana pasar. Tanpa disadari, aku juga jadi punya kepekaan terhadap selera orang dan pentingnya tampilan produk.
Walaupun belum ada niat untuk berbisnis sendiri, pengalaman ini bikin aku merasa dunia usaha itu menyenangkan. Ada rasa puas ketika produk yang kita jual akhirnya dibeli, apalagi kalau pembelinya balik lagi besok dan bilang, “Yang kemarin bagus, saya mau nambah lagi.” Tapi tetap, waktu itu aku belum terpikir sama sekali bahwa ini bisa jadi jalan hidupku.
Kuliah, Jogja, dan Pameran Lagi
Tahun 2019, aku lulus SMA dan kuliah di jurusan Hubungan Internasional (HI) Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Kuliah di Jogja memberi banyak pengalaman baru. Dunia HI membawaku ke topik-topik besar: diplomasi, politik global, hubungan antarnegara. Tapi jauh di dalam hati, aku belum tahu sebenarnya aku ingin jadi apa. Tapi yang tidak berubah adalah: aku tetap sering ikut pameran. Kali ini lebih fleksibel, karena di Jogja banyak event UKM yang bisa diikuti dan ibu sangat sering mengikuti berbagai macam event. Walaupun aku kuliah di HI, jurusan yang sama sekali tidak nyambung dengan bisnis atau fashion, aku tetap melanjutkan kebiasaanku membantu usaha ibu, ikut pameran, dan sedikit-sedikit mulai terlibat dalam usaha tersebut. Ibu juga selalu bilang untuk aku melanjutkan usaha tersebut.
Namun, saat itu pikiranku belum mantap untuk menjadikan ini jalan utama. Impianku tetap: kerja kantoran. Bekerja di perusahaan besar, di Jakarta, pakai ID card, duduk di kantor modern yang estetik seperti di TikTok atau Shopee. Aku bahkan punya list: BUMN, Shopee, Tokopedia. Semua kuincar. Intinya aku sama sekali tidak mau melanjutkan usaha ibu karna aku ingin berusaha sendiri dengan bekerja di perusahaan.
Antara Cita-Cita dan Realita, Dari HI ke Shopee—Pencarian yang Tidak Lurus-Lurus Saja
Lulus kuliah tahun 2023, fase galau itu datang. Aku mulai apply pekerjaan di mana-mana, dari Jakarta sampai Jogja, dari korporat sampai kementerian, semua kucoba. Bahkan sempat daftar CPNS juga, karena katanya itu pekerjaan aman dan terjamin. Tapi hasilnya nihil. Belum ada yang cocok, belum ada yang keterima. Sementara itu, ibu sudah dari lama menyarankan untuk melanjutkan usaha, apalagi beliau ingin mulai memisahkan antara produk craft dan fashion. Ibu mulai mendorong lebih keras: “Kenapa nggak kamu terusin aja usaha fashion? Ibu udah siapkan nama brand sama logonya, Zumaro. Tinggal kamu jalanin”. Waktu itu, aku masih belum mau. Rasanya belum siap total menekuni usaha sendiri. Ada bayang-bayang mimpi kerja kantoran yang masih belum bisa kulepas.
Namun, hidup memang penuh plot twist.
Di tengah kegalauan itu, aku iseng daftar kerja di Shopee Jogja. Tanpa ekspektasi tinggi, ternyata aku keterima. Aku pikir, “Oke, mungkin ini jalanku.” Aku bekerja di sana dengan kontrak enam bulan. Satu bulan pertama aku sangat enjoy dengan pekerjaan yang aku jalani. Lingkungan kerja di Shopee dari teman satu batch hingga atasan sangat menyenangkan dan aku menyukai itu. Tapi ternyata, bekerja di dunia korporat tidak semanis yang aku bayangkan. Ritme cepat, target tinggi, dan pressure yang datang dari banyak arah. Aku sering merasa tertekan, fisik dan mental terkuras, bahkan sampai sering sakit. Akhirnya, di bulan keempat aku memutuskan untuk resign.
Itu bukan keputusan yang mudah, butuh waktu yang lumayan lama untuk memutuskan apa yang akan aku lakukan. Mulai kepikiran kalau aku resign, nanti aku harus cari kerja kemana lagi ya. Tapi aku sadar, aku harus memilih sesuatu yang bisa kubangun dengan jangka panjang. Bukan hanya untuk terlihat “keren”, tapi benar-benar cocok untuk aku.
Zumaro—Dari Nama Eyang yang Penuh Makna
Dari dulu, ibu punya satu keinginan, jika suatu saat nanti usaha di bidang fashion dijalankan olehku, maka namanya akan menjadi Zumaro. Nama ini diambil dari nama eyang kami, Siti Zumaroh, sosok yang sangat ibu kagumi dan jadi inspirasi besar bagi keluarga. Bagi ibu, eyang bukan hanya seorang perempuan tangguh, tapi juga pengusaha sukses yang sabar, kuat, dan penuh ketelatenan dalam menjalani hidup. Meski hidup di masa yang jauh lebih sulit dibanding sekarang, eyang tetap bisa membangun usaha dari nol, dengan kesabaran, kekuatan hati, dan kerja keras yang luar biasa.
Bagi ibu, eyang bukan hanya sosok ibu kandung, tapi juga guru kehidupan. Ibu sering cerita bagaimana eyang membesarkan anak-anaknya sambil tetap menjalankan usaha, bagaimana beliau bisa tetap tegar meski diterpa kesulitan, dan bagaimana nilai-nilainya tetap hidup sampai sekarang.
Maka, saat ibu menyerahkan nama Zumaro untuk aku lanjutkan, itu bukan cuma sekadar nama brand. Tapi bentuk penghormatan. Sebuah harapan agar keberkahan dan kekuatan eyang bisa turun ke generasi berikutnya melalui usaha ini.
Waktu itu aku masih belum yakin untuk langsung menerima tanggung jawab itu. Tapi jauh di dalam hati, nama Zumaro sudah terukir. Hanya tinggal menunggu waktu yang tepat untuk benar-benar dijalani.
Dan waktu itu akhirnya datang.
Momen Tiba-tiba: Zumaro Dimulai
Setelah resign aku memutuskan untuk bekerja bersama ibuku, menjadi admin di Nena Collection. Beberapa bulan setelah resign, tepatnya Oktober 2024, ibu akan mengikuti pameran yang diadakan oleh Dekranasda DIY. Seperti biasa, aku ikut membantu karena hanya berniat aku ingin ke Jakarta. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ibu tiba-tiba bilang, “Coba kamu daftar juga deh, bawa brand Zumaro. Kan logonya Zumaro udah jadi dari lama, nanti tinggal disiapin aja list produk yang mau dibawa, habis ini langsung porduksi.”
Aku kaget, tapi juga merasa terpanggil. Mungkin ini saatnya. Jadi aku beranikan diri untuk ikut pameran itu, Pameran Kerajinan Jogja Istimewa di Kementerian Perindustrian RI, Jakarta. Produk fashion dari batik dan tenun sudah disiapkan, dan dari sana, pada bulan Oktober 2024, Zumaro resmi diluncurkan. Saat itu rasanya seperti titik balik, bukan cuma bantu usaha ibu lagi, tapi membangun brandku sendiri.
Mulai dari situ, aku mulai ngurusin produksi sendiri, jualan sendiri, komunikasi ke pembeli sendiri. Tapi aku akui, selama enam bulan awal jalannya belum mulus. Promosi nyaris tidak jalan hanya promosi sekedarnya saja, hanya mengandalkan repeat order dari pelanggan lama. Aku masih setengah hati. Belum berani menyebut diri sebagai “pengusaha”.
Bukan Mulai dari Nol, Tapi Diubah dari Dalam
Banyak orang mungkin mengira aku membangun brand ini dari nol. Padahal, yang aku lakukan sebenarnya adalah melanjutkan sesuatu yang sudah berjalan lebih dulu. Produk-produknya sudah ada, tim produksi sudah terbentuk, bahkan pelanggan langganan pun sudah ada. Aku tinggal masuk ke dalamnya.
Tapi justru itu tantangannya.
Karena saat masuk, aku merasa ada yang tidak sepenuhnya mencerminkan diri aku. Aku tahu brand ini punya potensi besar, tapi harus disesuaikan dengan pasar baru: anak muda yang ingin tampil modern tanpa meninggalkan budaya.
Dari situlah aku mulai menyusun ulang. Bukan dari segi struktur bisnis dulu, karena waktu itu aku belum paham teknisnya. Tapi dari cara berpikir, dari arahnya. Aku mulai membayangkan, kalau brand ini mau menyasar perempuan muda Gen Z, tampilannya harus lebih ringan, lebih elegan, dan lebih kekinian. Motif batiknya harus tetap kuat, tapi dikemas dengan cara yang lebih dekat dan bisa dipakai sehari-hari.
Waktu itu nama brand-nya masih Zumaro, nama yang sudah disiapkan ibu sejak awal. Dan dengan nama itu juga aku ikut pameran, bikin produk, dan mulai mengenalkan kembali ke pasar. Tapi, meski aku mencintai arti dari nama itu, dalam hati kecil aku tahu, akan ada satu titik di mana brand ini perlu aku definisikan sendiri.
Dan ternyata, titik itu datang saat aku ikut program inkubasi bisnis.
Inkubasi, Awal Perubahan
Seperti biasa, ibu rajin mengirimkan link-link pelatihan dari yang online sampai offline. Sebagian besar aku baca sekilas, lalu tutup lagi. Tapi suatu hari, ada satu link yang membuatku berhenti: Program Inkubasi Bisnis UMKM Naik Kelas 2025, dari Dinas Koperasi dan UKM DIY. Aku tidak tahu kenapa, tapi kali ini aku merasa ingin mencoba. Bukan hanya karena ingin belajar, tapi aku juga butuh perubahan. Siapa tahu ini cara untuk membuka jalan.
Aku daftar, dan ternyata… keterima!
Dari situ, segalanya mulai berubah. Inkubasi ini bukan cuma tentang teori bisnis. Tapi justru dari hal-hal paling kecil yang tidak pernah aku sadari sebelumnya. Bahkan aku tidak tahu kalau program ini merupakan kompetisi. Misalnya, selama ini aku jualan tapi tidak pernah benar-benar tahu cara hitung HPP dan BEP. Aku produksi, tapi aku tidak punya SOP tertulis. Brand-ku juga masih belum jelas identitasnya.
Salah satu momen paling krusial adalah saat diminta mengurus legalitas. Ternyata, nama “Zumaro” tidak bisa didaftarkan karena sudah ada yang punya. Aku sempat down. Tapi dari sana, aku belajar hal penting: brand itu bukan cuma soal nama. Maka aku rebranding.
Dapatkan materi dan cerita INKUBASI BISNIS 2025 di sini!
Dari Zumaro ke Sheezu: Cerita di Balik Nama
Waktu tahu bahwa nama Zumaro tidak bisa didaftarkan HKI karena sudah mirip dengan merek pihak lain, rasanya seperti kehilangan identitas. Jujur, sempat bingung banget. Nama itu sudah dipakai di beberapa produk, sudah mulai dikenal pelanggan, dan sudah melekat di kepalaku. Tapi mau bagaimana lagi, realitas hukum tidak bisa dilawan.
Aku sempat diam lama. Tidak langsung berpikir apa penggantinya. Tapi perlahan, aku mulai nanya ke diri sendiri: “Kalau harus mulai dari nol, nama apa yang benar-benar bisa mewakili aku dan brand ini?”
Aku mulai menulis berbagai ide nama di notes HP, mencoba menggabungkan kata-kata dari bahasa Indonesia dan Inggris, mencari inspirasi dari nama lengkapku, nama eyang, sampai inspirasi nama dari internet. Dalam hati, aku tetap ingin menggunakan nama eyang, bagaimanapun caranya. Lalu, sempat terbesit satu ide: SiZu, singkatan dari Siti Zumaroh. Tapi aku ragu. Rasanya terlalu sederhana, dan aku khawatir akan terdengar mirip dengan merek lain. Sampai akhirnya, muncul satu kata yang terasa pas — Sheezu.
Waktu pertama kali nama Sheezu muncul di kepalaku, itu bukan cuma soal cari nama yang lucu atau catchy. Aku ingin Sheezu punya makna, punya napas yang panjang. Nama ini lahir dari singkatan nama eyangku, Siti Zumaroh, yang sosoknya lembut tapi kuat, dan aku ingin karakter itu juga melekat di brand ini. Sheezu = She is You — Setiap perempuan bisa melihat dirinya di dalam Sheezu. Karena dari awal, aku membayangkan brand ini akan tumbuh jadi ruang ekspresi perempuan. Perempuan yang aktif, kreatif, mandiri, dan tetap menghargai warisan budaya seperti batik dan tenun.
Begitu nama baru sudah ditentukan, semangatku langsung menyala lagi. Logo Sheezu langsung aku buat dan kali ini harus ada filosofi dari logonya. Logo Sheezu menggambarkan harmoni antara tradisi dan keanggunan perempuan modern.
Motif bunga kawung mewakili sisi feminin dan keindahan, sementara jarum dan tiga titik melambangkan proses pembuatan busana serta karakter si pemakai: kuat, cantik, dan elegan. Bentuknya menyerupai bintang, simbol kepercayaan diri dan sinar yang terpancar dari dalam diri. Sekilas juga terlihat sosok wanita dalam dress, sebagai wujud dari perempuan yang tampil yakin dengan busana tradisional yang modern dan mempesona.
Identitas Sheezu dibangun dengan elemen warna-warna seperti nude, cream, dan beige. Warna yang calm, netral, dan mudah dipadupadankan. Logo Sheezu sendiri terinspirasi dari motif batik kawung dan dikembangkan jadi bentuk modern yang elegan—untuk menggambarkan pertemuan antara warisan dan masa kini.
Rebranding ini bukan cuma ganti nama dan logo. Tapi benar-benar mengubah mindset. Dulu aku jual produk. Sekarang aku membangun merek. Dan dari situ, Sheezu resmi lahir. Bukan lagi cabang dari usaha ibu, tapi punya arah dan napas sendiri.
Bukan Sekedar Batik—Tapi Tentang Bagaimana Kita Mau Dipandang
Dari awal, aku tahu kalau brand ini nggak akan sekadar jualan baju batik.
Karena kalau cuma itu tujuannya, Sheezu mungkin tidak akan bisa bertahan lama. Yang aku inginkan jauh lebih besar, aku ingin anak-anak muda, khususnya perempuan Gen Z seperti aku, merasa bahwa batik adalah bagian dari identitas mereka yang keren, relevan, dan bisa dipakai sehari-hari tanpa perlu menunggu acara formal.
Selama ini, batik sering kali ditempatkan di ruang yang terlalu sakral. Harus untuk acara resmi, hari Jumat, kondangan, atau meeting penting. Tapi aku ingin mendobrak itu. Karena menurutku, batik juga bisa dipakai buat nongkrong, ngantor, ngopi, bahkan jalan-jalan. Asal desain dan styling-nya tepat.
Sekarang aku bisa bilang: Sheezu bukan cuma sebuah brand fashion batik—tapi sebuah pernyataan. Pernyataan bahwa budaya bisa tampil modern. Bahwa batik bisa kita pakai setiap hari, bukan cuma buat acara formal. Dan bahwa perempuan bisa tampil elegan, feminin, kekinian… tanpa harus ninggalin identitas budaya yang kita punya.
Dari situlah aku mulai mendesain Sheezu untuk perempuan muda yang aktif, mandiri, dan punya taste fashion yang lembut tapi berkarakter. Perempuan yang suka tampil anggun, tapi tetap praktis. Yang suka kain tradisional, tapi tidak mau tampil kaku. Yang percaya diri menunjukkan sisi dirinya yang paling jujur lewat pakaian. Karena itu, Sheezu hadir dengan gaya yang timeless, clean, dan wearable. Aku pengen batik itu nggak harus identik dengan kebaya atau acara resmi aja. Makanya di Sheezu, aku bikin potongan-potongan baju yang modern tapi tetap sopan. Biar bisa dipakai kuliah, ke kantor, atau bahkan jalan santai bareng teman. Desainnya nggak terlalu ramai. Warnanya lembut. Bentuknya flowing dan nyaman dipakai. Tapi tetap ada sentuhan batik—sebagai identitas dan kebanggaan.
Desainnya harus nyaman dipakai sehari-hari, tapi tetap punya unsur budaya yang kuat. Aku nggak mau cuma ambil motif batik, tempel di baju kekinian, lalu selesai. Aku ingin tetap menjaga nilai wastranya. Itulah kenapa aku pilih menggunakan batik cap, karena prosesnya tetap melibatkan tangan dan sentuhan manusia, bukan sekadar print digital.
Selain itu, aku juga ingin desain Sheezu punya rasa timeless. Artinya tidak hanya mengikuti tren sesaat, tapi tetap bisa dipakai kapan pun tanpa terlihat “ketinggalan zaman”. Ada perpaduan potongan klasik yang disederhanakan, warna-warna netral dan lembut, dan siluet yang cocok untuk berbagai bentuk tubuh.
Targetku jelas, perempuan muda Indonesia. Mereka yang aktif, berani, tapi tetap ingin tampil sopan dan anggun. Mereka yang bangga jadi diri sendiri, tapi juga tidak mau kehilangan akar budayanya.
Sheezu lahir dari rasa ingin membuktikan bahwa batik bisa masuk ke lemari pakaian sehari-hari tanpa perlu dipaksakan. Dan bahwa perempuan muda itu bisa tampil powerful dalam balutan kain tradisional tanpa terlihat “tua” atau “terlalu formal”.
Produk-Produk Sheezu
Saat ini, Sheezu punya beberapa lini produk utama. Semua masih diproduksi terbatas, sebagian besar handmade atau semi-handmade. Produksinya masih dikerjakan oleh tim penjahit lokal, dengan kontrol kualitas yang diawasi langsung:
· Blouse & Top
Model seperti Jiva Crop, Arunika Blouse, dan Nusa Blouse jadi andalan. Potongannya clean, bisa dipakai sehari-hari, dan tetap sopan.
· Outerwear
Ada outer seperti Tara Outer dan Svara Cardigan, cocok untuk layering dan styling harian. Semua pakai detail batik cap atau kombinasi lurik.
· Vest
Produk yang selalu menjadi best seller di Sheezu. Untuk yang suka tampil simple tapi tetap chic, ada Kaluna, Senara, dan Sanika Vest. Ini salah satu lini favorit anak-anak Gen Z yang suka mix and match.
· Rok & Celana
Kita punya Lumi Skirt, Ayora Pants, dan Nima Kulot—didesain supaya tetap nyaman tapi tetap punya kesan feminin.
· Aksesoris
Seperti Zara Obi Belt, aksesori belt batik yang bisa dipadu-padankan sama outfit apapun, bikin look lebih standout.
Semua produk dibuat dalam jumlah terbatas (semi-slow fashion). Produksi dikerjakan oleh penjahit rumahan, pengrajin lokal, dan tetap melewati proses QC. Menggunakan batik cap dari Bantul, dipilih dengan tone motif dan warna yang konsisten dengan visual Sheezu.
Karena aku pengen menjaga kualitas, bukan kuantitas. Aku lebih memilih produksi dalam jumlah kecil tapi rapi, daripada produksi besar-besaran yang nggak terkontrol. Setiap potongannya dicek satu per satu—mulai dari pola, jahitan, kerapian finishing, sampai detail kecil seperti letak motif batik. Aku juga selalu berusaha ngasih brief yang jelas ke penjahit, supaya mereka ngerti bukan cuma cara bikin bajunya, tapi juga semangat dan rasa yang ingin disampaikan lewat tiap produk.
Kebanyakan dari mereka adalah ibu-ibu penjahit rumahan yang udah biasa kerja sambil ngurus rumah. Di situ juga aku belajar: ternyata membangun brand bukan cuma soal jualan, tapi juga soal membangun ekosistem. Aku senang bisa ngasih ruang kerja bagi mereka, sekecil apa pun itu.
Proses pemilihan kain pun nggak asal ambil. Aku cari batik yang warnanya lembut, motifnya tidak terlalu besar, dan cocok dengan arah tone visual Sheezu. Karena aku tidak mau batiknya “teriak.” Aku ingin batik di Sheezu itu berbisik lembut, menyatu dalam gaya, tapi tetap terasa spesial.
Produksi Sheezu saat ini memang masih sederhana. Nggak punya pabrik, nggak punya banyak alat. Tapi justru dari kesederhanaan itulah aku belajar menjaga detail dan konsistensi. Dan aku percaya, selama aku terus pegang prinsip ini—pelan-pelan Sheezu akan tumbuh, dengan fondasi yang kuat dan arah yang jelas.
Pelan-pelan Tapi Pasti, Aku Belajar Ulang Semua dari Awal
Masuk program inkubasi itu rasanya seperti dimasukin ke dalam “dapur bisnis” yang sebenarnya. Panas, sibuk, tapi juga penuh aroma tantangan yang bikin penasaran. Jujur aja, awalnya aku sempat minder. Banyak peserta lain yang udah kelihatan lebih siap dan serius dengan usahanya. Sementara aku… baru juga rebranding, masih bingung ngatur produksi, tim masih sedikit, dan sistem kerja masih acak-acakan. Tapi ternyata, justru di situlah pelajarannya.
Setiap sesi inkubasi seperti menyibak satu demi satu hal yang selama ini aku abaikan. Dulu aku mikir, asal produk bagus dan konsisten upload di Instagram, nanti juga bakal ada pembeli. Tapi kenyataannya jauh lebih rumit dari itu. Aku jadi paham kalau usaha itu nggak bisa asal jalan. Harus ada sistem. Harus ada arah.
Salah satu hal yang paling membekas adalah ketika kami diminta bikin SOP. Dulu, aku mikir SOP itu cuma buat pabrik besar. Ternyata, justru UMKM seperti aku yang paling butuh. Karena dari sana, aku bisa mulai tertib: tahu proses mana yang perlu ditata ulang, tahu siapa ngapain, dan tahu kenapa orderan sering telat, karena nggak ada sistem yang jelas!
Lalu, aku juga belajar menghitung HPP dan BEP. Dulu kalau ditanya, “Modalnya berapa sih?” aku jawabnya, “Kurang lebih sekian”. Tapi sekarang aku bisa bilang angka pastinya. Tau cara nentuin harga jual dengan wajar dan tetap untung. Meskipun sebelumnya sudah untung, tetapi setelah dihitung ulang jadi lebih kelihatan jelas perhitungannya. Rasanya kayak naik level.
Bahkan dari cara menyimpan bahan kain pun aku belajar ulang. Mulai menerapkan prinsip 5R: ringkas, rapi, resik, rawat, rajin. Keliatannya sepele, tapi itu yang bikin produksi jadi lebih efisien dan rapi. Tidak lagi mencari alat dan bahan berjam-jam karena lupa ditaruh di mana. Hal kecil, tapi berasa banget.
Aku juga jadi lebih sadar soal pentingnya brand. Dari packaging, tone komunikasi, sampai visi merek. Dari situ juga, Sheezu pelan-pelan mulai punya napasnya sendiri. Bukan sekedar pengganti Zumaro, tapi lahir dari pengalaman, dari kesalahan, dan dari keputusan yang lebih dewasa.
Belajar Jualan dari Nol Lagi
Sebelum ikut inkubasi bisnis, aku pikir aku sudah cukup tahu tentang jualan. Maksudnya, aku udah biasa bantu ibu jaga booth di pameran, bisa ngelayanin pembeli, bahkan kadang bisa meyakinkan orang buat beli lebih dari satu produk. Tapi ternyata, jualan offline dan online itu beda dunia. Dan membangun brand yang “jualan tapi nggak kayak jualan” di Instagram, itu tantangan yang benar-benar baru buatku.
Setelah Sheezu punya nama baru dan mulai fokus rebranding, aku sadar satu hal, brand ini nggak akan jalan kalau nggak dipromosikan dengan benar. Tapi sayangnya, aku bukan orang yang dari awal paham marketing. Bahkan, bikin caption aja bisa butuh waktu lama.
Awalnya aku cuma upload foto produk di story, kasih caption simpel kayak, “Ready stock. DM for order”. Tapi engagementnya sepi. Tidak ada yang bertanya, tidak ada yang share. Aku mulai berpikir, “Kenapa ya? Padahal bajunya udah bagus…”
Lalu pelan-pelan, aku belajar.
Di inkubasi, ada satu sesi tentang branding dan marketing yang bikin aku paham. Kita diminta memahami karakter customer dan suara brand kita sendiri. Dari situ aku mulai mikir, Sheezu ini sebenarnya pengen terdengar seperti siapa sih? Kalau aku bilang ini brand untuk perempuan muda, berarti cara ngomongnya juga harus bisa nyambung ke mereka.
Dari situlah muncul ide bikin persona admin, yang sekarang kita kenal sebagai Minzu. Nama itu singkatan dari Min (admin) dan Zu (dari huruf belakang Sheezu). Minzu ini gayanya harus ramah, gen Z friendly, kadang agak receh, tapi tetap sopan dan bikin nyaman.
Bikin konten juga jadi petualangan baru buatku. Aku mulai nulis-nulis ide di notes, nyoba bikin carousel edukasi, lalu pertama kalinya rekam voice over buat Reels. Suaraku sendiri. Dan jujur… aku malu banget waktu pertama denger hasil rekamannya. Aku ulang-ulang take sampai belasan kali, cuma buat narasi 15 detik. Tapi lama-lama, aku mulai nikmatin prosesnya.
Aku juga belajar melihat tren yang sedang terjadi saat ini. Terinspirasi gaya konten dari brand lain, mulai mengerti mana yang harus difokuskan. Apakah edukasi batiknya, styling-nya, atau cerita di balik produknya. Kadang aku bingung sendiri, ini akun fashion atau akun museum batik? Karena setiap kali mikir caption, rasanya pengen nyelipin semua info yang aku tahu, padahal belum tentu semua orang butuh tahu sebanyak itu dalam satu post.
Salah satu konten pertama yang cukup berhasil adalah waktu aku bikin story polling tentang “Tau nggak gimana proses pembuatan batik cap?” Itu iseng aja sebenarnya, karena aku ngerasa followers Sheezu masih dikit dan mostly teman-teman sendiri. Tapi ternyata banyak yang jawab dan interaksi lumayan tinggi. Dari situ aku belajar: konten yang ngajak ngobrol itu powerful.
Akhirnya aku mulai konsisten bikin konten seminggu sekali, lalu meningkat jadi dua kali. Mulai dari proses produksi, edukasi batik cap, behind the scene photoshoot, sampai tips mix and match produk Sheezu buat daily outfit. Aku juga mulai lebih peduli dengan visual: pemilihan font, warna tone foto, bahkan layout carousel biar enak dilihat dan nyambung.
Tapi proses belajarku juga nggak selalu mulus. Ada kalanya aku kehabisan ide, atau ngerasa semua konten yang aku bikin itu basi dan nggak menarik. Pernah juga kena mental waktu satu reels yang udah aku edit rapi-rapi, ternyata views-nya cuma ratusan. Padahal aku udah optimis banget karena “ini kayaknya bakal rame, deh.”
Tapi ya… ternyata algoritma tidak semudah itu.
Meski begitu, satu hal yang bikin aku terus semangat adalah aku mulai dapet DM dari orang yang bilang suka sama konsep Sheezu. Ada yang bilang, “Sheezu tuh beda ya, batiknya lucu-lucu tapi tetep modern.” Komentar-komentar kayak gitu tuh berharga banget buatku. Karena berarti, aku mulai berhasil menyampaikan jiwa brand ini ke orang lain.
Jadi, meski sekarang belum viral, belum punya followers ribuan, dan belum punya tim konten sendiri, aku bangga karena semua ini aku mulai sendiri. Dari nulis caption sampai bikin reels pakai tripod dan cahaya seadanya. Karena di balik semua itu, aku benar-benar belajar dari nol lagi—bukan cuma soal jualan, tapi soal gimana cara berkomunikasi dengan hati. Dan ternyata, justru itu yang bikin Sheezu jadi lebih hidup.
Dari Bisnis Kecil ke Mimpi yang Lebih Besar
Seiring waktu, aku mulai melihat perubahan yang nyata. Memang belum langsung drastis, tiba-tiba viral atau omset ratusan juta. Tapi ada sesuatu yang berubah dari dalam: caraku melihat usaha ini, dan caraku melihat diriku sendiri.
Dulu aku selalu pikir pengusaha itu yang punya toko besar, tim belasan orang, atau sudah dikenal dimana-mana. Sekarang aku tahu, pengusaha itu ya… aku sendiri, yang tiap hari mikirin cara produksi lebih efektif, mikir konten apa yang bisa bikin orang tertarik, atau nyatet pengeluaran bahan biar tidak rugi di belakang.
Dari awalnya ngerasa ini semua “kecemplung”, sekarang aku ngerasa ini justru panggilanku. Bukan karena udah jago, tapi karena aku sadar, ternyata aku suka. Suka ketika ada customer yang bilang, “Model sama motifnya bagus banget, mbak.” Suka waktu lihat hasil desain akhirnya dipakai orang di hari spesial mereka. Suka waktu bisa bilang, “Ini loh, brand-ku sendiri.” Dan yang bikin tambah semangat adalah: aku gak sendirian.
Program inkubasi ini bukan cuma soal materi dan tugas. Tapi juga soal support system. Ada mentor, ada teman-teman baru sesama UMKM, yang sama-sama lagi berjuang dan saling support. Di sana aku belajar bahwa berkembang itu bisa bareng-bareng. Kita bisa saling cerita, saling saranin tools, bahkan saling collab. Aku belajar bahwa proses usaha itu nggak harus selalu sendiri.
Tumbuh Bersama Sheezu—Aku yang Sekarang Bukan Aku yang Dulu
Kalau aku lihat ke belakang, rasanya aku hampir tidak kenal lagi sama diriku yang dulu. Dulu aku orangnya nggak percaya diri. Takut ambil keputusan, selalu nunggu disuruh, dan rasanya pengen main aman terus. Aku lebih nyaman mengikuti arahan daripada jadi orang yang kasih arahan. Bahkan waktu ibu nyuruh aku terusin usaha pun, aku sempat nolak, karena aku tidak yakin bisa. Aku takut salah. Takut gagal. Takut capek.
Tapi ternyata, begitu aku benar-benar mulai menyelami dunia ini, masuk ke produksi, penjualan, branding, promosi, aku mulai kenal sama sisi lain diriku yang selama ini belum pernah muncul.
Sheezu bukan cuma tentang brand fashion. Sheezu jadi cermin buat aku belajar banyak hal, dari yang paling praktikal sampai yang paling emosional.
Dulu aku pikir, jadi pemilik usaha itu cuma soal bikin produk bagus dan jualan. Tapi ternyata lebih dari itu. Aku harus ngerti angka. Aku harus ngerti proses. Aku harus ngerti cara bangun sistem kerja yang rapi dan bisa berulang. Harus ngerti bahwa bisnis itu bukan cuma kreativitas, tapi juga logika dan manajemen.
Dan semua itu, aku pelajari pelan-pelan. Gagal berkali-kali. Bingung berkali-kali. Tapi dari situ aku jadi tahu bahwa belajar itu bukan selalu soal ikut kelas atau baca buku, kadang cukup dengan berani nyoba dan nyelesain apa yang udah dimulai.
Dulu aku benci spreadsheet. Sekarang aku belajar bikin kalkulasi HPP sendiri, tahu cara menghitung BEP, dan bisa bikin perencanaan produksi dari bahan sampai ke timeline. Dulu aku bingung mau ngomong apa ke penjahit atau pengrajin, sekarang aku tahu gimana cara briefing dengan jelas dan menghargai waktu mereka. Dulu aku nulis caption butuh waktu lama, sekarang aku bisa nemuin “suara” Sheezu yang khas lewat karakter Minzu.
Bahkan dalam hal sederhana seperti mengatur waktu, aku berubah. Dulu aku gampang terdistraksi. Sekarang aku bisa disiplin bikin konten plan mingguan, punya to-do list harian, dan ngerti pentingnya konsistensi kecil yang terus dijalani.
Tapi yang paling besar dari semuanya adalah aku belajar berani ambil keputusan. Karena membangun usaha berarti akan selalu ada pilihan dan tidak semua bisa ditunda atau dilempar ke orang lain. Kadang harus mutusin potongan mana yang diproduksi duluan. Kadang harus nolak pesanan custom karena udah overload. Kadang harus rela rugi demi perbaikan jangka panjang. Dan dari setiap keputusan itu, aku tumbuh. Aku jadi lebih tegas. Lebih tahu batas. Lebih tahu nilai diriku sendiri.
Sheezu ngajarin aku untuk jadi perempuan yang berani, tapi tetap lembut. Yang bisa punya visi, tapi juga mengerti detail teknis. Yang bisa kreatif, tapi juga rasional. Yang tahu kapan harus bekerja, dan kapan harus istirahat.
Bahkan dalam hal emosional pun aku banyak berubah. Dulu aku sering overthinking, terlalu keras ke diri sendiri kalau ada yang salah. Tapi sekarang aku mulai belajar untuk memberi ruang. Bahwa proses belajar itu harus dihargai. Dan bahwa semua orang punya timeline masing-masing. Termasuk aku.
Aku jadi lebih tenang. Lebih sadar bahwa yang aku jalani ini bukan lomba lari cepat, tapi perjalanan maraton yang harus dinikmati satu per satu. Bahwa ada masanya aku akan jatuh, dan ada masanya aku bisa berdiri lebih tinggi dari yang pernah aku bayangkan. Dan yang paling penting, Aku tidak sendirian.
Ada ibu yang terus jadi support system terkuat. Ada pengrajin, penjahit, customer, dan bahkan followers yang belum pernah beli tapi terus ngasih semangat. Semua itu bikin aku sadar, perjalanan ini memang tentang aku, tapi juga bukan cuma tentang aku.
Sheezu bukan cuma brand. Tapi juga proses bertumbuh buatku, buat semua yang terlibat, dan buat para perempuan yang percaya bahwa dirinya layak untuk tampil dengan gaya, nilai, dan keberanian yang dia pilih sendiri.
Ini Baru Awal, Tapi Hatiku Sudah Mantap
Sampai tulisan ini dibuat, aku baru menyelesaikan tahap 1 program inkubasi, dan sekarang sedang menjalani tahap 2. Alhamdulillah aku mampu melewati tahap 1 dengan usaha yang paling maksimal. Masih banyak yang ingin aku pelajari. Tapi satu hal yang pasti, sekarang aku tidak lagi jalan sambil ragu-ragu.
Dulu, usaha ini lahir dari ibu. Lalu tumbuh pelan-pelan bersamaku. Sekarang, rasanya aku dan Sheezu sudah saling menemukan tempat.
Aku tahu ini belum akhir. Masih banyak PR yang harus dikerjakan, dari sistem distribusi, perluasan pasar, sampai perbaikan desain koleksi. Tapi sekarang aku punya fondasi, punya bekal, dan yang paling penting: punya keyakinan.
Sheezu bukan sekadar brand. Dia adalah perjalananku. Dari anak SMA yang cuma ikut pameran biar dapet uang, jadi lulusan HI yang sempat bingung kerja di mana, sampai akhirnya menemukan arah dari yang katanya “cuma bantuin ibu”.
Jalan ini mungkin tidak seperti rencana awal, bukan kerja di Jakarta, bukan di kantor estetik, tapi ternyata ini jalan yang paling cocok buatku.
Dan aku tidak sabar untuk melihat Sheezu tumbuh lebih besar, bareng perempuan-perempuan lain yang juga sedang mencari arah, seperti aku dulu.
Momen-Momen Kecil yang Mengubah Cara Pandangku
Kalau ditanya kapan momen paling menyentuh selama perjalanan ini, mungkin bukan saat pertama kali launching, atau saat pertama kali cetak logo di tag label. Tapi justru saat paling sederhana: saat aku ikut pameran pertama pakai nama Zumaro. Pameran Kerajinan Jogja Istimewa yang diadakan oleh Dekranasda DIY di Kementerian Perindustrian RI, Jakarta.
Hari itu rame banget. Dengan booth yang kecil, desainnya seadanya. Tapi ada satu pembeli seorang ibu-ibu muda dan karyawan dari Ditjen Ikma yang mampir dan bilang, “Ini batiknya lucu-lucu ya. Kekinian tapi tetap keliatan batik. Aku suka banget.” Bahkan ada yang sampai tiga kali kembali ke booth untuk membeli produkku.
Komentar itu biasa aja. Tapi buat aku, besar banget. Karena itu artinya… aku berhasil menyampaikan niatku. Pada saat itu Zumaro bisa diterima. Bisa menyentuh hati, walaupun kecil. Dari situ, aku sadar: validasi itu nggak selalu dari likes, tapi dari ekspresi orang yang benar-benar nyentuh produk kita.
Momen lain yang juga nempel banget adalah ketika aku mulai memimpin tim produksi sendiri. Baru dua-tiga penjahit lepas, sih. Tapi waktu aku briefing mereka, sambil tunjukin desain, sambil jelasin bahan dan target waktu, aku merasa… “Wah, ini beneran ya. Aku beneran punya bisnis.”
Dulu rasanya semua terasa jauh. Tapi sekarang, setiap hari aku makin merasa: ini nyata. Ini serius. Ini bisa jadi besar, asal aku terus mau belajar.
Kalau Waktu Bisa Diulang…
Kadang-kadang, di tengah malam atau pas lagi bengong sendiri, aku suka kepikiran, “Kalau waktu bisa diulang… apakah aku masih akan memilih jalan ini?”.
Kalau aku jujur, mungkin dulu aku akan jawab tidak. Aku akan tetap mengejar kerja kantoran, tetap apply ke Jakarta, tetap ngejar brand impian yang sudah lama aku bayangkan dari layar TikTok atau cerita teman-teman.
Tapi sekarang, setelah semua yang aku lewati, jawabanku berubah.
Kalau waktu bisa diulang, aku justru ingin memulai lebih awal. Bukan supaya hasilnya lebih cepat, tapi supaya aku punya waktu lebih panjang untuk belajar, gagal, dan tumbuh bersama Sheezu.
Karena, banyak hal yang ternyata baru aku sadari setelah benar-benar turun langsung. Seperti, betapa butuhnya konsistensi, meski hasil belum kelihatan. Atau betapa pentingnya mendengarkan pelanggan, bukan cuma soal “apa yang mereka suka”, tapi juga cara mereka berbicara, bertanya, bahkan memberikan feedback. Dan hal-hal kecil yang dulu aku anggap sepele, seperti packing rapi, voice over yang tulus, atau story yang ditulis dengan niat, semua itu ternyata punya dampak besar kalau dijalani terus-menerus.
Aku juga baru paham bahwa membangun usaha itu bukan soal kecepatan, tapi soal daya tahan. Bukan hanya tentang laku berapa pieces, tapi tentang seberapa kuat kita bisa tetap jalan meski pelan, meski capek, meski belum viral.
Ada banyak momen yang bikin aku goyah. Ada saat-saat aku merasa kerja sendiri itu berat. Tapi entah kenapa, selalu ada satu hal kecil yang bikin aku ingin lanjut. Kadang karena satu DM dari orang asing yang bilang suka sama konsep Sheezu. Kadang karena ibu yang ngasih link pelatihan diam-diam tapi penuh harap. Kadang karena teman lama yang tiba-tiba order dan bilang, “Akhirnya beli juga nih produkmu, Ra.”
Dan yang paling membuat aku bertahan adalah karena aku tau kenapa aku mulai. Aku mulai karena aku ingin anak muda pakai batik tanpa harus menunggu kondangan. Aku mulai karena aku pengen batik itu jadi bagian dari gaya hidup, bukan simbol formalitas. Aku mulai karena aku ingin menunjukkan budaya itu bisa dekat, bisa fun, dan bisa hidup di tengah kita, kalau kita mau bawa dia masuk ke dunia kita sekarang.
Dan dari semua proses yang udah aku lalui, aku jadi sadar, Aku bukan cuma bikin brand. Aku sedang membangun jembatan. Antara yang lama dan yang baru. Antara tradisi dan ekspresi. Antara siapa aku dulu… dan siapa aku sekarang.
Mimpi yang Sekarang Terasa Mungkin
Sekarang, Sheezu belum besar. Tapi aku punya mimpi yang besar.
Dulu, waktu baru mulai membantu ibu jualan, aku tidak pernah membayangkan bahwa suatu hari aku akan punya brand sendiri. Bahkan saat pertama kali melanjutkan usaha keluarga dan diberi nama Zumaro, aku masih ragu, bener nggak sih ini jalanku?
Tapi sekarang, setelah semua proses yang aku jalani, setelah jatuh bangun memahami diri sendiri dan bisnis ini, mimpi-mimpi yang dulu rasanya terlalu jauh, sekarang jadi terasa mungkin. Bukan karena semua sudah tercapai, tapi karena aku tahu, arahnya sudah jelas.
Dulu aku bermimpi bisa kerja di perusahaan besar di Jakarta, kantor keren dengan ruangan full AC, seragam stylish, dan deadline yang menantang. Sekarang aku sadar, mungkin aku memang ditakdirkan untuk menciptakan tempat kerja sendiri, dengan suasana yang aku bentuk sendiri, dengan nilai yang aku pilih sendiri.
Sheezu bukan cuma tempatku berkarya, tapi juga ladang doaku. Tempatku menaruh harapan, tempatku membuktikan bahwa budaya dan anak muda bisa jalan bareng, tanpa harus saling meninggalkan. Aku ingin membuat wastra seperti batik dan tenun itu tidak lagi dilihat sebagai “kain orang tua”, tapi sebagai bagian dari gaya hidup anak muda yang aktif, ekspresif, dan modern.
Salah satu mimpiku sekarang adalah bisa melihat Sheezu tumbuh jadi brand yang dikenal luas. Tidak perlu langsung dikenal di pasar nasional atau internasional, cukup tumbuh stabil, kuat, dan punya tempat di hati perempuan Indonesia. Aku ingin suatu saat, saat seseorang buka lemari dan bingung mau memakai apa hari itu, dia memilih: “Pakai Sheezu aja, yuk.”
Aku juga punya mimpi lebih besar, Sheezu bisa menjadi wadah pemberdayaan perempuan. Tidak hanya menjual pakaian, tapi juga membuka ruang kerja bagi ibu rumah tangga, pengrajin batik, penjahit rumahan, dan anak muda yang punya kreativitas tapi belum tahu harus mulai dari mana. Aku ingin bikin pelatihan, mentoring, atau bahkan inkubasi kecil-kecilan buat perempuan lain yang punya mimpi, tapi belum menemukan jalannya.
Aku ingin suatu hari nanti Sheezu punya concept store di Jogja. Tempat di mana perempuan bisa datang bukan cuma untuk beli baju, tapi juga belajar tentang kain-kain Indonesia. Di sudut toko, ada rak edukasi motif batik. Ada kelas kecil untuk styling outfit batik sehari-hari. Ruang kerja kecil dengan meja kayu panjang, moodboard penuh kain motif, dan rak penuh arsip desain. Aku ingin menciptakan ruang di mana budaya tidak hanya dilestarikan, tapi juga dirayakan dengan cara yang hidup, bukan sekedar formalitas.
Aku juga ingin Sheezu bisa ekspor. Bukan untuk jadi brand luar, tapi untuk menunjukkan ke dunia bahwa batik itu bisa sangat versatile, bisa sangat kekinian, dan tetap elegan. Bukan cuma kain untuk acara resmi, tapi bisa dipakai saat kerja, kuliah, hangout, bahkan travelling.
Dan semua itu, sekarang terasa mungkin. Karena aku tahu caranya. Karena aku tahu bahwa semuanya bisa dibangun dari bawah. Dan karena aku tahu, aku tidak sendiri. Aku punya ibu yang selalu jadi pengingat nilai. Aku punya Sheezu yang jadi kendaraan mimpiku. Aku punya tim kecil dan komunitas pelanggan yang tulus dukung. Dan yang paling penting, aku punya diriku sendiri, versi aku yang sekarang jauh lebih berani dari versi yang dulu.
Mungkin jalanku nggak lurus. Penuh belokan, putar balik, bahkan berhenti sejenak. Tapi aku percaya, semua itu bukan halangan, itu bagian dari proses.
Karena setiap langkah yang aku ambil, sekecil apa pun, tetap mendekatkanku ke mimpi yang dulu hanya berani aku tulis diam-diam di notes HP. Sekarang, mimpi itu tidak hanya tertulis. Tapi sudah mulai dijalani, satu demi satu.
Dan aku percaya, ini baru permulaan.
Ini Baru Awal
Kalau ada yang bertanya padaku sekarang, “Udah sampai mana?”. Aku akan menjawab, “Baru mulai.”
Karena meskipun aku sudah belajar banyak, udah gagal dan bangkit berkali-kali, aku tahu perjalanan ini masih panjang banget. Tapi bedanya, sekarang aku jalan dengan sadar. Tidak hanya mengikuti arus. Aku sudah tahu mau ke mana.
Aku tidak lagi menjadi Ara yang cuma bisa menghabiskan uang jajan. Aku juga bukan lagi Ara yang menunggu kerja kantoran agar dianggap memiliki arah.
Sekarang, aku adalah Ara yang sedang membangun Sheezu. Brand yang aku bentuk dari hati, dari nilai-nilai perempuan kuat yang datang sebelumku — ibu, eyang, dan semua perempuan yang ingin tetap elegan tanpa kehilangan jati diri.
Sheezu bukan tentang aku saja. Tapi tentang semua perempuan yang ingin tampil cantik, nyaman, dan tetap percaya bahwa budaya mereka layak untuk dikenakan—setiap hari.
Aku tahu, mungkin masih banyak yang harus aku pelajari. Masih banyak kesalahan yang akan aku buat. Tapi sekarang, aku tidak takut. Karena aku tahu, aku tumbuh, aku berubah, dan aku berjalan. Meski pelan, tapi pasti. Dan selagi aku terus berjalan, aku tahu satu hal:
Sheezu pun akan ikut tumbuh bersamaku.
Contact Us
Whatsapp Business: +62 821 4605 1427
Email: sheezuofficial@gmail.com
Mau Konsultasi?